Kisah nyata di parlemen

Ambil Pelajaran

Wahai Orang-orang yang berakal[1]

(Abujibriel.com)—Saya tidak pernah menduga bahwa apa yang telah Allah tetapkan di dalam Kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya membutuhkan persetujuan hamba-hamba Allah, akan tetapi saya dikejutkan bahwa firman Ar Raab Yang Maha Tinggi itu senantiasa berada di dalam mushhaf –tetap memiliki kesucian di hati-hati kami- sampai hamba-hamba Allah di parlemen menyetujui untuk menjadikan firman Allah itu sebagai undang-undang. Bila ketetapan hamba-hamba Allah di parlemen itu berselisih tentang hukum Allah di dalam Al-Qur’an, maka sesungguhnya keputusan hamba-hamba Allah itu akan menjadi undang-undang yang dijadikan acuan dalam lembaga Yudikatif yang penerapannya mendapat jaminan dari lembaga Eksekutif, meskipun  itu bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukti atas hal itu adalah bahwa Allah telah mengharamkan khamr, akan tetapi parlemen mengizinkannya, dan Allah juga telah memerintahkan penegakkan huduud, akan tetapi parlemen menggugurkannya. Hasil yang ada sesuai dengan contoh-contoh itu adalah bahwa apa yang ditetapkan oleh parlemen telah menjadi qanuun (undang-undang), meskipun itu berseberangan dengan Islam.”

Kalimat di atas adalah kesimpulan salah seorang ulama Islam yang pernah duduk di kursi parlemen sebagai wakil rakyat selama delapan tahun.

Anggota dewan yang ‘alim ini dahulu telah merasakan betapa pentingnya ceramah di atas mimbar-mimbar dan pentingnya menulis di koran-koran. Setelah lama dia hidup menjalani metode-metode itu, dia semakin yakin terhadap pengaruh hasil yang dicapainya, akan tetapi dia merasakan bahwa sekedar (menulis dan ceramah) saja tidak bisa menghasilkan perubahan dalam undang-undang dan pengaruh yang berkesinambungan dalam kekuasaan Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif, maka akhirnya dia mencalonkan dirinya untuk menjadi anggota parlemen dalam rangka mencari metode baru untuk tujuan meninggikan kalimat Allah dengan pemberlakuan/penerapan syari’at Islamiyyah, ini untuk menyelamatkan hamba-hamba Allah dari kesesatan, dan melepaskan mereka dari kebatilan, serta merangkulnya ke dalam haribaan Islam.

Akhirnya sang ‘alim ini berhasil menjadi anggota parlemen di bahwa motto (Berikan suaramu kepadaku, agar kami bisa menata dunia ini dengan agama), dan orang-orang pun memberikan suara mereka kepadanya karena merasa percaya kepadanya, meskipun banyak cara-cara pemalsuan dan manipulasi dalam pemilu-pemilu itu. Maka keanggotaan sang ‘alim ini terus berturut-turut selama dua masa jabatan, kemudian setelah masa itu dia berkata: (Sesungguhnya suara Islam itu sangatlah sulit mendapatkan gemanya di dua masa/ periode ini).

Pada suatu hari sang ‘alim ini pergi menuju salah satu kantor kamtib untuk menyelesaikan kepentingan-kepentingan masyarakat, kemudian dia dikagetkan di kantor rehabilitasi moral dengan keberadaan tiga puluh wanita yang duduk di atas lantai, maka dia bertanya: “Apa kesalahan mereka?” maka seorang petugas menjawab kepadanya: “Sesungguhnya mereka itu adalah wanita-wanita jalang (WTS/ PSK).” Maka si ‘alim bertanya: “Mana para laki-laki hidung belangnya, karena itu adalah kriminal yang tidak mungkin dilakukan kecuali antara laki-laki pezina dengan wanita pezina.” Maka si petugas memberitahukan kepadanya, bahwa si laki-laki pezina bagi mereka adalah hanyalah sekedar saksi bahwa dia telah melakukan zina dengan wanita ini dan dia telah memberinya bayaran atas hal itu, kemudian dia (si wanita) dikenakan hukuman bukan karena dia telah berzina akan tetapi karena dia telah meminta upah. Ternyata orang yang mengaku bahwa dirinya berzina telah berubah menjadi saksi atas si wanita, dan undang-undang tidak menoleh kepada pengakuan zina orang tersebut.

