(Abujibriel.com) – Alhamdulillah, beberapa saat lagi umat Islam akan kembali mengawali tahun baru hijriyyah ke-1434. Momen tersebut merupakan awalan yang lazim diterapkan kaum muslimin untuk memulai segala sesuatu yang dinilainya baik. Di Indonesia, momen ini pun sudah biasa dijadikan ajang perayaan yang tersiar di segala penjurunya, mulai di perkotaan hingga ke pelosok kampung. Diikuti oleh berbagai lapisan dengan beragam festival yang meriah.
Kegegap-gempitaan yang tampak ingin menyaingi perayaan tutup tahun Masehi ini, semakin mudah ditemukan karena memang dilaungkan oleh berbagai media-media massa dan elektronik. Jauh-jauh hari acara ini dipersiapkan dengan konsep sedemikian rupa yang seakan sarat akan ‘aroma’ islami. Demikian juga yang ‘difatwakan’ para ustadz akan perayaan ini, mereka mendukung penyelenggaraannya, bahkan juga sebagai pemelopor sekaligus donatur. Para ustadz tersebut berhujjah bahwa acara tahun baruan tersebut dimaksudkan agar kaum muslimin mengenal sembari mengingatkan bahwa umat Islam memiliki tahun barunya sendiri yang bisa dirayakan seperti layaknya tahun baru Masehi yang dirayakan oleh umat lain. Pertanyaannya: adakah syari’at Islam membenarkan demikian?
Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
Artinya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah duabelas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. at-Taubah, 9:36)
Empat bulan haram yang dimaksud ayat diatas yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Allah Ta’ala memasukkan keempat bulan itu dalam kelompok bulan-bulan haram dikarenakan pada ke-empat bulan tersebut terdapat pelarangan untuk berperang, membunuh, dan melakukan perbuatan maksiat lainnya, namun jangan diartikan pula bahwa perbuatan maksiat boleh dilakukan di luar ke-empat bulan itu, akan tetapi Allah Ta’ala mengancam adanya ganjaran yang berlipat-ganda akibat dari perbuatan dosa di bulan-bulan haram tersebut.
Kemudian mari kita rujuk kembali kepada keadaan kaum muslimin di zaman ini terkait dengan pagelaran perayaan tahun baruan yang mulai ramai dipersiapkan di beberapa hari ini. Sejumlah acara biasanya digelar secara massal, seperti dzikir akbar, pentas nasyid bergaya islami, maupun sesi ‘tolak-bala’ untuk tahun berikutnya oleh para tokoh agama yang banyak dipanut umat. Dari sisi penampilan, para hadirin tampak satu-padu dalam balutan busana yang terkesan islami pula, para akhwat mengenakan abaya berkerudung dan para ikhwan rapi berkoko dan berkopiah. Tak lupa simbol-simbol islami pun disematkan, berikut dengan mengusung tema-tema yang begitu bermakna agamis. Di penghujung acara, tak lupa dilantunkan do’a, “Ya Allah, jauhkanlah kami dari keburukan diri-diri kami dan dari apa-apa yang tidak sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh rasul-Mu, serta selamatkanlah kami dari siksamu…”
Ketahuilah bahwa yang terlupakan dalam penyelenggaraan acara bertema islami tersebut adalah merujuk kepada syari’at Islam itu sendiri; adakah petunjuk Rasulullah saw dalam hal ini? Atau adakah para sahabat, para tabi’in, dan umat yang mengikutinya pernah melaksanakan perayaan semacam ini? Adapun yang Rasulullah sabdakan kepada umatnya tentang momen yang Allah Ta’ala syari’atkan untuk dirayakan adalah hanya di dua hari raya, yaitu idul fitri dan idul adha. Pada dua hari raya inilah disyari’atkannya umat untuk bergembira menyambutnya. Lalu bagaimana dengan amalan pesta tahun baruan hijriyah? Perlukah hal ini ditransfer dalam kehidupan kaum muslimin?
Dalam sebuah hadistnya, Rasulullah saw telah bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
Artinya, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari-Muslim)
Pengertian sebuah amalan yang tertolak—bukan hanya amalan tersebut tidak terterima, namun juga menghasilkan dosa karena mengerjakan sesuatu yang dianggap ibadah yang disana diharapkan dihasilkannya nilai pahala di sisi Allah Ta’ala, sementara dien tidak mensyaria’tkan sama-sekali. Hal inilah yang dinamakan bid’ah , dimana Rasulullah sudah keras mengingatkan perihal ini kepada umatnya,
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَ خَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ شَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَ كُلَّ ضَلَالَةٍ فَيْ النَّارِ.
