(Abujibriel.com)—Yaa ayyuhal ikhwani wa akhowatifillahi, Al-Qur’anul Karim adalah kalamullah (perkataan Allah). Disebut juga kitabullah (kitab Allah), yaitu sebuah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wassallaam, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah (cerita) filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia (hukum-hukum atau syari’ah) baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial sehingga berbahagia hidup di dunia dan akhirat.
Al-Qur’anul Karim dalam menerangkan hal-hal diatas, ada yang dikemukakan secara tafshil (terperinci), seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara mujmal (umum dan garis besarnya saja). Yang diterangkan secara mujmal ada yang diperinci dan dijelaskan oleh hadits-hadits nabi sholallahu ‘alaihi wassallaam dan ada yang diserahkan kepada kaum muslimin sendiri untuk memerincinya sesuai dengan keperluan satu kelompok manusia, keadaan, masa dan tempat. Seperti dalam masalah kenegaraan, Al-Qur’an mengemukakan prinsip syuro yaitu adanya suatu badan yang mewakili rakyat, keharusan berlaku adil, dsb.
Di samping itu, Islam membuka pintu ijtihad kepada kaum muslimin dalam hal yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits secara qath‘i atau tegas. Terbukanya pintu ijtihad ini yang memungkinkan manusia memberikan komentar, memberi keterangan, dan menyampaikan pendapat tentang hal yang tidak disebut atau yang masih umum dan belum terperinci dikemukakan oleh Al-Qur’an.
Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wassallaam sendiri beserta para shahabat beliau, adalah orang-orang yang menjadi pelopor dalam hal ini. Kemudian diikuti oleh para tabi’in (orang-orang yang bertemu dengan para shahabat Rasulullah kemudian beriman) dan para tabi’ut tabi’in (orang yang bertemu para tabi’in tapi tidak bertemu shahabat). Kemudian generasi-generasi yang tumbuh dan hidup pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, betapapun keahlian seseorang memahami arti tiap-tiap kalimat dalam Al-Qur’an, maka ia tidak boleh keluar dari sunnah rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallaam, pendapat para shahabat radliyallahu ‘anhuma, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta para ulama mu’tabar (yang dapat dijadikan rujukan). Itulah yang dinamakan riwayat, terutama yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum. Seseorang tidak boleh mengikut pendapatnya sendiri atau menurut akal pikirannya semata. Seseorang boleh menafsirkan Al-Qur’an dengan akal pikirannya dengan syarat memenuhi ketetentuan-ketentuan berikut:
- Memahami kaidah bahasa Arab dengan baik, agar dapat memahami makna dengan sejelas-jelasnya.
- Tidak boleh menyelisihi dasar yang diterima oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallaam (sunnah Rasul) dan ijma‘ ulama shahabat.
- Tidak boleh fanatik terhadap madzhab tertentu, sehingga ia membelokkan maksud Al-Qur’an sesuai dengan mazhab yang dianut.
- Memahami sebab-sebab turunnya ayat serta konteks ayat ketika diturunkannya.
CARA PENAFSIRAN YANG TERBAIK
Jika ada yang bertanya bagaimana cara penafsiran Al-Qur’an yang terbaik, jawabannya ialah :
1. Sebaik-baik cara penafsiran ayat adalah menafsirkan ayat dengan ayat Al-Qur’an, sebab ada kalanya yang disingkat pada suatu ayat diperinci atau diperjelas pada ayat yang lain, tetapi jika tidak mendapat pengertian dari ayat, maka kembalilah kepada sunnah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallaam sebab sunnah Rasul itulah yang menerangkan Al-Qur’an dan menjelaskannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al–Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. an-Nahl: 64)
Dan sunnah Rasul juga merupakan wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wassallaam, hanya saja posisi yang membedakannya. Firman Allah Ta’ala:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an Najm:3-4)
Oleh sebab itulah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallaam bersabda:
أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ القُرآنَ وَمِثلَهُ مَعَهُ .
“Ingatlah sesungguhnya aku telah diberi Al–Qur’an dan yang serupa dengan Al–Qur’an, di samping Al–Qur’an (Sunnah Rasul).” (HR. Abu Dawud)
2. Mengikuti tafsiran para shahabat Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallaam yakni jika tidak mendapatkan tafsiran ayat didalam Al-Qur’an, ayat dengan ayat dan ayat dengan hadits, maka sebaik-baik cara ialah mengikut penafsiran para shahabat nabi sholallahu ‘alaihi wassallaam. Dan di antara ulama shahabat ialah Abdullah bin Abbas yang telah dido’akan oleh nabi sholallahu ‘alaihi wassallaam:
اللَّهُمَّ فَقِّههُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمهُ التَّأوِيلِ
“Ya Allah, pandaikan ia dalam agama dan ajarkan kepadanya ilmu tafsir.“
Di antara perkataan beliau ialah bahwa Al-Qur’an diturunkan meliputi empat hal, yaitu:
- Perkara halal dan haram.
- Bagian yang dapat ditafsirkan oleh semua orang yang mengerti bahasa Arab.
- Bagian yang hanya ditafsirkan oleh para ulama.
- Yang mutasyabih yang tiada seorang pun yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala.
Adapun menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat akal pikiran karena sudah mengerti bahasa Arab saja, maka hukumnya haram.
- Ibnu Abbas berkata nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wassallaam bersabda:
مَن قَالَ فِي القُرآنِ بِرَأيِهِ أَو بِمَا لاَ يَعلَمُ فَليَتَبَوَّأ مَقعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang mengartikan Al–Qur’an hanya dengan pendapatnya atau dengan dasar yang ia tidak mengetahuinya, maka tempatnya adalah neraka.“ (HR. Tirmidzi dan An-Nasa’i)
2. Dari Jundab radliyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallaam bersabda:
مَن قَالَ فِي القُرآنِ بِرَأيِهِ فَقَد خَطَأ
“Barangsiapa yang mengartikan ayat Al–Qur’an semata-mata dengan pendapatnya, maka ia telah bersalah.“ (HR. Ibnu Jarir)
مَن قَالَ فِي كِتَابِ اللهِ بِرَأيِهِ فَأَصَابَ فَقَد أَخطَأَ
“Barangsiapa yang berpendapat mengenai ayat Allah hanya semata-mata akal pikiran, lalu kebetulan benar, maka itu pun salah.“ (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Demikian penjelasan sederhana perihal metode pentafsiran Al-Qur’an guna memperoleh pemahaman yang sesuai dengan syari’at-Nya. Semoga kita terhindari dari kekeliruan penafsiran dan syubhat dalam memahami kitabullah Al-Qur’anul karim. Wallahul musta’an.
(ditulis oleh ustadz Abu Muhammad Jibriel AR)