Sang wakil yang ‘alim ini berang, marah karena Allah, maka si petugas berkata kepadanya dengan santai: “Kami hanya melaksanakan undang-undang yang kalian tetapkan di parlemen.”

Akhirnya si wakil yang ‘alim ini mengetahui bahwa meskipun banyaknya orang yang menyuarakan penerapan syari’at dan meskipun itu didukung oleh Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya, maka sesungguhnya harapan-harapan akan penegakkan syari’at itu tidak mungkin terealisasi kecuali lewat jalur parlemen yang mereka namakan (kekuasaan legislatif). Dan dikarenakan badan yudikatif itu tidak memutuskan kecuali dengan undang-undang yang bersumber dari parlemen, serta karena kekuasaan eksekutif tidak akan bergerak untuk melindungi Al-Qur’an dan As Sunnah serta tidak pula bergerak melindungi Al-Islam, kecuali dalam batas kesucian apa yang telah diakui oleh parlemen, maka sang ‘alim ini meyakini bahwa mencapai tujuan ini adalah mungkin saja, bila para anggota parlemen mengetahui bahwa ini adalah mungkin saja, bila para anggota parlemen mengetahui bahwa ini adalah firman Allah, ini sabda Rasulullah dan ini hukum Islam, supaya mereka menetapkannya.

Berangkatlah sang wakil rakyat yang ‘alim ini, terus dia mengajukan program penggodokan undang-undang untuk menegakkan hudud syar’iyyah, program penggodokan undang-undang untuk mengharamkan riba dengan pengajuan solusi pengganti, program penggodokan undang-undang untuk menertibkan sarana-sarana informasi agar sesuai dengan hukum-hukum Allah, program penggodokkan undang-undang untuk menghormati kesucian bulan Ramadhan dan tidak terang-terangan melakukan pembatal shaum di siangnya, program penggodokkan undang-undang untuk membersihkan pantai-pantai wisata dari hal-hal porno/cabul/keji/dhl, serta program-program Islamiyyah lainnya. Program-program ini dia tanda-tangani dan ikut pula menanda-tanganinya sekian banyak anggota parlemen.

Wakil yang ‘alim ini berangkat untuk menunaikan ‘umrah disertai sebagian anggota parlemen itu. Di sisi hajar aswad mereka berjanji kepada Allah untuk selalu memperjuangkan syari’at Allah di parlemen. Kemudian mereka naik pesawat menuju Al-Madinah Al-Munawwarah, dan di sana juga mereka saling berjanji setia untuk menyuarakan suara-suara mereka demi membela syari’at Allah bukan membela partai-partainya.

Sang wakil yang ‘alim ini menyalahkan ketiga lembaga itu (eksekutif, yudikatif, dan eksekutif) atas pelegalan hal-hal yang diharamkan dan penyimpangan terhadap syari’at. Dia mengancam menteri keadilan bahwa dia akan menggunakan hak interpelasi terhadapnya setelah beberapa bulan, karena si menteri tidak menyerahkan apa yang telah diselesaikan berupa undang-undang pemberlakuan syari’at Islam. (Ternyata) si menteri itu tidak memenuhi apa yang diminta oleh sang wakil tersebut, maka dia menginterpelasi sang menteri itu –interpelasi dalam kamus parlemen adalah mengharuskan pejabat yang diinterpelasi untuk menjawab apa yang diajukan oleh anggota parlemen selama keanggotaan si menteri itu belum gugur atau si menteri yang diinterpelasi belum keluar dari jabatan kementerian- dan si wakil itu terus saja menginterpelasi si menteri dan pemerintah pun justru mendukung si menterinya dan bersikeras berusaha untuk menggugurkan interpelasi itu. Pada saat runcingnya hal interpelasi si wakil itu, maka pemerintah merombak kabinetnya dan tidak ada yang diberhentikan dari jabatan menteri, kecuali menteri keadilan itu, jadi dia dicopot dari jabatannya supaya hak interpelasi itu menjadi gugur. Perlakuan ini sering terjadi berulang-ulang sehingga menjadi kaidah yang jitu saat berhadapan dengan parlemen.