Artinya, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Berikut beberapa contoh perbuatan bid’ah yang berkaitan dengan bulan Muharram:
- Melakukan amalan dengan membaca do’a khusus awal tahun dan akhir tahun yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah.
- Melaksanakan amalan kejawen Kirab satu Suro (amalan yang biasa dilakukan suku Jawa dalam mengkeramatkan bulan Muharram yang sarat akan prilaku kesyirikan).
- Sholat Asyuro’ yaitu sholat yang dikerjakan antara dzuhur dan ashar sebanyak empat roka’at, yang pada tiap roka’atnya membaca surat al-Fatihah satu kali, lalu membaca ayat kursi sebanyak sepuluh kali, surat al-Ikhlas sebanyak sepuluh kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sebanyak lima kali, seusai salam dilanjutkan dengan membaca istighfar sebanyak tujuhpuluh kali.
- Membaca do’a pada hari Asyuro’, yaitu membaca hasbiyallahu wa ni’mal wakil sebanyak tujuhpuluh kali, al-Fatihah sebanyak tujuh kali, lalu mengusap kepala dan wajahnya.
- Melakukan amalan khusus malam Asyuro’ dengan mengikuti dalil hadits maudhu’ yang berbunyi, “Barangsiapa yang menghidupkan malam Asyuro, maka seolah-olah ia beribadah kepada Allah seperti beribadahnya penduduk langit dan bumi.”
- Mengadakan perayaan hari Asyuro’ pada tanggal sepuluh Muharram dengan berhujjah sebagai wujud kesungguhan cinta serta berduka terhadap kematian Husain ra, cucu Rasulullah. Perayaan yang menjadi rutinitas kaum sesat Syi’ah ini, diisi dengan beragam bentuk penyiksaan diri dengan menggunakan benda-benda tajam, seperti pedang, cambuk, rantai besi, dan semacamnya. Di Indonesia, perayaan ini dikenal dengan beberapa nama, diantaranya adalah perayaan Tabuik di Sumatera Barat dan perayaan Tabot di Sumatera Selatan.
Kembali kepada perayaan tahun baru satu Muharram, perhelatan akbar ini pun merupakan ‘usaha’ para ustadz yang menyikapi berbondong-bondongnya kaum muslimin ikut dalam rutinitas perayaan tahun baru Masehi di setiap tahunnya, oleh karena itu sebagian para tokoh agama tersebut tergerak untuk berpikir: Mengapakah kita tidak menggantikan posisi kemeriahan tahun baru Masehi kepada tahun baru Hijriyah? Lalu disusunlah program yang katanya untuk menyelisihi apa-apa yang ada di dalam perayaan tahun baru Masehi. Tak nampaklah jua bahwa bentuk ‘penyelisihan’ seperti itu adalah bentuk lain dari tasyabbuh yang dilarang Rasulullah. Ibnu Umar ra menyampaikan bahwa Rasulullah bersabda,
مَنْ تَثَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
Artinya, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Akhirnya program yang diniatkan untuk mengalihkan euphoria umat terhadap tahun baruan Masehi, berubah menjadi program baru yang dikatakan bernilai mengundang kebaikan. Dalam kata lain yang lebih tegas—program yang ‘berderajat’ syari’at.
Ibnu Mas’ud ra meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menyampaikan sebuah sabdanya,
لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ إِلاَّ وَ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ, وَ لاَ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ.
