(Abujibriel.com)—Ya ayyuhal ikhwah, Islam adalah dinussyamil al-mutakamil,agama sempurna yang menyempurnakan. Berbagai perihal yang menyangkut perikehidupan rapi terurus didalamnya dan tak tertinggal satu risalah apapun. Begitupun yang berkaitan dengan manusia, bermula pada kelahirannya hingga kematiannya, diatur secara lengkap dalam dalil-dalil yang shahih.
Berkaitan dengan hal kematian seorang muslim, terdapat sebuah risalah mengenai peraturan tanah kubur yang belakangan ini tengah menjadi topik dan menjadi perdebatan di khalayak ramai. Berikut hadits-hadits yang bisa dijadikan dalil:
Dari Amir bin Sa’ad bahwa Sa’ad bin Abu Waqqash radliyallahu ‘anhu berkata ketika ia sakit menjelang ajalnya,
أَلْحِدُوا لِيْ لَحْدًا, وَانْصِبُوا عَلَيَّ اللبِنَ نَصْبًا, كَمَا صُنِعَ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم.
“Galilah lahad untuk kuburku dan dirikan/tancapkan batu bata dia atas kuburku sebagaimana yang diberlakukan pada kubur Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan pula dari Abu al-Hayyaj al-Asadi yang ia berkata,
قَالَ لِيْ عَلُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِيْ عَلَيْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم: أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالَا إِلاَّ طَمَسْتَهُ, وَ لاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَ سَوَّيْتَهُ.
“Telah berkata Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu kepadaku, “Perhatikanlah! Akan aku sampaikan kepadamu apa yang telah disampaikan kepadaku oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah engkau biarkan berhala/patung, kecuali engkau menghancurkannya dan janganlah engkau biarkan kubur yang meninggi, kecuali engkau meratakannya.” (HR. Muslim)
Juga terdapat hadits yang diriwayatkan dari Jabir radliyallahu ‘anhu, ia berkata,
نَهَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَ أَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ, وَ أَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ.
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengapur kubur, duduk, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim)
Dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 4. hal.329, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab sebuah risalah dan menjelaskan tentang perkara ini seperti sebagai berikut:
Pertanyaan:
Saya perhatikan, sebagian kuburan ada yang dibuatkan batu nisan dengan semen sekitar setengah meter kali satu meter dengan tulisan nama si mayit, tanggal meninggalnya, dan terdapat kalimat lainnya seperti Ya Allah, rahmatillah Fulan bin Fulan.. Apa hukum perbuatan semacam ini?
Jawaban Syaihk bin Baz:
Tidak boleh membuat bangunan di atas kuburan, baik berupa batu nisan ataupun lainnya, dan tidak boleh menuliskan tulisan padanya, karena telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang membuat bangunan pada kuburan dan menulisinya. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata,
نَهَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَ أَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ, وَ أَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk memagari kuburan, duduk-duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim)
Lagi pula, hal ini merupakan sikap berlebihan sehingga harus dicegah, dan karena tulisan seperti itu bisa menimbulkan akibat yang mengkhawatirkan, yaitu berupa sikap berlebihan dan bahaya-bahaya syar’iyah lainnya. Seharusnya adalah dengan meratakan kuburan, boleh ditinggikan sedikit sekitar satu jengkal untuk diketahui bahwa itu adalah kuburan. Demikian yang disunnahkan mengenai kuburan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘ajmain. Tidak boleh mendirikan masjid di atas kuburan, tidak boleh membungkusnya dan tidak boleh pula membuatkan kubah diatasnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Janaiz (1330), Muslim dalam Al-Masajid (529))
Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan, dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, bahwa ia berkata, “Lima hari sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, aku mendengar beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku telah meminta kepada Allah agar aku mempunyai khalil diantara kalian, karena Allah telah menjadikan aku sebagai khalil(Nya) sebagaimana Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil(Nya). Seandainya aku (dibolehkan) mengambil seorang khalil dari umatku, tentu aku menjadikan Abu Bakar sebagai khalil(ku). Ingatlah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan-kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan itu”. (HR. Muslim dalam Al-Masajid (532))
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
Di dalam negeri sendiri terkait perkara ini pada beberapa pekan terakhir, sejumlah ulama turut buka suara. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan umat yang masih banyak berpegang-teguh kepada kebiasaan dan adat orang-orang tua terdahulu. Seperti yang dikutip dari laman Tempo.co pada 25 September 2013 lalu yang menyikapi pro-kontra pemugaran makam seorang ustadz.