Si wakil rakyat itu kembali bertanya-tanya kepada para anggota dewan seraya berkata: “Sesungguhnya proyek-proyek undang-undang Islamiyyah itu disimpan di laci-laci panitia, sedangkan kalian telah berjanji kepada Allah di Al-Haramain untuk menjadikan suara-suara kalian ini bagi Allah dan Rasul-Nya.” Dan si wakil rakyat itu meminta mereka agar menanda-tangani untuk menuntut pemberlakuan secepatnya syari’at Islamiyyah, maka merekapun memenuhi permintaannya dan menanda-tangani apa yang diminta oleh sang wakil, kemudian sang wakil rakyat yang ‘alim ini menyimpan berkas ini di sekretariat parlemen. Dia meminta atas nama semua anggota dewan agar memperhatikan undang-undang syari’at Allah. Maka ketua parlemen pun bangkit dan menuntut atas nama semua anggota agar kembali memperhatikan undang-undang penerapan syari’at Allah, dan dia berkata: “Sesungguhnya pemerintah ini memiliki semangat yang sama dengan kalian untuk membela Islam, akan tetapi kami meminta dari anda-anda kesempatan untuk melakukan lobi-lobi politik”, maka semua anggota yang menanda-tangani dan yang telah berjanji di Al-Haramain untuk memberlakukan syari’at Islam bertepuk-tangan dan menyetujui permintaan itu, sehingga lenyaplah sudah tuntutan penerapan secepatnya akan syari’at Islam, dan menanglah pemerintah.

Maka keputus-asaan telah meliputi diri sang wakil rakyat yang ‘alim itu, karena ketidak-berhasilan usaha-usahanya dalam rangka menegakkan syari’at bersama-sama dengan para anggota yang telah dia ajak kemudian mereka menyetujuinya, lalu setelah itu mereka justru berpaling. Akan tetapi dia suatu hari dikejutkan dengan satu usulan dari ketua parlemen untuk menyepakati dibentuknya panitia umum dalam rangka mengundang-undangkan syari’at Islamiyyah, maka ternyata jelaslah tujuan sebenarnya, dia mendapatkan bahwa keputusan pemerintah yang tiba-tiba ini tidak lain untuk menutupi kebobrokan maha besar yang telah mencoreng negeri dan pemerintah ini tidak mengambil keputusan untuk kepentingan Islam. Sang wakil rakyat itu tetap menyambut rencana ini meskipun dia mengetahui tujuan sebenarnya. Panitia pun berkumpul, akan tetapi si wakil rakyat merasakan ketidak-seriusan pemerintah terhadap penerapan syari’at Allah, karena seandainya pemerintah memang menginginkan ridha Allah, tentu di sana ada hal-hal yang tidak membutuhkan proses-proses. Penutupan pabrik-pabrik khamr mungkin dilakukan dengan satu goresan pena, dan penutupan diskotik dan bar-bar bisa dengan satu goresan pena pula.

Ada fenomena yang menunjukkan bahwa di balik itu ada tujuan sebenarnya, yang semuanya memberikan pengaruh dalam jiwa sang wakil –yang sebenarnya merupakan salah satu kaidah dalam menghadapi parlemen- yang isinya adalah: Bahwa syari’at Allah tidak akan terealisasi selama-lamanya lewat tangan-tangan anggota parlemen.

