(Abujibriel.com)– Sehari setelah dilantik sebagai Khalifah yang baru, Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallahu ‘anhu berjalan ke pasar. Di tengah perjalanan beliau berjumpa dengan Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu. Lalu terjadilah dialog. Kurang lebih seperti ini,
“Assalaamu’alaikum. Wah, khalifah mau kemana ini?” tanya Umar.
“Wa’alaikum salam. Saya mau ke pasar.” jawab Abu Bakar.
“Ke pasar? Ada apa ke pasar?”tanya Umar lagi.
“Ya, ke pasar jualan. Apa lagi?” Maka termenunglah Umar bin Khattab. Wah gawat nih, Khalifah ke pasar. Kalau umat ada perlu sesuatu, kan repot? Khalifah tak ada di rumah, lagi jualan di pasar. Ini adalah sesuatu yang tidak “pas”. Tapi, khalifah memang perlu uang. Kalau tidak, dari mana nanti keluarganya makan?
Maka Umar bin Khattab pun memanggil Menteri Keuangan, alias yang memegang Baitul-Mal. Lalu, mereka merundingkan persoalan itu. Sesudah berembug, akhirnya didapatlah keputusan: Khalifah tidak boleh ke pasar. Bagaimana kalau umat membutuhkan Khalifah untuk satu keperluan?
Khalifah harus tetap di rumah. Lalu bagaimana mengenai kebutuhan hidup sehari-hari? Untuk itu, diambillah dari Baitul Mal. Berapa banyaknya? Ternyata yang diambil adalah setara kebutuhan hidup seorang pengungsi.
Bayangkan, kalau ada pengungsi korban gempa, tanah longsor atau lumpur lapindo. Berapa kebutuhan mereka sehari-hari? Kira-kira seperti itulah gaji seorang Khalifah di masa itu. Padahal beliau adalah Kepala negara. Jangan bandingkan dengan fasilitas anggota DPR sekarang, yang sedang studi banding ke Jerman atau Thailand. Saya tak tahu apanya yang distudikan ke Thailand itu? Kehidupan malamnya? Ah, di Jakarta pun banyak yang remang-remang. Tak usah jauh-jauh ke Thailand dengan uang negara.
Balik ke Khalifah. Ternyata, beliau juga dapat fasilitas baju dinas. Wah, hebat juga kan? Khalifah diberi dua pakaian. Satu untuk musim panas dan satu untuk musim dingin. Baru boleh diganti kalau sudah sobek. Bagaimana kalau tak sobek-sobek, karena terus dirawat dengan rapi? Ya, tidak diganti-gantilah. Pakai saja terus sampai tua.
Jangan bandingkan dengan zaman sekarang. Pejabat sekarang bukan hanya hafal dengan merk-merk mobil mewah, bahkan terus berganti-ganti mobil, seperti orang berganti handphone. Kalau perlu warna mobilnya disesuaikan dengan warna kemeja dan dasinya. Garasi harus diperbesar, karena lima mobil mulai tak muat. Padahal di tempat lain, satu RT pun cuma ada tiga atau empat mobil.
Wakil presiden Bung Hatta dulu, ketika turun masa jabatannya malah tidak sempat punya rumah. Rupanya pemimpin-pemimpin kita zaman dulu, tidak sempat memikirkan kepentingan pribadinya karena sibuk mengurus rakyat. Coba, sekarang. Mana ada camat yang tidak punya rumah?
Sebuah kejujuran
Seorang tukang ojek, menerima kelebihan kembalian uang Rp 2000,- Dia teriak-teriak memanggil orang yang bayar. Lalu Rp 2000,- dikembalikan. Saya bertanya: “Mengapa cuma dua ribu kok sibuk sekali mengembalikan?” Apa jawabnya? ”Sebentar lagi maghrib. Saya mau shalat. Bagaimana perasaan saya waktu takbir ‘Allahu Akbar’, padahal ada uang haram di kantong saya.” Saya terdiam. Ya Allah, masih banyak orang jujur di negeri ini. Alhamdulillah…
Suatu hari saya ditugaskan untuk membeli perlengkapan sebuah kantor. Setelah selesai memilih-milih barang yang akan dibeli, mata saya tertumbuk dengan sebuah buku. Wah, bagus sekali. Rasanya, kantor pasti butuh buku seperti ini. Saya tanyakan, harganya Rp 120.000,- Tapi ada korting Rp 40.000,- jadi hanya perlu bayar Rp 80.000,- saja.
Waktu akan menulis kwitansi, si pelayan toko bertanya. “Apakah kortingnya mau ditulis apa tidak?” Saya jawab saja secara spontan, “Ya, tulislah.” Sambil menulis, matanya melirik ke arah saya. Apakah ada sesuatu yang aneh? Barulah saya sadar, rupanya banyak juga orang yang belanja, tapi kortingnya tidak ditulis. Walhasil, yang Rp 40.000,- itu bisa masuk ke kantong. Lumayan.
Tiba-tiba saya berfirkir, kalau dari satu buku saja bisa dapat Rp 40.000,-, bagaimana kalau mengurus pembelian helikopter? Masya Allah, berapa milyar yang dikantongi? Atau beli kapal perang? Ah, sudahlah. Lamunan itu tak saya teruskan.
