Perintah Untuk Beristiqamah Dalam Beragama

Dari Sufyan bin ‘Abdillah radhiallâhu ‘anhu, dia berkata: aku berkata : ‘wahai Rasulullah! Ucapkanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam yang aku tidak akan menanyakannya kepada selain engkau!, beliau bersabda: “ucapkanlah! ‘aku telah beriman, kemudian beristiqamahlah!’ “. (H.R.Muslim)

Catatan: Demikian naskah asli dari Mushannif rahimahullah sebagaimana yang kami tampilkan diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sedangkan naskah asli dari riwayat Imam Muslim adalah sebagai berikut (kami tampilkan juga sebagai perbandingan):

Takhrij Hadits secara global

Hadits diatas ditakhrij oleh Imam Muslim, Imam Ahmad, at-Turmuzi, Ibnu Majah dan an-Nasai.

Makna Hadits secara global

Dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dimintai untuk memberikan suatu nasehat yang amat berguna dan cukup bagi si penanya (perawi hadits) sehingga dia tidak akan bertanya lagi kepada orang lain tentang hal tersebut, lantas beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya agar mengucapkan : “aku beriman kepada Allah”, (serta segala konsekuensinya) kemudian beristiqamah alias memantapkan keimanannya tersebut dalam agama.

Penjelasan Tambahan

Mushannif memberikan sedikit keterangan tentang nama periwayat hadits tersebut, yaitu Sufyan bin ‘Abdullah at-Tsaqafi ath-Thaaifi, seorang shahabat dan pernah menjadi penguasa di Thaif pada pemerintahan khalifah ‘Umar bin al-Khaththab radhiallâhu ‘anhu .

Dalam riwayat yang lain terdapat tambahan; yaitu perawi hadits setelah itu bertanya lagi kepada Rasulullah: “wahai Rasulullah! Apa yang engkau paling takutkan dari diriku?” atau (dalam riwayat yang lain: “apa yang harus aku jaga?”, lantas Rasululullah memegang lisannya sembari bersabda: “ini!” atau dalam riwayat lain: beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat ke arah lisannya.

Perkataan Sufyan bin ‘Abdullah ats- Tsaqafi kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang kita bahas diatas: “‘wahai Rasulullah! Ucapkanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam yang aku tidak akan menanyakannya kepada selain engkau! ” ; maksudnya adalah bahwa dia meminta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengajarkannya suatu ucapan yang jaami’ (universal, valid) dan juga cukup yang berkaitan dengan ajaran Islam sehingga dia tidak membutuhkan (penjelasan) siapapun setelah beliau, lalu nabi bersabda kepada beliau “ucapkanlah! ‘aku telah beriman, kemudian beristiqamahlah! “. Dalam riwayat yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ucapkanlah! ‘Rabb-ku adalah Allah’ kemudian beristiqamahlah! “. Redaksi ini sepadan dengan firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):“Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. 41/Fushshilat: 30) , dan firmanNya: “Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan:‘Rabb kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita”. (QS. 46/al-Ahqaaf:13).

Pengertian “al-Istiqamah” dan istilah yang terkait dengannya

Istiqamah

Adalah berjalan di jalan yang lurus, yaitu ad-Diinul Qayyim tanpa adanya kepincangan baik ke kanan maupun ke kiri. Jadi, mencakup pelaksanaan segala bentuk keta’atan kepada Allah, baik yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah serta meninggalkan semua larangan-laranganNya. Dengan demikian wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ini menjadi universal dan mencakup semua ajaran-ajaran agama.

Diantara istilah lain yang berkaitan dengan istiqamah adalah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “ash-Shahihain” dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “bertindaklah kalian secara benar yang mencapai tujuan/sasaran (as-Sadaad) dan bermuqarabah-lah (lakukan tindakan yang benar yang mendekati tujuan) “. Kedua istilah tersebut adalah:

As-Sadaad

Adalah hakikat dari istiqamah, yaitu bertindak benar dalam semua perkataan, perbuatan dan tujuan sebagaimana orang yang ingin mencapai suatu tujuan lantas dia melakukannya dengan benar. Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan ‘Ali agar berdoa kepada Allah memohon as-Sadaad dan al-Huda (petunjuk). Beliau bersabda kepadanya :“ingatlah kejituan kamu dalam mengarahkan anak panah ke sasaran (demikian pula tatkala memohon as-Sadaad kepada Allah, sebab makna asalnya demikian-red), dan (upayamu mendapat) petunjuk jalan agar kamu sampai ke tujuan perjalanan (demikian pula tatkala memohon petunjuk dari Allah-red)”.