Masyarakat dan si wakil rakyat ini dikejutkan dengan dibubarkannya parlemen, padahal sebelumnya dia adalah ketua panitia proyek-proyek penerapan syari’at Islamiyyah dan dia terus melakukan pengkajian dan penyusunan undang-undang bersama panitia dalam tiga puluh pertemuan.

Pada saat kekosongan (kevakuman) parlemen muncullah keputusan yang sangat berbahaya dalam masalah yang menyentuh langsung kehidupan pribadi masyarakat. Maka sang wakil rakyat yang ‘alim ini berdiri menghadang keputusan ini, karena itu bertentangan dengan Islam dan undang-undang dasar, akan tetapi kaidah yang baku mengatakan: Sesungguhnya parlemen itu bisa dibubarkan dengan dekrit bila negara hendak memaksakan sesuatu atas masyarakat, meskipun itu bertentangan dengan Islam.

Adapun kaidah terpenting yang dijadikan landasan oleh parlemen adalah apa yang telah disimpulkan oleh sang wakil yang ‘alim dengan ucapannya:

Sesungguhnya meskipun saya diberi kemampuan menyampaikan hujjah-hujjah dan meskipun sikap saya ini berlandaskan Kitab dan Sunnah, maka sesungguhnya diantara aib parlemen dan tanggung-jawabnya yang jelas nista adalah bahwa demokrasi itu menjadikan keputusan itu ada di tangan mayoritas secara mutlak dengan pasti, dan tidak ada batas serta tidak ada syarat meskipun bertentangan dengan Islam.”

Sang wakil mulai merasakan bahwa ada langkah dan usaha-usaha dari pemerintah, ketua parlemen dan partai-patai mayoritas untuk mempersempit geraknya. Kepemimpinan parlemen pun mulai melawan usaha-usahanya, dan menuduhnya bahwa dia menghambat pekerjaan-pekerjaan panitia, akan tetapi dia terus mengerahkan usaha dan kemampuannya. Dia mengajukan banyak pertanyaan yang belum dicantumkan dalam jadwal-jadwal panitia, dan dia juga bangkit menuntut banyak permintaan untuk merubah jadwal, akan tetapi dia mendapati semua itu sudah dikubur dan tidak ada lagi wujudnya. Kemudian dia kembali menggunakan hak interpelasinya yang tidak bisa ditolak. Dia menginterpelasi menteri-menteri pemerintahan tentang penutupan yang dilakukan negara terhadap lembaga pengadilan agama, pondok-pondok tahfidz Al-Qur’anul Karim, dan tentang tindakannya terhadap kurikulum-kurikulum pendidikan di universitas-universitas agama dengan dalih pengembangannya, dan tentang tekanannya terhadap masjid-masjid dengan cara mengeluarkan keputusan yang tidak membolehkan seorangpun meskipun dia itu adalah syaikh (ulama) untuk masuk tempat ibadah dan mengatakan meskipun dalam rangka nasihat agama ungkapan yang bertentangan dengan aturan kantor/ tatatertib atau undang-undang yang baku, dan siapa melakukannya maka dia ditahan dan dikenakan denda dan bila dia melawan, maka denda dilipat-gandakan dan dipenjara.