Mari kita ikuti kisah berikut ini;
Waktu itu lagi Perang Hunain. Salah seorang sahabat gugur. Lalu jenazahnya dibawa kepada Nabi kita Muhammad saw. Apa yang terjadi? Nabi mengatakan, “Shalatkanlah saudara kalian ini.” Nabi sendiri enggan mensholatkannya. Maka berubahlah wajah sahabat-sahabat melihat kejadian itu. Gerangan apa sebabnya demikian? Padahal jelas-jelas dia gugur dalam peperangan. Bukankah dengan demikian dia mati syahid? Dalam jihad fi sabilillah? Mengapa Nabi tidak mau menshalatkan?
Akhirnya, karena penasaran, mereka memeriksa kantong barang sahabat yang meninggal itu. Ternyata, mereka menemukan sebuah manik-manik buatan Yahudi didalamnya. Rupanya barang itu diselundupkan ke dalam kantong. Padahal belum ada pembagian harta rampasan perang. Berapa harganya? Menurut perkiraan, harganya sekitar dua dirham. Tetapi ketika didapat dengan cara yang curang, maka Nabi tidak mau menshalatkan.
Lain waktu, Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wassalaam lewat di sebuah pasar. Ada orang berjual buah-buahan. Barang dagangannya diatur sedemikian rupa, sehingga menarik. Bahagian sebelah atasnya bagus-bagus, sudah matang, berkilat dan menimbulkan selera. Apa yang terjadi?
Nabi memasukkan tangannya dalam-dalam ke tumpukan buah itu. Ternyata bagian bawah, tak sebagus bagian atas. Malahan bagian bawah agak basah. Ada yang busuk rupanya. Bagaimana reaksi Nabi kita? Beliau mengatakan, “Barang siapa yang curang, tidak termasuk umatku.”
Begitulah, ternyata Nabi kita sangat keras menjalankan prinsip kejujuran itu. Bahkan, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka nabi sendiri yang akan memotong tangannya. Pemimpin mana yang bisa meniru seperti itu?
Ibarat pisau tumpul
Kebanyakan hukum itu seperti pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kalau yang salah itu orang miskin, babat terus, tidak pilih bulu. Tetapi kalau yang berbuat jahat itu dari kalangan atas, pisau hukum itu tumpul. Bahkan karatan. Entah bagaimana caranya, makanya dicarilah pasal-pasal yang meringankannya. Atau, kalaupun masuk penjara, fasilitas beda. Ada kasur empuk, ada televisi. Dan, orang-orang berebut jadi tukang pukul, bodyguard, pembela. Bagaimana maling ayam? Dipermak habis-habisan, babak belur. Bahkan maknya saja nyaris tak kenal lagi, karena wajahnya bengkak-bengkak dan berdarah.
Atau, hukum itu seperti sarang laba-laba. Nyamuk lewat, terjerat. Lalat lewat, nyangkut. Pendek kata, tak ada yang lolos. Tapi, tunggu dulu. Betul tak ada yang lolos? Bagaimana kalau ada burung gereja? Sarang laba-laba malah berantakan. Laba-labanya kabur, mengungsi cari selamat.
Kisah berikut ini terjadi pada Perang Khaibar. Seseorang memberi Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wassalaam seorang budak hitam. Mid’am namanya. Dalam sebuah perjalanan, Nabi perintahkan istirahat di satu tempat. Rombongan berhenti melepas lelah. Mid’am sedang menambatkan onta Nabi di satu tempat. Tiba-tiba dia terkena panah, tak lama kemudian meninggal. Rupanya ada seorang penembak gelap di sekitar tempat itu.
Orang-orang berkomentar menyatakan simpatinya.”Syurgalah untuk dia. Syurgalah untuk dia.” Mereka memuji Mid’am. Di tengah-tengah pujian itu, tiba-tiba Nabi kita berkata dengan lantang. “Tidak. Sekali-kali tidak. Dia tidak akan masuk surga.”
Nabi kita Muhammad sholallahu ‘alaihi wassalaam mengetahui, Mid’am mengambil sebagian harta rampasan perang, sebelum dibagikan. Istilahnya: sudah comot duluan. Diam-diam, tanpa setahu orang lain. Anda tahu, barang apa yang diselundupkan Mid’am itu? Ternyata, hanya satu atau dua tali sandal. Bayangkan: tali sandalnya, bukan sandalnya. Maka keluarlah ucapan Nabi, “Syiraku aw syirakaani min naar- satu atau dua tali sandal adalah api neraka…”
Demikianlah. Rupanya korupsi itu sudah ada sejak zaman nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wassallaam. Cuma skalanya jauh berbeda. Tak ada kasus pada masa itu. Tak ada sadap-menyadap telpon petinggi kejaksaan. Tak ada sogok 600 ribu dollar. Astaghfirullahal azhim. Marilah kita kembali ke zaman Nabi. “Satu atau dua tali sandal, adalah dari api neraka.”
Wassalaamu’alaikum. (abdullahahmad)
(ditulis oleh Ustadz. H. Tarmizi Firdaus, Syi’ar Islam rabiul awwal 1432 h)