Al-Muqaarabah

Adalah melakukan tindakan yang benar yang mendekati tujuan, jika belum mencapai tujuan yang sesungguhnya. Akan tetapi hal ini dilakukan dengan syarat, benar-benar bertekad untuk menuju as-Sadaad dan kejituan mencapai tujuan. Jadi, muqarabah yang dilakukannya terjadi dari ketidaksengajaan. Senada dengan hal ini, sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits al-Hakam bin Hazn al-Kulafi: “wahai manusia sekalian! Sesungguhnya kalian tidak akan dapat melakukan –atau tidak akan mampu (melakukan)- setiap apa yang aku perintahkan kepada kalian, akan tetapi berbuatlah secara as-Sadaad (bertindak secara benar yang mencapai tujuan/sasaran) dan berilah kabar gembira. Maknanya; capailah tujuan dan sasaran secara benar serta istiqamah sebab kalaupun mereka dapat melakukannya sesuai dengan sasaran/tujuan yang ingin dicapai dalam semua perbuatan niscaya mereka telah melakukan semua apa yang diperintahkan kepada mereka (sebab hal itulah yang dituntut-red).

Alhasil, makna asal istiqamah adalah istiqamahnya (ketetapan/kemantapan) hati dalam bertauhid, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dan lainnya. FirmanNya “sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami adalah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah” (QS. Al-Ahqaaf: 13) ; hal ini direalisasikan oleh mereka dengan tidak mengalihkan perhatian kepada selainNya. Jadi, bila hati telah mantap (istiqamah) dalam ma’rifatullah (mengenal Allah), takut kepadaNya, mengagungkanNya, segan terhadapNya, mencintaiNya, menuju kepadaNya, mengharapkanNya, berdoa kepadaNya, bertawakkal kepadaNya serta berpaling dari selainNya, maka akan mantap (istiqamah) lah seluruh anggota badan untuk melakukan keta’atan kepadaNya. Sebab hati ibarat sang raja bagi seluruh aggota badan sedangkan anggota badan ibarat tentara-tentaranya; maka bila sang raja mantap dan lurus (istiqamah) niscaya tentara-tentara dan rakyatnya akan berbuat demikian.

Obyek yang perlu diperhatikan dalam beristiqamah

Obyek yang paling utama dari seluruh anggota badan setelah hati untuk diperhatikan agar tetap istiqamah adalah lisan . Lisan ibarat penerjemah bagi hati dan juru bicaranya; oleh karena itu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar beristiqamah, beliau mewasiatkan Sufyan (perawi hadits dalam pembahasan kita ini) agar menjaga lisan nya.
Mengenai statement ini, terdapat beberapa hadits yang mendukungnya, diantaranya:

* Hadits dalam musnad Imam Ahmad dari Anas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “keimanan seorang hamba tidak akan mantap/lurus (istiqamah) hingga hatinya mantap/lurus, dan hatinya tidak akan mantap hingga lisannya juga demikian”.

* Hadits dalam sunan at-Turmuzi dari Abu Sa’id al-Khudri secara marfu’ dan mauquf: “bila anak Adam menjelang pagi, maka seluruh anggota badannya akan meminta kaffaarat (jaminan/tebusan) dari lisan, sembari berkata:‘takutlah kepada Allah terhadap (nasib) kami; jika engkau lurus/mantap maka kamipun akan demikian, dan jika engkau bengkok maka kamipun akan demikian’ “.

Penafsiran Ulama Salaf Tentang Makna “al-Istiqamah”

Penafsiran Abu Bakar ash-Shiddiq

Beliau berkata mengenai ayat: “…kemudian mereka tetap istiqamah…” ; “mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun”. Dalam riwayat lain, dia berkata: “mereka tidak mengalihkan perhatian kepada tuhan yang lain selainNya”. Dalam riwayat lain lagi dari beliau: “kemudian mereka tetap istiqamah untuk (menyatakan) bahwa Allah lah Rabb mereka”.

Penafsiran Ibnu ‘Abbas
Terdapat riwayat dengan sanad dha’if (lemah), yaitu perkataan beliau :“inilah ayat yang paling singkat dalam Kitabullah : firmanNya: ” mereka mengatakan: ‘Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah (meneguhkan pendirian mereka) ; (yaitu) dalam kalimat syahadat laa ilaaha illallaah. Demikian pula diriwayatkan dalam versi yang sama dari Anas, Mujahid, al-Aswad bin Hilal, Zaid bin Aslam, as-Sudday, ‘Ikrimah dan selain mereka. Dan dalam riwayat lain dari ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, dia berkata mengenai firman Allah : “…kemudian mereka tetap istiqamah…” ; yaitu mereka tetap istiqamah dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang diembankan oleh Allah kepada mereka”. (diriwayatkan oleh ath-Thabari; dalam periwayatan ini, ‘Ali bin Abi Thalhah tidak pernah bertemu dengan Ibnu ‘Abbas).

Penafsiran ‘Umar bin al-Khaththab
Terdapat riwayat dari umar dengan sanad munqathi’ (terputus) meskipun perawi-perawinya tsiqat, bahwa saat diatas mimbar dia pernah membaca ayat dalam firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah”, kemudian mengomentarinya: “…mereka tidak meraung seperti raungan srigala”.