Artinya, “Tidak ada dari sesuatu amalan yang mendekatkan ke surga, kecuali telah aku perintahkan kepada kamu dengannya dan tidak ada dari sesuatu amalan yang mendekatkan ke neraka, kecuali pasti telah aku cegah kamu darinya. ” (HR. Imam Al-Hakim)
Fakta tersebut merupakan pertanda dari penyebab kemunduran kaum muslimin sendiri; menjauh dari ilmu yang dibawa para salafush sholih sehingga buta akan petunjuk yang syar’i. Kaum muslimin pun belum atau bahkan tidak menerapkan syari’at secara kaffah, mempertuhankan hawa nafsu dan cinta dunia, serta tasyabbuh kepada millah Yahudi dan Nasrani, padahal seharusnya kaum muslimin mencamkan-diri bahwa millah mereka (Yahudi dan Nasrani) adalah ‘ajaran’ kadaluarsa yang tak layak-pakai lagi karena Allah Ta’ala telah memusnahkannya. Cukuplah sudah hadirnya Rasulullah sebagai pengganti dan penyempurna syari’at hingga akhir zaman. Dari Abu Munib, dari Ibnu Umar ra, dia menceriterakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku diutus menjelang kiamat dengan membawa pedang sehingga hanya Allah saja yang diibadahi yang tiada sekutu bagi-Nya. Rezekiku dijadikan dibawah naungan tombakku. Kehinaan dan kerendahan dijadikan kepada orang-orang yang menentang perintahku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad)
Salah-satu bentuk amalan baru lainnya yang juga diselenggarakan pada malam pergantian tahun baru Hijriyah adalah muhasabah massal. Tujuannya untuk mengingat kembali secara bersama-sama akan amalan setahun kebelakang dan memohon hal-hal yang baik di tahun berikutnya. Padahal muhasabah seharusnya dilakukan di setiap hari dan bukan menunggu pelaksanaannya hingga tahun yang baru akan dimulai, terlebih dengan berjama’ah pula. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr, 59:18)
Imam Ibnu Katsir dalam mentafsir ayat tersebut mengatakan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kepada setiap hamba-Nya untuk menghisab diri-diri mereka sendiri sebelum hari penghisaban tiba, dan agar setiap diri melihat apa-apa yang telah mereka tabung untuk diri-diri mereka kelak yaitu berupa amalan sholih yang kelak akan dihadapkan kepada Rabb-Nya. Sementara Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighosatul Lahfan min Masayyidis syaithon mengatakan bahwa seharusnya muhasabah itu dilakukan di dua tempat, yaitu pada saat sebelum beramal—dimana kita menghisab terlebih dulu tentang amalan yang akan kita kerjakan itu; apakah bersumber dari keihklasan semata-mata karena mengharap ridho-Nya dan apakah memang disyari’atkan Allah Ta’ala melalui Rasul-Nya? Apabila kita telah memastikan dua kriteria ini terpenuhi, maka barulah kita amalkan. Dan tempat muhasabah yang kedua adalah ketika sudah melakukan suatu amalan, yaitu dengan mengintropeksi apakah pada amalan tersebut telah terjadi kekurangan atau tidak dilakukan dengan kekhusyu’an hati. Beberapa hal inilah yang tidak terpenuhi oleh kaum muslimin yang melakukan muhasabah berjama’ah khusus pada perayaan tahun baru 1 Muharram, mereka boleh saja mengatakan bahwa amalan tersebut datang dari keikhlasan hati dan dengan niat yang baik, namun itu tidak menghantarkan mereka kepada ridho-Nya karena syari’at tidak menitahkan demikian. Pernahkah Rasulullah bersama para sahabatnya berkumpul untuk melakukan amalan tersebut? Pernahkah para tabi’in dan sholafush-sholih pada zamannya juga melaksanakannya? Bila ini tidak terpenuhi, ketahuilah bahwa hal itu bukanlah muhasabah dan kaum muslimin belum bermuhasabah dengan sebenar-benarnya. Sebab makna muhasabah yang sesungguhnya adalah untuk meringankan hisab kita di hari kiamat kelak, sementara amalan yang dibuat-buat seperti pada muhasabah massal perayaan tahun baruan hanya menambah beratnya hisab.
Lalu apakah amalan yang bisa dilakukan di bulan pertama pada penanggalan sistem Hijriyyah ini? Salah-satunya yang memiliki keutamaan adalah memperbanyak shiyam sunnah seperti yang telah Rasulullah sabdakan,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Artinya, “Shaum yang paling utama setelah shiyam Ramadhan adalah shaum di bulan Muharram dan sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah sholat malam.” (HR. Muslim)
Kemudian ada shiyam hari Asyuro’ , dimana Ibnu Abbas ra berkata,
أَنَّ رَسُوْلُ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ صَامَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَ أَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Artinya, “Sesungguhnya Rasulullah shaum pada hari Asyuro’ dan beliau memerintahkan untuk shaum pada hari itu.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Abdullah bin Umar ra juga meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ عَاشُرَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللهِ, فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ, وَ مَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.
Artinya, “Sesungguhnya hari Asyura’ adalah satu hari diantara hari-hari Allah, maka barangsiapa yang berkehendak—shaumlah, dan barangsiapa yang tidak berkehendak—tinggalkanlah (berbukalah).” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Fadhilah yang bisa diperoleh dari pelaksanaan shiyam Asyuro’ yaitu dapat menghapus dosa-dosa selama setahun sebelumnya. Abu Qatadah menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda,
… وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُرَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.
