(Abujibriel.com)—Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan, besar maupun kecil dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan shalat (‘Idul Fitri).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Secara lengkap istilah zakat fitrah bisa dijabarkan sebagai berikut; yaitu shodaqoh tertentu, dengan kadar tertentu, dibayarkan oleh orang tertentu, dengan syarat tertentu, atas orang-orang tertentu, yang dibagi-bagikan kepada orang-orang tertentu, yang merupakan sebab berbuka dari puasa ramadhan, untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan kotor selama berpuasa, dan sebagai makanan bagi fuqoro’.
Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah dihukumi wajib berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma tersebut diatas,
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ … عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah … atas orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan, besar maupun kecil dari kaum muslimin…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kewajiban ini bagi kaum muslimin laki-laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak, yakni wajib bagi mereka dan atas orang yang memiliki tanggung-jawab nafkah atas tanggungannya. Namun kewajiban ini bisa menjadi gugur apabila disaat tersebut ia tidak memiliki kemampuan atasnya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Imam Asy-Syaukani rahimahullah, “Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak ada kewajiban membayar zakat fitrah. Bila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah).” (Ad-Darari 1/365, Ar-Raudhatun Nadiyyah 1/553, Fatawa Lajnah Daimah 9/369)
Hikmah Zakat Fitrah
Zakat fitrah ini memiliki hikmah yang sangat agung dan sangat diperlukan bagi kaum muslimin, dan khususnya bagi orang-orang yang telah menyelesaikan puasanya di bulan Ramadhan, seperti yang dikatakan Ibnu ‘Abbas radliyallah ‘anhu,
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ فَمَنْ أَذَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَ مَا أَذَاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَاقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia, kata-kata yang kotor, dan sekaligus sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang mengeluarkan sebelum shalat (‘Id) maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang mengeluarkannya sesudah sholat (‘Id) maka itu merupakan sedekah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Demikianlah fungsi zakat fitrah bahwa ia sebagai pembersih, karena ketika berpuasa sering lisan masih aktif melakukan amalan tholeh, seperti ghibah, jidal, namimah, atau raffats. Selain itu zakat fitrah ini juga berfungsi sebagai makanan di hari ‘Id bagi kaum dhu’afa.
Waktu Zakat Fitrah
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata waktu yang paling utama adalah ketika terbit fajar idul fitri sampai menjelang waktu pelaksanaan sholat ‘id.
…مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“… Barangsiapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah diantara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Adapun Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengamalkan penunaian zakat fitri pada dua hari atau satu hari sebelum hari ‘idul fitri,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari raya ‘Idul Fitri.” (HR. Bukhari)
Namun dibolehkan juga pengeluaran zakat fitrah pada tiga hari sebelum hari ‘Idul fitri, ini didasari oleh perbuatan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang disampaikan oleh Nafi’,
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
“‘Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.” (HR. Malik)
Dalam kitab Al-Mugni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi menuliskan pendapatnya tentang waktu terbaik dikeluarkannya zakat fitrah, “Seandainya zakat fitrah jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fitri telah diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fitrah yaitu untuk memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘id. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya zakat fitrah adalah hari fitri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun disebut zakat fitri. … Karena maksud zakat fitrah adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fitri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”
Singkatnya, ada tiga waktu dalam pembayaran zakat fitrah:
- Waktu fadhilah (yang utama) yaitu waktu setelah sholat subuh di hari ‘id dan sebelum sholat ‘id dilaksanakan.
- Waktu jawaaz (yang dibolehkan) yaitu waktu penunaian satu atau dua hari sebelum hari raya ‘id.
- Waktu qadha yaitu waktu terlarang karena apabila seseorang menunaikannya setelah sholat ‘id dilaksanakan, maka ia wajib mengqadhanya.
Kadar Wajib dan Jenis makanan Zakat Fitrah
Sesuai hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ...
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum …” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian juga ucapan Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,
كُنَّ نُعْطِيْهَا فِيْ زَمَنِ النَبِيِّ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ.
“Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami memberikan zakat fitrah … sebanyak satu sha’ makanan atau satu sha’ susu kering, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ kismis.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits-hadits tersebut digunakan satu sha’ sebagai kadar atau ukuran dalam mengeluarkan zakat fitrah. Lalu berapakah kadar satu sha’ itu? Dikatakan bahwa satu sha’ serupa dengan ukuran empat mud, sedangkan satu mud diserupakan dengan satu cakupan sedang dua tangan orang dewasa. Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’ (Dewan Fatwa Arab Saudi) memfatwakan bahwa kadar satu sha’ adalah kurang-lebih seberat tiga kilogram (Az-Zakaah fil Islaam, Syaikh Al-Qahthani). Sementara Syaikh Ibnu al-Utsaimin dalam Fatawa Arkanil Islam, hal.429 memperkirakan satu sha’ itu seberat 2,040 kilogram.
