Adalah Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu ketika beliau menjabat khalifah, atau amirul mu’minin, atau kepala negara—beliau memakai baju yang bertambal empat buah diantara kedua bahunya. Bayangkan , beliau seorang kepala negara dan baju dinasnya bertambal-tambal. Hebatnya, beliau tidak merasa minder, tidak merasa turun harga dirinya karena memakai baju yang bertambal.
Alangkah bedanya dengan kita, ketika kita malu karena memakai jas yang sudah pernah dipakai menghadiri resepsi setahun yang lalu. Malu dong, itu lagi… itu lagi. Seperti tidak ada baju yang lain. Karena bagi kita, wibawa itu sering dihubungkan dengan penampilan. Maka kita perlu pakai arloji Rolex, menyelipkan empat buah pulpen Parker di kantong atas—padahal kita jarang menulis. Tidak seperti Imam Ath-Thohari yang setiap hari menulis 40 halaman selama 40 tahun. Subhanallah…
Umar bin Khattab belum pernah terdengar mengeluh soal gajinya yang tidak naik-naik, namun keluarganya yang mengeluh: kok gaji kepala negara tidak naik-naik? Tahukah anda berapa gaji kepala negara pada saat itu? Setara dengan kebutuhan seorang pengungsi. Jadi, kalau ada pengungsi lumpur Lapindo datang ke Jakarta—berapa kebutuhannya, ya begitulah gaji seorang kepala negara masa itu. Sementara gula sekian, beras sekian, minyak sekian, dan lain-lain. Maka yang mengeluh adalah keluarganya. Mereka berkumpul untuk membicarakan hal itu. Akhirnya mereka sepakat usul supaya gaji khalifah amirul mu’minin dinaikkan. Tapi siapa yang akan jadi juru bicara untuk menyampaikan hal itu kepada Umar bin Khattab? Akhirnya ditunjuklah seseorang untuk menyampaikan hal itu. Namun apa yang terjadi? Baru saja mulai bicara, belum lagi selesai yang dibicarakan, ia sudah dibentak oleh Umar, “Hai musuh Allah! Apa maksudmu?!” Pembicaraan itu terputus, rundingan macet, tak bisa diteruskan.
Pada suatu hari beliau radliyallahu ‘anhu datang ke rumah anaknya, ‘Ashim yang kebetulan sedang makan malam menikmati makan dengan daging. Maka Umar bertanya, “Apa ini?” ‘Ashim menjawab, “Kami sedang berselera makan daging.” Umar berkata, “Apakah setiap engkau berselera terhadap sesuatu, engkau akan memakannya?” Iapun menegur anaknya yang makan daging itu. Di saat rakyat sedang dalam keadaan prihatin, dalam keadaan lapar, mengapa ‘Ashim sebagai putera khalifah malah enak-enakan makan daging? Sungguh suatu contoh yang tidak baik. Akan halnya Umar bila datang musim paceklik dan keadaan menjadi susah, maka ia adalah contoh terdepan yang dengan keadaan tersebut ia selama setahun tidak makan daging dan minyak samin.
Kita melihat ketika seorang kepala negara mengajak rakyatnya untuk hidup sederhana, maka yang sulit dalam memberi contoh adalah justru anak dan isterinya. Kita masih ingat, beberapa tahun yang lalu ada seorang isteri kepala negara yang memiliki 3000 pasang sepatu. Ironis sekali. Padahal kaki manusia cuma dua. Bahkan binatang kaki seribu saja tidak punya sepatu.
Dunia terus berputar, zaman berganti. Namun tampuk kekuasaan selalu menarik minat banyak orang. Rencana duduk di kursi empuk cuma sebentar, akhirnya malah keterusan. Maka kita lihat kepala negara Mesir yang lalu, setiap lima tahun sekali selalu diambil sumpahnya memimpin negara. Bahkan 30 tahunpun belum terasa cukup, jabatan ingin dipegang terus sampai ke liang kubur.
Coba anda baca surat Ali ‘Imron ayat ke-26. Disitu antara lain dikatakan, “Engkau berikan kekuasaan kepada yang Engkau kehendaki, Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki.” Mengapa dalam ayat ini Allah menggunakan kata-kata ‘cabut’? Bukankah lawan kata ‘memberi’ adalah ‘mengambil’? Rupanya itu adalah sebuah isyarat bahwa yang namanya kekuasaan itu kalau tidak dicabut, maka akan tidak dikembalikan. Maka jutaan orang berkumpul di Tahrir square belasan hari. Ratusan orang tewas, ribuan luka-luka. Akhirnya Mubarak tidak bisa lagi bertahan (mempertahankan kekuasaannya). Bahkan Amerika sebagai teman dekat tak bisa menolong. Boleh jadi karena terlalu sibuk mengurusi Al-Qaeda sehingga tak menduga aksi massa Mesir begitu dahsyatnya.
Baca kembali surat Ali ‘Imron itu baik-baik: “Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki…” Mari kita ingat, bahwa kemuliaan yang sebenarnya datang dari Allah, maka kehinaan pun demikian. Silahkan saja seseorang memuji dirinya setinggi langit, atau bintang jasanya bertumpuk di dada sehingga diangkat dan dipuja-puji oleh ribuan orang, silakan! Bukan mustahil di ujung usianya ia malah akan dijatuhkan menjadi rendah. Orang bersorak-sorai ketika ia meletakkan jabatan. Rakyat seolah lepas dari himpitan batu yang menindih dada.
Sebaliknya, ada orang yang difitnah masuk penjara. Dituduh teroris, digerebek seperti penjahat. Bahkan kemudian hari namanya menjadi harum. Buya Hamka, masuk penjara dua tahun empat bulan. Selama di penjara malah aktif menulis Tafsir Al- Azhar 30 jilid. Ketika namanya makin harum, kita malah lupa siapa nama polisi yang menangkap beliau, membentak-bentak beliau ketika interogasi. Mereka semua hilang ditelan sejarah. Maha Suci Allah Yang memuliakan dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya.
Anda masih ingat bagaimana akhir hayatnya Shah Iran? Ke negara mana saja ia mengungsi? Dimana akhirnya ia meninggal? Akhirnya semua milik Allah dan semua akan kembali kepada-Nya.
Bumi berputar, musim berganti, waktu terus berjalan. Hanya sedikit orang yang mau mengambil pelajaran: bahwa kekuasaan adalah titipan, amanah yang harus dijaga sebaik-baiknya. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang harus dijunjung tinggi. Apabila amanah sudah mulai berat dipikul,maka artinya sudah datang waktu untuk melimpahkannya pada orang lain.
Maka jika engkau tidak menjaga amanah dengan baik, hati-hatilah! Allah yang akan mencabutnya dan engkau akan terjatuh dengan hina! (abdullahahmad)
(ditulis oleh Ustadz. H. Tarmizi Firdaus, Syi’ar Islam rabiul awwal 1432 h)