Artinya, “Dan (dalam) shiyam hari Asyura’, aku berharap kepada Allah agar hal itu dapat menebus dosa dari tahun yang sebelumnya.” (HR. Muttafaqun ’alaihi)
Ibnu Abbas ra menceritakan bahwa ketika Rasulullah saw shaum pada hari Asyura’ dan memerintahkan agar umat shaum pada hari itu, maka mereka pun berkata, “Wahai Rasulullah, hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani,” lalu beliau saw menanggapi,
فَإِذَا كَانَ العَامُ المُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا اليَوْمَ التَّاسِعَ.
Artinya, “Jika tahun depan aku masih hidup, insyaa Allah kita (mulai) shaum pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Maknanya, disunnahkan shaum pada hari ke-9 dan ke-10, sebagaimana yang ditegaskan dalam sabda beliau,
صَومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ, وَ خَالِفُوا اليَهُوْدَ.
Artinya, “Shaumlah pada hari ke-9 dan ke-10, serta selisihilah kaum Yahudi.” (HR. Al-Baihaqi, Abdurrazaq, dan Ath-Thahawi)
Juga terdapat riwayat lain, “Shaumlah kalian pada hari Asyura’ dan selisihilah Yahudi didalamnya, dan shaumlah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah)
Catatan: Shiyam Asyura’ jatuh pada 10 Muharram, namun karena pada tanggal tersebut umat Yahudi juga melakukan shaum, maka Rasulullah memerintahkan untuk shaum juga pada 9 Muharram (hari Tasu’a) dan (atau) 11 Muharram sebagai upaya menyelisihi mereka.
Akhirnya, mengapakah seorang yang mengaku muslim tidak bermuhasabah dalam keluasan hari-hari yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya? Sementara hari-hari yang dimilikinya tidaklah mungkin terulang dan amalan telah baku tercatat, apatah lagi hari esok belum pasti menghampiri. Dari Hasan al-Bashri rahimahullah, diriwayatkan bahwa beliau berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu tidak lain hanyalah hidup beberapa hari saja; setiap kali waktu berlalu, berarti hilanglah pula sebagian dirimu.” (Siyar A’lam an-Nurbala’, 1/496)
Untuk itu marilah bersegera intropeksi diri agar kita bisa menghindari dari keadaan yang merugi. Selayaknya kaum muslimin meneladani semangat hijrah Rasulullah dan para sahabatnya. Selain itu, mari hindari diri dari keyakinan dan perkataan bathil bahwa bulan Muharram mengandung kesialan dan berbagai kemudharatan. Tolak beragam tipu-daya setan yang mengikis akidah umat di bulan ini dengan bergerak mendakwahkan kebenaran dan mengajak umat untuk mengisinya dengan amalan-amalan yang disunnahkan Rasulullah. Semoga kita bisa mengisi hari-hari yang diamanahkan Allah Ta’ala dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan mengganti hari-hari kemarin yang sempat ternoda kemaksiatan dengan rutinitas sunnah Rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Hendaklah setiap diri memperhatikan (mengintropeksi-diri) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok dan bertakwalah. Sesungguhnya Allah Maha tahu dengan apa yang kamu perbuat.” (QS. al-Hasyr, 59:18)
Demikian, mudah-mudahan bermanfa’at wallahu ‘alam bish showwab.
2 Responses
pa ustad, jika kebiasaan menyambut 1 muharram, dengan melakukan santunan anak yatim. dan itu dilakukan setiap tahunya. apakah perbuatan tersebut termasuk Bid’ah.
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Allah Ta’ala memasukkan keempat bulan itu dalam kelompok bulan-bulan haram dikarenakan pada ke-empat bulan tersebut terdapat pelarangan untuk berperang, membunuh, dan melakukan perbuatan maksiat lainnya>
TANGGAL 10 MUHARAM DIKENANG OLEH MASYARAKAT JAWA SALAH SATUNYA MENGENANG KEBIADABAN TENTARA YAZID BIN MUAWIYAH YANG MEMBUNUH, MEMENGGAL DAN MENANCAPKAN SELURUH KEPALA-KEPALA IMAM HUSEN (CUCU RASULULLAH) DAN PENGIKUTNYA.
ADAKAH KEKEJAMAN YANG MELEBIHI PERISTIWA KARBALA?
APALAH ARTINYA SIMPATI KITA, DIBANDINGKAN PERJUANGAN IMAM HUSEN YANG TERBUNUH DALAM KEADAAN HAUS DAN LAPAR ?
JANGAN PERNAH MELUPAKAN SEJARAH PEMBANTAIAN CUCU RASULULLAH SAW.