Lalu jenis makanan apa sajakah yang masuk dalam kriteria barang zakat fitrah itu? Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu menjelaskan perihal ini,
…صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ.
“…sebanyak satu sha’ makanan atau satu sha’ susu kering, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ kismis.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,
وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ …
“… sebagai makanan bagi orang-orang miskin …” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Makanan yang dimaksudkan untuk dijadikan sebagai makanan zakat fitrah adalah makanan pokok yang berlaku di suatu negeri, misalnya gandum, jagung, kurma, atau beras bagi penduduk di Indonesia. Beberapa ulama yang diantaranya adalah syaikh Bin Baaz, Imam Ibnu Taimiyyah, Imam Syafi’i, Imam Malik , Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, Ibnu al- Qayyim, dan lainnya, berpendapat bahwa zakat fitrah diutamakan dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok sesuai dengan yang terdapat dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Hal ini bersesuaian dengan nash hadits yang dengan jelas mengatakan,
وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ …
“… sebagai makanan bagi orang-orang miskin …”
Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Abu Dawud mengatakan bahwa zakat fitrah tidak boleh dikeluarkan dalam bentuk uang, hal ini beralasan merujuk ke hadits-hadits shohih yang dengan jelas mengatakan bahwa zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk uang, sehingga bila keluar dari aturan ini maka tujuan zakat fitrah sebagai makanan bagi kaum miskin menjadi tidak tercapai.
Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memaparkan bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat, maka tidak boleh, karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka boleh jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi juga dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan. Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan terdapat maslahat atau untuk keadilan maka hal itu tidaklah mengapa. (Majmu’ Fatawa, 25/82-83)
Hal ini juga pernah dikatakan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah tentang seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah dibolehkan kalau saya memberi uang dirham dalam zakat fitrah?” maka Imam Ahmad menjawab, “Saya khawatir itu tidak sah karena menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam uang juga sudah dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhuma tetap mengeluarkan kewajiban zakat fitrah dengan makanan pokok yang digunakan di masa itu. Pendapat ini juga yang diikuti syaikh Bin Baaz, syaikh Al-Utsaimin, dan syaikh Al-Fauzan rahimahumullah. (Fatawa Ramadhanan, 2/918-928)
Adapun pendapat yang membolehkan mengeluarkannya dalam bentuk uang adalah imam Abu Hanifah rahimahullah. Tentu ini terkait dengan kondisi tertentu dan tidak diperbolehkan sesuka hati semata karena alasan malas atau memudah-mudahkannya. Selain itu dianjurkan penyerahan zakat oleh pewajib zakat (muzakki) tersebut diwakilkan kepada badan pengurus zakat (amil) sehingga selanjutnya amil inilah yang bertanggung-jawab dalam mengurus pembelian makanan pokok dan meneruskannya kepada yang berhak menerimanya (mustahiq).
Kriteria Penerima Zakat (Mustahiq)
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ ...
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia, kata-kata yang kotor, dan sekaligus sebagai makanan bagi orang-orang miskin… “ (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Penerima zakat fitrah sebenarnya sama dengan penerima zakat selainnya, akan tetapi dalam perkara ini, kaum fakir-miskin lebih diutamakan dari golongan yang lainnya. Syaikh Al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil III/332 menuliskan riwayat dari Sa’id bin Manshur bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukupilah mereka (fakir-miskin) dari meminta-minta di hari itu.”
Sifat orang beriman dan bertakwa diantaranya adalah menunaikan zakat yang menjadi kewajiban sebagaimana wajibnya sholat fardhu. Kewajiban zakat pun disandingkan dengan kewajiban sholat sebanyak 80 ayat dalam Al-Qur’anul karim. Ini menunjukkan tentang keagungan zakat dalam Islam. Oleh sebab itu jangan sampai enggan, lalai, apalagi menolak berzakat—apatah lagi puasa kita sepanjang ramadhan rentan dari kesempurnaan, maka dengan zakat fitrah lah amalan tersebut bisa dibersihkan di hari fitri yang menggembirakan. Insyaa Allah …
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bisshowwab.