“Kalau kita lihat dalam kitab hukum Islam, pemugaran ataupun pembangunan beton di atas kuburan hukumnya adalah makruh jika kuburan tersebut dibangun di atas tanah pribadi. Sedangkan jika kuburan tersebut dibangun di atas tanah umum, pemugaran tersebut bersifat haram,” kata KH. Prof. Dr. Ali Musthafa Ya’qub, imam besar Masjid Istiqlal, saat dihubungi Tempo, Rabu, 25 September 2013. Beliau juga menjelaskan, “Berdasarkan ajaran para rasul, nabi, dan ulama—kuburan umat muslim alangkah baiknya jika hanya ditutupi oleh rumput dan diberikan batu nisan.”
Ketua MUI DKI dan pengurus MUI Pusat, KH. Dr. Hamdan Rasyid, MA, juga mengungkapkan hal yang sama, “Kuburan sebaiknya hanya diberikan batu nisan sebagai identitas orang yang dikuburkan, serta rumput untuk menutupi tanah kuburan tersebut.”
Fenomena kubur-kubur yang diperindah memang cukup mengkhawatirkan, sebab jelas perkara ini menyalahi syar’i dan dilaksanakan demi hawa nafsu semata seperti mengikut kepada kebiasaan dan kesenangan—senang karena telah menyempurnakan ‘kewajiban’ dan senang karena merasa sudah ‘menyenangkan’ si mayit, termasuk pula kepada ingin menunjukkan status sosial yang dijabani.
Zaman sekarang bila kita perhatikan, jarang sekali kuburan yang ‘bebas’ dari penambahan-penambahan seperti yang ada dalam larangan-larangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, seperti menemboknya, mengapurnya, menghiasi dengan nisan-nisan yang dibuat sedemikian rupa, hingga memberinya penerangan dengan lampu dan menghijabinya dengan kelambu. Ini jelas-jelas perkara tasyabbuh kepada adat-istiadat orang kafir seperti Yahudi dan Nashrani.
Dari ummul mu’minin ‘Aisyah radliyallahu anha, bahwa Ummu Salamah radliyallahu anha bercerita kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu yang ia lihat di gereja Maria negeri Habasyah yang didalamnya terdapat gambar-gambar atau patung-patung. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka (Yahudi dan Nashrani), bila ada orang shalih diantara mereka meninggal, maka mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat patung-patung atau gambar-gambar orang-orang shalih tersebut didalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian juga dengan pengkultusan agama Syia’h terhadap kubur-kubur. Dalam Rasail Ikhwanus Shafa IV/199 dijelaskan bahwa kaum Syi’ahlah yang pertama kali membangun kubur dengan kubah-kubah yang untuk kemudian dijadikan simbol-simbol bagi mereka.
Begitu banyak perilaku penyimpangan yang dilakukan umat hingga saat ini terkait masalah kubur ini. Ini jelas menyalahi petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahkan merupakan perilaku penentangan. Padahal yang seharusnya umat sikapi adalah rasa syukur karena telah diperbolehkan berziarah kubur yang pada awalnya amalan tersebut terlarang, bukannya malah menghiasinya, mengkultuskannya, bahkan beribadah kepadanya, na’udzu billahi min dzaalika. Anjuran menziarahi tersebut sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Buraidah bin al-Hushaib radliyallahu ‘anhu,
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرْكُمْ الاَخِرَةَ. وَ لَتَزِدْكُمْ زَيَارَةُهَا خَيْرًا. فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَ لاَ تَقُولُوا هُزُوَا.
“Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian berziarah kubur. (Sekarang) berziarahlah kubur. Sesungguhnya akan mengingatkan kalian kepada akhirat. Dan mengunjungi kuburan akan menambah kebaikan kepada kalian. Barangsiapa ingin berziarah kubur, silahkan melakukannya, akan tetapi janganlah kalian mengatakan perkataan yang bathil.” (HR. Muslim dan Nasa’i)
Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan anjuran yang ditekankan demi sebuah maslahat berupa ingatnya seorang muslim akan kematian, menyadarkan akan perkara kehidupan sesudah kematian, juga berfungsi untuk melembutkan hati yang keras akibat berjibaku dengan dunia beserta perhiasannya yang senantiasa melalaikan. Adapun alasan lain yang juga sering dijadikan hujjah bagi mereka yang berlebihan dalam memperlakukan kubur dan mayit yang ada didalamnya adalah sebagai bentuk pengagungan dan simbol rasa terima-kasih atas jasa-jasa si mayit semasa hidupnya—apatah itu karena ilmunya, perjuangannya, atau karena ‘hanya’ garis keturunan yang katanya mangandung derajat mulia. Semoga kita terhindar dari sikap yang sedemikian sekaligus termasuk yang mampu menarik ibrah dari para penghuni kubur yang telah dicukupkan kesempatan hidupnya oleh Allah azza wa jalla.
Demikian risalah singkat ini semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bisshowwab. (abdullahahmad)