Penafsiran Abul ‘Aliyah
Mengenai ayat tersebut dia berkata: “…kemudian mereka mengikhlaskan agama dan amalnya kepadaNya semata”. (Ibnu Katsir melansir hal ini dalam tafsirnya terhadap ayat ini).

Penafsiran Qatadah

Mengenai ayat tersebut dia berkata: “mereka tetap istiqamah (konsisten) dalam berbuat taat kepada Allah”.

Sikap al-Hasan (al-Bashri-red)
Ketika mendengar ayat tersebut, al-Hasan berkata: “ya Allah! Engkau Rabb kami, karenanya anugerahilah kami istiqamah/kemantapan hati (dalam agama)”.

Penjelasan Mushannif Mengenai Penafsiran Makna “al-Istiqamah”

Mushannif mengomentari : “Barangkali maksud mereka yang mengatakan bahwa makna al-Istiqamah adalah (istiqamah) dalam bertauhid, sesungguhnya hal itu dalam kapasitas maknanya yang universal yang mengharamkan Ahlinya masuk ke dalam api neraka; yakni merealisasikan makna laa ilaaha illallaah sebab makna kata al-Ilaah adalah Yang dita’ati baik dalam kondisi takut kepadaNya, mengagungkanNya, segan terhadapNya, mahabbah/cinta terhadapNya, mengharapkanNya, bertawakkal ataupun berdoa kepadaNya, bukan Yang dimaksiati. Sedangkan perbuatan maksiat, semuanya dapat mencacati makna tauhid ini karena tidak lain ditujukan untuk mengabulkan ajakan orang yang menyeru kepada pelampiasan hawa nafsu, yaitu syaithan. Allah Ta’ala berfirman: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya …(QS. 45/al-Jatsiah: 23). Al-Hasan al-Bashri dan lainnya berkata: “orang tersebut adalah orang yang hanya menuruti hawa nafsunya”. Dan hal ini bertentangan dengan makna istiqamah dalam bertauhid.

Sedangkan bila berdasarkan periwayatan dengan lafazh “ucapkanlah! Aku beriman kepada Allah…” ; maka maknanya lebih jelas karena makna iman itu sendiri mencakup seluruh amal shalih menurut ulama Salaf dan orang yang mengikuti mereka dari kalangan Ahlul Hadits. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. 11/Huud: 112). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang yang bertaubat bersamanya agar tetap istiqamah (meneguhkan pendirian) dan tidak melampaui batas dari apa yang diperintahkan kepadanya dan memberitahukannya bahwa Dia Ta’ala Maha Melihat dan Mengawasi semua perbuatan-perbuatan mereka. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka …”. (QS. 42/asy-Syuura: 15). Qatadah berkata, mengomentari ayat ini: “Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan agar tetap istiqamah dalam ajaran Allah”. Imam (Sufyan-red) ats-Tsauri berkata, berkaitan dengan ayat tersebut: ” (tetap itstiqamah) dalam menjalankan al-Qur’an”.

Ayat-Ayat yang memerintahkan agar tetap istiqamah dalam bertauhid

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: “Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya…”. (QS. 41/Fushshilat: 6). Demikian pula, Allah Ta’ala memerintahkan agar menegakkan agama ini secara umum,/menyeluruh sebagaimana firmanNya: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…”. (QS. 42/asy-Syuura: 13). PerintahNya dalam banyak ayat agar mendirikan shalat semakna dengan kedua ayat tersebut yang memerintahkan agar tetap istiqamah dalam bertauhid.
Cara mengatasi keterbatasan dalam beristiqamah
Keterbatasan dalam beristiqamah yang telah diperintahkan oleh Allah tidak akan dapat dihindari, oleh karena itu sebagai upaya untuk menggantikan dan menyempurnakannya kita diperintahkan untuk memohon ampunan kepadaNya sebagai bentuk taubat dan kembali ke jalan istiqamah. Hal ini disinggung dalam firman Allah Ta’ala berfirman: “…maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya… “.(QS. 41/Fushshilat: 6). Ayat ini senada dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’adz bin Jabal: “takutlah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah (timbalilah) perbuatan jelek dengan kebaikan niscaya ia akan menghapus (kejelekan tersebut)”. Sebab, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain bahwa manusia tidak akan sanggup beristiqamah dengan sebenar-benar istiqamah (H.R.Ahmad).

Intisari Hadits

* Istiqamah amat terkait dengan tauhid dan keimanan yang benar terhadap Rabb.

* Jalan menuju istiqamah amat sulit dan tidak mungkin dapat beristiqamah dengan sebenar-benarnya, karenanya perlu dibarengi dengan istighfar sebagai bentuk taubat dan upaya kembali ke jalan istiqamah.

* Obyek utama dari anggota badan setelah hati yang perlu dijaga agar dapat beristiqamah adalah lisan.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *