(Abujibriel.com)— Layar kaca Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir ini tampak semarak oleh bermunculannya ustadz-ustadz muda yang lalu-lalang di banyak program terutama di bulan-bulan suci Ramadhan. Mereka menghiasi rating-rating sekaligus memiliki jam terbang tinggi atas aktifitasnya tersebut. Ini memang bisa jadi sesuatu yang menggembirakan, namun dibalik kegembiraan itu terdapat beberapa yang patut dicermati. Diantaranya adalah kurangnya ketegasan tentang materi dakwah yang semestinya diprioritaskan untuk disampaikan kepada umat jika disandingkan dengan kesempatan mereka dalam berdakwah melalui media elektronik yang luar-biasa keefektifannya tersebut. Selain itu mereka kadang tampak ‘terjebak’ dalam program-program yang justru menjadikannya semata bak ‘teman kelakar’, bahkan sampai ada yang berkolaborasi didalamnya sebagai dalih toleransi atau hendak dikatakan sebagai dakwah yang lembut.
Adalah ditemukan para da’i atau ulama yang menuruti pendapat dan pikiran mayoritas manusia. Dia bekerja-keras untuk memenuhi keinginan manusia dan senantiasa berusaha untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh orang banyak. Di dalam dirinya tidak terbersit niatan selain untuk mendapatkan penggemar dan murid sebanyak-banyaknya. Ia merasa nyaman dengan banyaknya pengikut yang menggemarinya. Dengan begitu ia selalu berusaha untuk tidak menyelisihi keinginan penggemarnya meskipun hal itu harus ia bayar dengan mengorbankan aturan agama yang benar.
Betapa besar musibah yang menimpa umat ini manakala seorang ulama atau da’i sejuta umat malah menjadi tawanan bagi setiap keinginan dan selalu didikte oleh publik, kelompok, jama’ah, maupun golongan, ketika ada ulama yang ambisinya adalah berusaha untuk tidak membuat marah para pengikutnya yang sebagai konsekuensinya ia harus berjalan sesuai dengan keinginan hawa-nafsu mereka, ketika ambisi seorang ulama adalah memperbanyak pengikut dan penggemar dengan jalan mengorbankan syari’at Islam yang seharusnya ia tegakkan, ketika ada da’i atau ulama yang disetir oleh pengikutnya, padahal ialah yang seharusnya menyetir mereka dan mengarahkan mereka.
Betapalah besar musibah yang menimpa ketika para ulama dan da’i berlomba-lomba meraih gelar kehormatan dari orang-orang yang kepentingan hawa-nafsunya bisa ‘diluluskan’ oleh fatwa-fatwa nyeleneh yang sehingga dengannya mereka para ‘ulama dan da’i tersebut tidak disebut sebagai ulama garis keras atau militant yang padahal—harga yang ia harus bayar untuk meraih semua itu adalah dengan menyelewengkan dalil-dalil yang sharih dan tegas agar diterima khalayak dengan sedikit argumen bahwa tujuannya adalah untuk memudahkan.
Al-Auza’i menjelaskan, “Barangsiapa yang memilih ulama yang nyeleneh, maka ia telah keluar dari Islam.”
Mereka lupa bahwa sebenarnya syari’at Allah adalah mudah bagi siapa saja yang ingin berpegang-teguh padanya. Tidak ada kesulitan dalam melaksanakannya jika aturannya yang telah jelas diikuti, karena syari’at Islam adalah buatan Allah. Kesulitan yang paling besar sesungguhnya adalah ketika manusia menyelisihi syari’at-Nya.
Ada juga diantaranya yang tidak ingin disebut lembek dan lunak, namun hanya ketika berhadapan dengan kelompok jama’ah lain yang memiliki satu kekhilafan atau mungkin yang berbeda pendapat dengan kelompoknya. Ia melupakan bahwa keberanian sejati ialah jika ia berani berpegang-teguh dengan syari’at Islam, lantang menyuarakannya, dan mampu bersabar dalam menghadapi segala resiko dan konsekuensi logisnya.
Pada keadaan lain bermunculan juga para ulama atau da’i yang berperan besar dalam membuat atau mencarikan alasan logis untuk menutupi penyimpangan dan kesalahan beberapa kelompok jama’ah lain hanya karena ia memiliki kepentingan didalamnya.
Ismail bin Ishaq Al-Qadhi menceritakan, “Aku pernah menemui khalifah Al-Muhtahdid, lalu beliau menyodorkan sebuah buku kepadaku. Setelah kuperiksa ternyata berisi tentang kumpulan keringanan dan rukhsah yang berasal dari kekeliruan beberapa ulama serta argumen mereka dalam membela diri. Lalu aku berkata, “Pengarang kitab ini adalah orang zindiq (munafiq).” Beliau bertanya, “Bukankah hadits-haditsnya shahih?” Aku jawab, “Benar, akan tetapi ulama yang membolehkan mabuk, tidak lantas menghalalkan mut’ah. Ulama yang membolehkan mut’ah, tidak menghalalkan nyanyian dan minuman keras.” Lalu beliau memerintahkan untuk membakar kitab tersebut.
Ibnu Al-Qoyyim menjelaskan, “Seorang mufti tidak boleh mengamalkan suatu pendapat sesuka hatinya tanpa mempertimbangkan pendapat yang paling rajih, bahkan tidak boleh memperhitungkannya. Dengan kata lain, ia hanya mencukupkan diri bahwa pendapat tersebut adalah pendapat ulama, imam, atau pandangan suatu jama’ah, lalu ia mengamalkan pendapat yang sesuai dengan keinginan dan tujuannya. Dalam hal ini keinginan dan tujuannya itu menjadi standar penilaian yang ia gunakan untuk menentukan lemah-tidaknya sebuah pendapat. Perbuatan semacam ini telah disepakati keharamannya oleh umat.”
Intinya, seorang mufti tidak boleh beramal atau berfatwa dengan aturan Islam yang hanya didasari kemauan hawa-nafsu dan pribadi, karena sesuai dengan keinginan dan tujuannya. Tidak boleh ia mencari pendapat sesuai dengan keinginannya sendiri atau orang yang sejalan dengan pikirannya lalu ia amalkan pendapat tersebut. Atau berfatwa dan memutuskan suatu perkara baik untuk membela kepentingannya sendiri maupun untuk mengalahkan musuhnya dengan memberikan fatwa sebaliknya. Ini merupakan perbuatan fasik yang paling busuk dan dosa besar yang paling besar. Kepada Allah lah kita mohon pertolongan.
Setiap ulama dan penuntut ilmu hendaknya memahami bahwa cita-cita tertingginya sejak awal hingga akhir dakwahnya adalah menggapai ridha Allah, sekalipun itu harus dibayar dengan kemarahan manusia. Sebab, jika Allah telah ridha terhadap seseorang, maka Allah akan membuat manusia meridhainya. Jika Allah mencintai seseorang, Allah akan memerintahkan kepada seluruh penghuni langit untuk mencintainya, terutama malaikat Jibril, lalu Allah akan membuatnya diterima di muka bumi. Sebaliknya, orang yang bekerja untuk meraih kepuasan manusia, itu adalah tujuan yang tidak akan pernah bisa diraih selamanya sebagaimana yang telah Allah takdirkan.
Ibnu Hibban telah meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسُخْطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَ أَرْضَى عَنْهُ النَّاسَ وَ مَنِ الْتَمَسَ رَضِيَ النَّاسِ بِسُخْطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَ أَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ.
“Barangsiapa yang meraih ridha Allah dengan kemurkaan manusia, maka Allah akan ridha kepadanya dan akan membuat manusia ridha kepadanya. Sedangkan orang yang mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia murka kepadanya.”
Di peradaban menuju akhir zaman seperti sekarang banyak sekali muncul fatwa dan pendapat yang dilatar-belakangi oleh keinginan untuk semata mewujudkan keinginan manusia yang bertentangan dengan syari’at. Pekerjaan ulama semacam ini tak ubahnya sebuah permintaan dari para penonton akan kebutuhan pemuasan dirinya. Dengan cara-cara seperti menghalalkan nyanyian, berjabat-tangan antara laki-laki dan perempuan bukan mahram, bercampur-baurnya lelaki dan perempuan, transaksi dengan sistem riba, kerudung menjadi tidak wajib bagi wanita, atau boleh mencukur jenggot bagi kaum laki-laki. Fatwa-fatwa semacam ini disampaikan tak lain hanya untuk memuaskan keinginan orang-orang awam.
Termasuk juga fatwa tentang kebolehan membunuh orang yang darahnya terjaga dengan sengaja, dengan alasan mereka masuk dalam daftar terduga pelaku terror sebagaimana yang terjadi belakangan ini. Atau fatwa bolehnya bergabung menjadi anggota pasukan kafir aggressor, seperti pasukan Amerika atau sejenisnya. Fatwa seperti ini dikeluarkan untuk memberikan legitimasi bagi penyimpangan yang dilakukan oleh suatu negara. Apakah ulama yang menjual ilmunya untuk mendapatkan ‘royalti’ semacam ini termasuk ulama yang dipuji Allah? Dalam firman-Nya Allah menegaskan
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir, 35:28)
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa ‘ulama yang dimaksud adalah para ‘ulama yang memahami tentang Allah. Oleh karena itu jika pemahaman tentang Yang Maha agung, Yang Maha memiliki kesempurnaan dan disifati dengan nama-nama yang indah, maka rasa takutnya akan lebih besar, lebih kuat, dan lebih konsisten. Hasan Bashri berkata, “Orang ‘alim adalah yang takut kepada Tuhan Yang Maha pemurah dengan kegaiban-Nya, yang mencintai apa yang dicintai-Nya, dan yang zuhud terhadap perkara yang dimurkai Allah.”
Allah Ta’ala juga memberikan janji-Nya terhadap setiap hamba-Nya yang beriman yaitu berupa pertolongan dari-Nya Yang Maha menguasai semesta alam ini seperti dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47:7)
Hal tersebut merupakan janji yang benar asalkan berjalan pada jalur fi sabilillahi. Oleh karena itu maka menjadi hal yang penting untuk menyiapkan diri dan membekali diri dengan keberanian yang berdasar pada kebenaran hakiki dalam menyampaikan risalah dien Islam ini.
Dalam kitabnya yang berjudul Akhlaqul Ulama’, Al-Ajuri meriwayatkan bahwa Malik bin Dinar pernah berkata, “Sungguh kalian benar-benar berada di zaman yang gelap-gulita, tidak ada orang sezamanmu yang bisa melihat selain mereka yang memiliki bashirah. Kalian berada di tengah zaman yang lidah mereka membengkak memenuhi mulutnya, mereka kejar dunia dengan menjual akhiratnya. Jagalah diri kalian dan berhati-hatilah dari kejahatan mereka! Jangan sampai kalian terjerumus dalam perangkap mereka. Dan wahai ulama yang mencari makan dengan ilmumu, wahai para ulama yang menyombongkan ilmunya, wahai ulama yang menjual ilmunya demi mendapatkam pengikut yang banyak, wahai ulama yang memperpanjang urusan dengan ilmunya. Sekiranya ilmu yang engkau miliki benar-benar dahulu engkau mencarinya karena Allah, sudah barang tentu hal itu akan terlihat dalam dirimu dan amalmu.”
Ibnu Al-Qayyim berkata, “Semua ulama yang mementingkan dan mencintai dunia, sudah barang tentu ia berdusta atas nama Allah. Ia mengatakan kebathilan tentang agama Allah, baik itu dalam fatwa, keputusan, pemberitaan, maupun ketentuan yang ia buat. Sebab banyak diantara hukum-hukum Allah yang bertentangan dengan kemauan dan kepentingan manusia, khususnya kalangan penguasa dan orang-orang yang menjadi budak hawa-nafsunya. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka tidak akan dapat meraih impian yang mereka dambakan selain dengan jalan menyelisihi dan menolak kebenaran. Allah telah mengharamkan perbuatan orang yang berkata mengenai hak Allah tanpa dilandasi ilmu, baik dalam memberikan fatwa maupun dalam memutuskan suatu perkara. Allah juga telah menyatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan haram yang terbesar, bahkan Allah menobatkannya sebagai perbuatan haram yang paling tinggi. Allah berfirman,
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-A’raf, 7:33)
Allah mengurutkan tingkat kejahatan dengan mulai menyebutkan dari yang paling ringan, yaitu perbuatan dosa yang keji. Kemudian naik ke tingkat kedua yang derajat pengharamannya lebih keras dibanding yang pertama, yaitu kezaliman. Kemudian di tingkat ketiga ada dosa yang lebih besar lagi, yaitu syirik, mempersekutukan Allah. Sedangkan yang keempat yaitu berkata tanpa didasari ilmu. Larangan ini sifatnya umum, mencakup berkata tentang Allah tanpa didasari ilmu, baik yang berkaitan dengan asma dan sifat serta perbuatan-Nya. Juga tentang berbagai masalah agama yang berkaitan dengan syari’at lainnya. Allah berfirman,
“Janganlah kamu mengatakan terhadap apa-apa yang disebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”
Allah lebih mendahulukan ancaman bagi orang yang berbohong atas nama-Nya terkait dengan hukum-hukum-Nya serta mereka yang tidak mengharamkan apa yang Dia haramkan dan tidak menghalalkan apa yang Dia halalkan. Ini merupakan penjelasan dari-Nya, bahwa seorang hamba tidak boleh mengatakan ini halal dan ini haram kecuali jika ia mengetahui bahwa Allah memang menghalalkan atau mengharamkannya. Sebagian salaf mengatakan, “Berhati-hatilah dalam mengatakan Allah mengharamkan ini dan menghalalkan itu. Jangan sampai kelak Allah membantahnya dengan menyatakan, “Engkau bohong, Aku tidak mengharamkan ini, Aku tidak menghalalkan itu.” Aku katakan, karena perkataan merekalah kebenaran menjadi sirna dari kalangan awam, dan setiap orang menjadi berani memberikan fatwa. Akan tetapi kami beritahukan kabar gembira untuk mereka; Allah akan senantiasa menjaga agama-Nya. Kebenaran akan selalu tampak dan menjadi tinggi. Saat itulah semua orang mengetahui penipuan yang dilakukan oleh para ulama tipe yang satu ini. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah, malu dan takutlah kepada-Nya. Dial ah yang Maha merendahkan dan meninggikan, Dia mampu memuliakan siapapun dan menghina siapapun yang Dia kehendaki. Di tangan-Nya lah segala kebaikan dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.”
Demikian semoga bermanfaat wallahu a’lam bishowwab.
(Dipetik dari buku Potret Ulama, antara yang Konsisten dan Penjilat, Abu Hafs Sufyan al-Jazairy, penerbit Jazera)