Kapan zaman dikatakan jahiliyah?

oleh Ustadz Abu Muhammad Jibriel AR

 

Peradaban manusia pada hari ini berada dalam kegelapan jahiliyah yang amat tebal. Mungkin banyak yang merasa heran dan membantah pernyataan ini. Betapa tidak, zaman peradaban dan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan, keteraturan dan keserasian, penaklukan manusia atas alam, atom, dan roket—adakah yang seperti ini disebut zaman jahiliyah?

Disadari atau tidak, saat ini manusia telah mencapai kebesaran yang menakjubkan, yang selama ini belum pernah mereka peroleh di sepanjang perjalanan sejarahnya. Kekuasaan dan kemampuan yang dicapainya telah mencapai tingkat sedemikian rupa, yang sebelumnya tidak pernah termimpikan. Lalu bagaimana mungkin kita mengatakannya zaman jahiliyah? Tidak mungkin! Apalagi nilai-nilai yang menaungi manusia dewasa ini berupa kemerdekaan dan kebebasan, persaudaraan dan persamaan, keadilan dan kesetaraan, bagaimana bisa disebut jahiliyah?

Kebanyakan orang menyangka bahwa jahiliyah itu merupakan periode masa tertentu yang terjadi di jazirah Arab sebelum Islam. Orang-orang yang berpikiran serupa itu termasuk orang-orang baik, yang tidak pernah membantah pernyataan Allah yang menyebutkan kehidupan di jazirah Arab sebelum diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalaam sebagai masa jahiliyah. Mereka betul-betul meyakini bahwa kehidupan yang ada saat itu bila dibandingkan dengan Islam, memang betul-betul jahiliyah.

Sementara itu mereka yang tidak termasuk kelompok orang-orang yang tidak baik, secara tidak Islamis, menolak pandangan itu. Mereka ini termasuk kelompok orang yang memberikan reaksi ashabiyah seperti yang dinyatakan Rasulullah dalam ucapannya ini:”Bukanlah termasuk golongan kami, orang-orang yang menyerukan kefanatikan (ashabiyah).” Lantaran itu mereka membantah dengan keras adanya “kejahiliyahan” di jazirah Arab sebelum Islam, dan bahkan mengatakan bahwa kejahiliyahan seperti yang dinyatakan oleh Al-Qur’an itu tidak pernah ada sama-sekali di jazirah Arab. Demikian menurut mereka, yang ada hanyalah kebaikan-kebaikan, nilai-nilai intrinsik, ajaran-ajaran dan peradaban yang selamanya menyambung dengan peradaban Romawi dan Rusia.

Jahiliyah bukanlah sekedar suatu bentuk tertentu sebagaimana yang digambarkan oleh sekelompok ‘yang baik’ itu, yang menganggap ia merupakan satu masa dan kondisi tertentu yang telah berlalu dan tak bakal kembali untuk selamanya. Tetapi jahiliyah adalah suatu “inti” tertentu yang bisa mengambil bentuk dalam sosok yang beraneka macam sesuai dengan kondisi dan situasi dimana ia muncul, kendatipun fenomena yang ada di dalamnya berbeda sama-sekali. Juga, secara klasifikasi ia bukanlah kebalikan dari ilmu pengetahuan, peradaban, kebudayaan, kemajuan dalam segi materi, ataupun nilai-nilai intelektual, sosial dan politik, baik yang berkenaan dengan jahiliyah Arab maupun jahiliyah masa kini seperti yang digambarkan oleh kelompok kedua itu.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Ma’idah, 5:50)

Al-Qur’an sama-sekali tidak pernah mengatakan bahwa bangsa Arab itu jahiliyah hanya karena lantaran mereka tidak kenal astronomi, biologi, maupun kedokteran. Atau disebabkan karena mereka buta politik atau tidak tahu apa yang disebut produksi dalam bidang materi. Juga bukan sekedar karena secara kategoris mereka tidak memiliki perilaku atau nilai-nilai yang baik.

Kalau seandainya Al-Qur’an menyatakan hal itu, niscaya untuk menghilangkan kejahiliyahan dalam bidang ilmu pengetahuan misalnya, sudah jelas adalah ilmu astronomi, ilmu kedokteran, biologi, kimia, dan lain sebagainya; substitusi kejahiliyahan dalam bidang politik adalah pengetahuan dan teori-teori pilitik yang dikaji secara terperinci; substitusi untuk kejahiliyahan yang berupa tiadanya perilaku dan nilai-nilai utama adalah peningkatan semua segi yang berkenaan dengan itu.

Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang jahiliyah lantaran mereka berhukum kepada hawa nafsunya sendiri dan menolak berhukum pada apa yang diturunkan Allah Ta’ala. Sedangkan substitusi yang dianugerahkan-Nya bagi kejahiliyahan mereka itu ternyata adalah Islam.

Pada banyak tempat, Al-Qur’an mengemukakan kisah tentang peradaban umat-umat yang telah lalu yang tidak diragukan sedikitpun, mereka betul-betul merupakan bangsa-bangsa (Arab) yang telah memiliki peradaban tinggi sampai saat lahirnya Islam. Kendatipun demikian, Islam tetap menganggap semuanya itu jahiliyah lantaran tidak berpetunjuk pada apa yang diturunkan Allah Ta’ala. Al-Qur’an menerangkan,

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya.” (QS. ar-Rum, 30:9-10)

Dengan dua ayat tersebut diatas, Al-Qur’an mengarahkan pandangan bangsa Arab jahiliyah tentang bentuk kejahiliyahan umat-umat yang telah lalu agar mereka mengambil pelajaran dan menghindarinya, sehingga mereka tidak lagi mendustakan ayat-ayat-Nya.

Kendatipun dalam ayat tersebut diatas tidak dipergunakan istilah ‘jahiliyah’ secara definitif, namun kandungan maknanya telah mencakup hal itu. Kepada orang-orang jahiliyah itu, Al-Qur’an seakan berkata, “Itulah orang-orang jahiliyah semisal kalian, sekalipun mereka itu lebih kuat daripadamu dan telah memakmurkan bumi ini lebih dari apa yang telah kalian lakukan. Oleh sebab itu, yang paling baik bagi kalian adalah keluar dari kejahiliyahan kalian ini yang mencakup bentuk kejahiliyahan mereka dan juga kejahiliyahan kalian sendiri dan masuk kedalam petunjuk Allah serta menjadi orang-orang muslim.”

Dengan demikian, jahiliyah adalah kondisi psikologis yang menolak berpedoman pada apa yang telah diturunkan Allah dan suatu sistem yang tidak berhukumkan pada apa yang telah diturunkan-Nya itu, kendatipun bentuknya berbeda satu sama lain seirama dengan perbedaan kondisi dan perangkat-perangkat pendukung kejahiliyahan itu sendiri. Namun pada hakekatnya keduanya sama saja, yakni suatu bentuk kekacauan hidup, ketidak-teraturan, petaka dan siksa.

Bertolak dari hal ini, maka jahiliyah bukanlah terbatas pada bentuk tertentu yang pernah ada pada masyarakat Arab pada masa tertentu pula, melainkan suatu kondisi yang bisa ditemukan kapan dan dimanapun. Seperti halnya ia akan dapat ditemukan pada tingkat ilmu pengetahuan, peradaban, kemakmuran materi, dan nilai-nilai intelektual, sosial, politik, dan kemanusiaan yang manapun sepanjang semuanya itu tidak berpetunjuk pada apa yang diturunkan Allah, dan hanya semata-mata mengikuti hawa-nafsunya sendiri.

Jahiliyah dan memperturutkan hawa-nafsu merupakan dua sisi mata uang yang sama. Orang-orang yang memperturutkan hawa-nafsunya, pasti menolak mengikuti petunjuk Allah, dan lantaran itulah maka mereka disebut jahiliyah. Dan mereka tidak akan terlepas dari konsekuensi-konsekuensi yang mengiringi, berupa kehancuran, kekacau-balauan, dan bencana.

Negara kita walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun dalam sistem pemerintahan mengacu pada sistem demokrasi yang nota-bene merupakan produk jahiliyah karena bertentangan dengan syari’at Allah. Oleh karena itulah demokrasi disebut sistem jahiliyah.

Demikian bahasan singkat kali ini, insyaa Allah akan ada pembahasan lebih lanjut. Wallahu a’lam bisshowwab. (abdullahahmad)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *