(Abujibriel.com)—Dunia adalah negeri ujian. Allah Ta’ala menghamparkan bumi dan menegakkan langit, lalu serta-merta mengisinya dengan berbagai-bagai keadaan. Semuanya telah Allah kehendaki untuk menguji dan mengetahui siapa-siapa sajakah dari hamba-hamba-Nya yang pantas memperoleh kedudukan terbaik diantaranya.
Diantara beragam ujian yang Allah berikan kepada manusia adalah ujian kedudukan berupa kekayaan dan kemiskinan. Ini adalah contoh ujian yang senantiasa akan selalu ada dalam kehidupan manusia sebagaimana Allah pastikan dalam firman-Nya:
“Wahai kaum mukmin, Kami pasti menguji kalian dengan berbagai coba¬an berupa rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Wahai Muhammad, berilah kabar gembira kepada orang-orang yang ikhlas menghadapi ujian.” (QS. al-Baqarah, 2:155)
Oleh karena itu, boleh jadi seseorang dilapangkan harta oleh Allah dan boleh jadi seseorang dimiskinkan-Nya. Ini adalah hak prerogatif Allah—manusia hanya bisa menerima takdirnya untuk kemudian Allah lihat bagaimanakah seseorang itu menyikapi takdirnya tersebut. Allah berfirman:
“…Hanya Allah yang membuat semua ketetapan dan hanya kepada-Nyalah kalian dikembalikan.” (QS. al-Qasas, 28:70)
Juga firman-Nya:
“Wahai orang-orang beriman, Kami akan menguji kalian, sehingga dapat Kami buktikan siapa di antara kalian yang mau berjihad dan bersabar diantara kamu. Kami akan menampakkan keadaan yang sebenarnya dari kalian semua.” (QS. Muhammad, 47:31)
Sementara itu Rasulullah menyebutkan kriteria seseorang sehingga dikatakan ia miskin. Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
“Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan, akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari no. 1476)
Lalu bagaimanakah Islam menuntun seorang muslim bila qadarallah ditakdirkan dalam keadaan miskin? Berikut beberapa diantara poin-poinnya:
1. Bersabar
Ini adalah ibarat senjata seorang mukmin yang utama dalam menghadapi berbagai-bagai keadaan, baik yang menyenangkan terlebih pada keadaan yang tak menyenangkan. Pada keadaan miskin, tentu sifat sabar amat diperlukan. Sifat yang mulia ini memiliki kedudukan di sisi Allah sebagaimana firman-Nya:
“…Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imron, 3:146)
Ayat diatas tampak sederhana namun memiliki makna yang sempurna. Dimana kesabaran adalah pangkal dari setiap kesuksesan dan merupakan buah dari keimanan. Cerminan seorang muslim sejati tampak dari sifat sabar yang dimilikinya.
Tapi bagaimana kriteria sabar yang dimaksud dalam perkara ini? Tentu saja yang dimaksud adalah sabar dalam menjalani kesulitan hidup dengan tanpa lisan yang melulu berkeluh-kesah, yang tanpa dipenuhi jiwa yang penuh hasad terhadap nikmat orang lain, serta yang tidak dipenuhi oleh tindakan-tindakan yang menyeleweng dari syari’at, seperti mencuri, menipu, ataupun mengusahakan yang diharamkan seperti riba, sementara ancaman bagi pemakan riba atau orang yang memanfaatkan hasil riba maka ia akan dibangkitkan dari kuburnya pada hari kiamat seperti orang yang kesurupan setan lantaran gila. Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) gila.” (QS. al-Baqarah, 2: 275)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berpendapat, “Itulah keadaan yang buruk bagi orang yang memakan riba. Orang yang memakan riba tidak dapat berdiri dari kuburnya pada hari berbangkit melainkan seperti orang yang kerasukan yang nampak gila.” (Tafsir Al-Karimir Rahman, hal. 117)
2. Berikhtiar
Bekerja-keras adalah hal wajib yang dikerjakan seorang muslim di tingkatan ekonomi manapun, terlebih dalam kondisi kesulitan ekonomi. Ia berkewajiban berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya dengan mengikuti batasan-batasan syari’at. Pencarian nafkah tersebut tentu saja bukan sekedar semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan saja, tetapi yang utama adalah sebagai penhttps://abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg dalam melaksanakan ketaatannya terhadap Allah Ta’ala. Dalam sebuah ayat, Allah juga telah memerintahkan ke setiap hamba-Nya untuk berupaya mencari nafkah:
“Wahai orang-orang beriman, bila shalat Jum’ah telah selesai dilaksa¬nakan, maka berpencarlah kalian di muka bumi. Carilah rezeki dari se¬bagian karunia Allah. Perbanyaklah kalian mengingat Allah supaya kalian mendapatkan keberuntungan di dunia dan di akhirat.” (QS. al-Jumu’ah, 62:10)
Juga dalam firman-Nya:
“Allah lah yang menjadikan malam untuk kalian agar kalian dapat beristirahat. Allah menjadikan siang untuk kalian mencari rezeki. Allah adalah Tuhan yang menguasai rezeki segenap manusia….” (QS. al-Mu’min, 40:61)
Pada praktek hidup sehari-hari, ternyata kita senantiasa menemui tak sedikit orang yang menggantungkan nafkahnya dengan cara mengemis meminta-minta belas-kasihan orang, maupun yang meminta secara paksa dan kasar. Sementara ketika diperhatikan, mereka yang berprofesi seperti ini secara fisik masih memiliki kemampuan untuk bekerja secara lebih terhormat. Jenis pekerjaan ini tentu sangat dibenci Allah sebagaimana yang Rasulullah sabdakan, dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya, dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR. Bukhari no. 2074)
Begitu pula dari ‘Abdullah bin ‘Umar yang ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040)
Sementara dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ
“Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad 4/165)
Itulah ancaman bagi mereka peminta-minta, yang malas berusaha dengan cara-cara yang halal dan selayaknya, padahal dikatakan dalam hadits diatas bahwa seseorang mencari dan mengumpulkan kayu bakar lalu menjualnya ke pasar—jauh lebih mulia di mata Allah. Dahulu para nabi, demikian juga Rasulullah pun bekerja-keras mencari nafkah dengan tangannya sendiri. Al-Miqdam, dari Rasululullah yang beliau bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan nabi Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072)
3. Berpola hidup sederhana
Sikap hidup selanjutnya adalah menjalani hidup secara bersahaja, tidak memenuhi setiap keinginan yang tidak memiliki kemanfaatan bagi hidup sehari-harinya, ataupun tidak ‘ngotot’ membeli sesuatu keperluan yang jauh di luar batas kemampuan. Tengoklah uswah kita Rasulullah, meski dunia datang memenuhi namun sikap hidup sederhanalah yang beliau jalani. Begitu juga para sahabat yang teramat mengutamakan kesenangan akhirat ketimbang perhiasan dunia yang fana.
4. Qona’ah
Makna qona’ah adalah sikap menerima terhadap ketetapan Allah. Rasulullah bersabda perihal seorang muslim yang menghiasi dirinya dengan sifat ini:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَ رُزِقَ كَفَافً وَ قَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا اَتَاهُ
“Sesungguhnya telah beruntung orang yang telah masuk agama Islam, diberi kecukupan rezeki, dan Allah menjadikannya qona’ah terhadap apa-apa yang telah Dia berikan kepadanya.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Seorang muslim yang menjalani hidupnya dengan qona’ah, insyaa Allah secara otomatis akan memiliki sifat ‘afaf yaitu melindungi izzah dirinya dari meminta-minta kepada sesama makhluk. Dalam Bahjatun Nazhirin hal. 535, Rasulullah pernah bersabda:
مَنْ يَكْفُلُ لِيْ أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَ أَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا.
“Siapakah yang menjamin bagiku bahwa ia tidak akan meminta apapun kepada manusia, maka aku jamin baginya surga?” Sahabat Tsauban berkata, “Saya!” Maka ia tidak pernah meminta apapun kepada siapapun.” (HR. Abu Dawud)
Seorang muslim yang qona’ah juga bermakna ia ridho terhadap pengaturan Allah terhadap dirinya. Ia akan berlapang dada menerima takdirnya dengan tidak mengenyampingkan do’a dan ikhtiarnya.
5. Perbanyak tholabul ilmu
Semua perkara yang dihadapi seorang muslim sewajibnya dihadapkan kepada ilmu syari’at, karena disanalah perbedaan antara seseorang yang berilmu dengan yang tidak berilmu akan terlihat. Jalan yang ditempuh oleh yang mumpuni dalam ilmu syari’at pasti sesuai dengan cara-cara yang dikehendaki Allah, sementara yang buta ilmu akan mengikuti hawa-nafsunya semata, sebagaimana salah-satu firman Allah yang berbunyi:
“Tetapi orang-orang zhalim itu mengikuti keinginannya tanpa ilmu pengetahuan….” (QS. ar-Rum, 30:29)
Juga firman-Nya:
“…Sesungguhnya hawa nafsu itu benar-benar menyuruh manusia berbuat dosa,…” (QS. Yusuf, 12:53)
Begitulah hawa nafsu, bila tak ditundukkan dengan syari’at maka ia akan menjadi liar dan tak terkendali. Seperti yang sering kita saksikan dan dengarkan dalam berita sehari-hari tentang banyaknya orang nekat bunuh diri karena tak kuat menanggung problem kemiskinan ataupun tega membunuh anak-anaknya sendiri karena pesimis tak mampu memberi makan mereka… Padahal dalam Al-Qur’an sangat gamblang Allah melarang perbuatan tersebut:
“Kalian diharamkan membunuh anak-anak kalian karena takut melarat. Allah lah yang memberi rezeki kepada kalian dan anak-anak kalian…” (QS. al-An’Am, 6:151)
Dengan banyak mempelajari syari’at dalam Islam ini, maka seorang muslim akan menjadi cerdas dalam menghadapi setiap perkara yang datang kepadanya. Sebaliknya, seperti yang dikatakan dalam ayat diatas bahwa orang yang zhalim akan mengikuti setiap yang diinginkannya dengan tanpa pengetahuan.
Demikian juga dengan sikap bijaksana yang dihasilkan, akan mengurangi sifat ketergesa-gesaan yang dimiliki manusia karena memang Allah takdirkan manusia akan bersifat seperti ini:
“Manusia diciptakan dengan sifat terburu-buru….” (QS. al-anbiya, 21:37)
Dengan kebijaksanaan maka seseorang tidak lekas mengambil jalan pintas asal cepat kaya dan asal segera senang. Juga dengan aktif membaca perjalanan hidup para nabi, para rasul, serta para ‘alim ulama terdahulu maka kegelisahan dirinya dalam menghadapi tekanan hidup akan jauh terasa lebih ringan karena mengetahui hakekat kekayaan yang sesungguhnya di mata Allah.
6. Perbanyak silaturahim
Poin berikutnya yang juga penting dalam meraih sebab-sebab datangnya rezeki Allah adalah dengan memperbanyak silaturahim, karena Rasulullah bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Dalam ‘Adabul Mufrod no. 58, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah juga bersabda:
مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ
“Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi, niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak, serta keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari)
7. Berbaik sangka kepada Allah
Terakhir, hendaklah seorang mu’min berbaik sangka terhadap ketetapan Allah kepada dirinya. Tidaklah ia berkeluh-kesah dan senantiasa menyalahkan takdir. Dalam jiwanya tertanam kelapangan hati dan memahami bahwa keadaannya adalah yang terbaik menurut Allah, seperti pada firman-Nya:
“…Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah, 2:216)
Seorang mu’min percaya bahwa segala kesulitan yang dibebankan kepadanya tidaklah melebihi batas kemampuan dirinya menurut pola ukur Allah, sehingga ia pun yakin bahwa dengan pertolongan Allah maka bersama setiap kesulitannya pasti akan ada kemudahan dan jalan keluarnya.
Demikianlah beberapa perkara penting yang bisa dijabarkan perihal kiat dalam menghadapi keterbatasan ekonomi yang telah Allah gariskan kepada seseorang hamba. Kekuatan dalam urusan ini adalah adanya kesabaran dan pendeknya angan-angan—karena kehidupan di dunia hanyalah sebentar dengan umur manusia yang sangat terbatas. Namun senantiasa ingatlah pesan Rasulullah berikut:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Bersemangatlah dalam melakukan hal yang bermanfaat untukmu dan meminta tolonglah pada Allah, serta janganlah engkau malas.” (HR. Muslim no. 2664)
Semangat juga senantiasa diwujudkan ketika berdo’a karena Allah menjamin penjabahan do’a seorang mu’min kepada-Nya.
“Dan Tuhanmu berfirman,”Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu…” (QS. Gafir, 40:60)
Semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita rezeki yang halal dan penuh barokah, serta semoga kita menjadi muslim yang selalu menjadikan rezeki yang Allah berikan sebagai sarana ketaatan kepada-Nya. Allahumma amin… (abdurrahman)