Sang wakil rakyat yang ‘alim ini menginterpelasi menteri pariwisata, karena para siswa sekolah perhotelan dipaksa harus mencicipi khamr, mereka menolak lalu diberhentikan dari sekolah. Dia juga menginterpelasi menteri penerangan menuntut dibersihkannya sarana-sarana informasi dari hal-hal porno yang menghancurkan tatanan moral dan akhlak serta kesucian negeri. Interpelasi ke tiga kepada menteri perhubungan tentang fenomena buruk dan tindakan tidak maksimal terhadap sarana ini. Sang wakil rakyat yang ‘alim ini telah merasa bahwa ia terus mengajukan berbagai macam interpelasi akan tetapi seolah-olah itu ditujukan terhadap drum yang bolong, maka ia berdiri di parlemen seraya meminta pertanggung-jawaban ketuanya dan menuduhnya bahwa dia telah keluar dari tata-tertib parlemen. Maka ketua parlemen memerintahkan dalam permainan yang berkesan untuk memasukkan tiga interpelasi itu dalam satu kali pertemuan, padahal setiap interpelasi itu membutuhkan beberapa hari, kemudian dia memanggil salah satu fraksi parlemen dari partai mayoritas untuk menggulirkan interpelasi-interpelasi ini. Menteri pariwisata dipanggil lalu pemerintah yang menentang pencantuman interpelasi ini dalam jadwal kerja ikut campur karena di dalamnya ada kata-kata yang pedas yaitu (tuduhan yang dilontarkan pemilik interpelasi itu terhadap sang menteri, bahwa dia mengingkari hakikat sebenarnya dalam menjawab pertanyaannya) kemudian situasi dilimpahkan kepada para wakil rakyat di parlemen, maka mereka memutuskan untuk menghapuskan interpelasi itu dan mereka menggugurkan apa yang dinamakan haq dustuuriy (hak undang-undang) sang wakil rakyat itu dalam meminta pertanggung-jawaban pemerintah. Kemudian selanjutnya interpelasi kedua yang diajukan kepada menteri penerangan, sebagaimana para wakil itu membela khamr, maka mereka juga membela dansa padahal mereka itu sudah berjanji kepada Allah untuk membela syari’at-Nya. Kemudian selanjutnya dibahas interpelasi ke tiga, akan tetapi para wakil rakyat ini melihat bahwa permintaan tanggung-jawab si menteri perhubungan ini sesuai dengan selera mereka (maka mereka membela interpelasi sang wakil rakyat itu), maka pada akhirnya sang wakil yang ‘alim itu berdiri ke podium dan berkata kepada para wakil di parlemen:

Wahai hadirat para wakil yang terhormat, saya bukanlah penyembah jabatan, dan saya juga tidak menginginkan kursi ini karena kedudukannya, sungguh syi’ar saya dahulu adalah ‘Berikan suaramu kepadaku agar kami benahi dunia ini dengan agama’ dan dahulu saya mengira bahwa cukup untuk mencapai tujuan ini dengan mengajukan proyek-proyek undang-undang Islamiyyah, akan tetapi telah nampak jelas bagi saya bahwa majelis kita ini tidak memandang hukum Allah kecuali lewat hawa nafsu kepartaian dan mana mungkin hawa nafsu itu mempersilahkan agar kalimat Allah itu adalah yang paling tinggi…

Saya telah mendapatkan bahwa jalan saya untuk menuju tujuan itu telah dan selalu tertutup diantara kalian, oleh sebab itu saya mengumumkan pengunduran diri saya dari parlemen ini tanpa ada penyesalan dan rasa sayang akan hilangnya keanggotaan saya ini.

Dan pulanglah sang wakil rakyat yang ‘alim ini ke rumahnya pada bulan April tahun 1981, dan majelis pun ditutup.

Sang wakil rakyat yang ‘alim ini telah meninggalkan parlemen itu, kemudian beberapa tahun berikutnya dia pergi meninggalkan dunia yang fana ini, dan parlemen pun tetap selalu memutuskan, menetapkan hukum, dan melaksanakan dengan selain apa yang Allah turunkan. Wallahu a’lam bish shawaab. (abdullahahmad)

(Diangkat dari buku Demokrasi Sejalan dengan Islam? Karya Abu Muhammad al-Maqdisiy, arrahmah media)

 



[1]     Makalah Doktor Ahmad Ibrahim Khidr yang disebarkan dalam edisi ke-66 dalam majalah Al Bayan yang diterbitkan oleh Al Muntadaa Al Islamiy di London.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *