(Abujibriel.com)—Sesungguhnya keimanan akan munculnya Imam al-Mahdi pada akhir zaman dan statusnya sebagai ahlul bait Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wassallaam dan dari keturunan Fathimah, secara khusus merupakan perkara yang sangat diyakini dan tidak ada keraguan padanya. Wacana ini bukanlah perkara yang masih diperdebatkan, baik di kalangan Ahlussunnah maupun Syi’ah.
Sebagai mantan penganut Syi’ah, aku diajarkan untuk mencintai Imam al-Mahdi. Sejak kecil aku meyakini bahwa keyakinan imamahku untuknya memiliki banyak julukan. Diantaranya adalah hujjatullah (hujjah Allah), al-qaim (penegak), Shahib az-Zaman (pemilik zaman), abu shalih, Shahib al-Amr (pemilik perkara), Shahib al-‘Ashr (pemilik masa).
Namun aku tidak menyangka bahwa sosok yang aku kenal sejak kecil dan aku gantung kepadanya harapan serta kebahagiaanku adalah sosok khayalan semata. Kecintaanku kepada imam tidak membuatku banyak menelisik. Namun penelitian yang bebas menuntunku untuk menyingkap hakikat ini.
Julukan Shahib az-Zaman (Imam al-Mahdi)
Diantara permasalahan besar yang mengguncangku adalah mengenai julukan bagi pemilik zaman yang disebutkan al-‘Allamah an-Nuri ath-Thibrisi dalam kitabnya An-Najm ats-Tsaqib fi Ahwal al-Imam al-Hujjah al-Ghaib.
An-Nuri ath-Thibrisi sudah sangat terkenal. Cukuplah bagi anda mengetahui, Syaikh Abbas al-Qummi, Syaikh Agha Bazrak ath-Thahrani, Syaikh Muhammad Husain Kasyif Ali al-Githa, Syaikh Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi, semuanya merupakan penulis literatur-literatur Syi’ah yang kerap menjadi rujukan—adalah muridnya.
Disebutkan, salah satu julukan bagi Shahib az-Zaman (Imam al-Mahdi) adalah Khasiru Majus (penghancur Majusi) yang merupakan julukan ke-47 bagi Imam al-Mahdi. Bagaimana mungkin Imam kami disifati sebagai Khasiru Majus?! Apa urusan bangsa Majusi dengan Imam al-Mahdi? Kami belajar bahwa Imam al-Mahdi akan muncul untuk menuntut balas kepada musuh-musuh ahlul bait, terutama Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab. Padahal Umar bin al-Khattab adalah khalifah yang pada masanya melakukan ekspansi ke Iran dan mengenalkan Islam ke negeri Mullah tersebut, sehingga untuk pertama kalinya di negara tersebut dikumandangkan adzan dan ditegakkan sholat. Mulailah aku menghubungkan berbagai realitas sejarah.
Namun bila anda ingin merasakan ketercengangan bersamaku, maka bacalah sebuah riwayat dalam Bihar al-Anwar karya Al-Majlisi.
Al-Majlisi meriwayatkan dari An-Nusyajan bin al-Budamardan, “Saat bangsa Persia menampakkan hegemoninya di al-Qadisiyah dan Yazdajir bin Syahrayar dikabarkan berita mengenai Rustum serta kabar kemenangan bangsa Arab atasnya (Rustum) beserta bangsa Persia telah binasa seluruhnya. Kemudian datanglah pemberi kabar dan menceritakan tentang hari pertempuran al-Qadisiyah serta keterangan tentang terbunuhnya 50 ribu tentara di pertempuran tersebut. Maka keluarlah Yazdazir dan melarikan diri menuju keluarganya, lalu berhenti di depan pintu kediaman al-Iwan. Dia berkata, “Keselamatan untukmu, wahai al-Iwan! Inilah aku yang pernah berpaling darimu dan kini aku atau seorang laki-laki dari anakku yang tidak jelas masa dan waktunya, kembali kepadamu.”
Sulaiman ad-Dailami berkata, “Aku masuk menemui Abu Abdullah (al-Husain), lalu aku bertanya kepadanya mengenai hal tersebut dan aku berkata kepadanya, “Apa maksud dari ungkapan: seorang laki-laki dari anakku?” Abu Abdillah menjawab, “Itu adalah sahabat kalian, Al-Qaim bin Amrillah (al-Mahdi), anakku yang keenam. Yazdajir melahirkannya, maka dia adalah puteranya.” (Bihar al-Anwar, 51/163-164)
Itu adalah hari pembalasan!
Shahib az-Zaman adalah putera dari Yazdajir yang akan menuntut balas kepada orang-orang Islam yang mengekspansi Persia demi nenek-moyangnya yang berkebangsaan Persia.
Demikianlah riwayat tadi telah menyatakan, dan seperti itulah yang dipahami dari julukannya “Penghancur Majusi’!
Allahu akbar! Bagaimana sikapku terhadap realita ini?
Tapi ada yang lebih menarik lagi. Dalam kitab Al-Ghaibah karya Muhammad bin Ibrahim an-Nu’mani (hal. 234), dari Abu Abdullah (al-Husain) dia berkata, “Apabila al-Qaim muncul, maka tidak ada urusan lagi antara dia dengan bangsa Arab dan Quraisy, kecuali pedang. Tidaklah keluar darinya kecuali pedang.”
Ada apa dengan semua kebencian terhadap bangsa Arab dan kepada suku Quraisy secara khusus?! Banyak riwayat menyatakan bahwa al-Qaim menumpas 70 kabilah Arab (Bihar al-Anwar, 53/333)
Cobalah anda kaitkan hal ini dengan semua yang saya sebutkan tadi, yaitu tentang antara julukan Shahib az-Zaman atau Imam al-Mahdi adalah sang penghancur Majusi dan bahwa Yazdajir, kakeknya, mengancam kaum muslimin yang telah menyingkirkan dan mengusirnya dari arsy (singgasana) dengan ancaman munculnya Shahib az-Zaman!!!
Ini merupakan sebuah realita yang tak ubahnya bagai halilintar yang menghantam kepala setiap orang berakal!
Mengapa Shahib az-Zaman (Imam al-Mahdi) menghilang/bersembunyi?
Orang-orang yang beriman kepada wujud Shahib az-Zaman menjawab pertanyaan diatas dengan perkataan mereka, “Karena ada sebab yang melarang kemunculannya. Ketika sebab ini tiada, maka dia akan segera muncul.”
Kemudian mereka menjelaskan sebab yang menghalangi kemunculan al-Mahdi dengan perkataan mereka, “Tidak ada sebab yang menghalangi kemunculannya kecuali ketakutan atas pembunuhan dirinya. Karena jika tidak demikian, maka dia tidak diperkenankan untuk bersembunyi. Dia juga menanggung beban serta penderitaan. Sesungguhnya tempat tinggal para nabi dan imam dimuliakan karena mereka menanggung beban dahsyat demi Dzat Allah.”
Sejarah para leluhur al-Mahdi sudah diketahui orang banyak. Para leluhur itu berinteraksi dengan manusia dan mereka tidak menakit-nakuti seseorang dari mereka.
Orang-orang yang mengimani Imam al-Mahdi menyebutkan banyak riwayat. Mereka menyatakan dalam riwayat-riwayat tersebut bahwa Nabi sholallahu ‘alaihi wassalaam bersembunyi di Makkah pada awal proses dakwahnya, karena takut terjadi pembunuhan terhadapnya. Dengan demikian, mereka menganalogikan bersembunyinya Imam al-Mahdi sama halnya dengan bersembunyinya Rasulullah. Diantara riwayat itu adalah apa yang diriwayatkan al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar (18/176), dari Abu Abdullah, dia berkata, “ Rasulullah merahasiakan dirinya di Makkah secara bersembunyi penuh ketakutan, beliau tidak menampakkan dirinya. Ali dan Khadijah radliyallahu ‘anhumaa bersamanya. Kemudian Allah memerintahkannya untuk menerangkan semua yang telah diperintahkan kepada beliau. Maka beliau menampakkan dirinya dan perkaranya.”
Al-Majlisi juga meriwayatkan dalam Bihar al-Anwar (18/177), dari Abu Abdullah, dia berkata, “Rasulullah tinggal di Makkah setelah sampai kepadanya wahyu dari Allah selama 13 tahun. Selama tiga tahun diantaranya bersembunyi penuh ketakutan, tidak menampakkan dirinya sampai Allah memerintahkan untuk menjelaskan segala yang telah diperintahkan kepada beliau, lalu beliau menampakkan dakwah.”
Selain itu, terdapat banyak riwayat serupa yang berkesimpulan sama. Namun aku tidak menampilkannya untuk meringkas pembahasan. Yang pasti, ini adalah benar-benar analogi kontradiktif (qiyas ma’a al-fariq) karena beberapa alasan, yaitu:
Pertama, Nabi sholallahu ‘alaihi wassalaam tidak menyembunyikan diri dari pandangan dunia, namun hanya berdakwa secara rahasia.
Kedua, beliau sholallahu ‘alaihi wassalaam ditemani beberapa orang, seperti istrinya (Khadijah), Ali dan yang lainnya. Sementara Imam al-Mahdi yang mereka yakini tidaklah demikian.
Ketiga, Rasulullah menutup diri sampai memunculkan dirinya kemudian. Pada fase ini, beliau sholallahu ‘alaihi wassalaam mempersiapkan dakwah dan beliau juga mempersiapkan beberapa pengikut untuk membantunya dalam berdakwah. Sedangkan Imam al-Mahdi—dia bersembunyi dan tidak memiliki pengikut. Jika kalangan Syi’ah Imamiyah adalah pengikut Imam al-Mahdi, maka harap diketahui bahwa mereka adalah para pengikutnya sejak dia bersembunyi. Dan sekarang, jumlah pengikut Syi’ah Imamiyah berjumlah jutaan, apakah jumlah tersebut tidak cukup untuk memunculkan al-Mahdi? Sebab dia pasti akan merasa aman, lalu bisa berjuang bersama para pengikutnya?!
Disini aku menyatakan bahwa suatu hari aku pernah menyaksikan sebuah acara televisi yang mendiskusikan persoalan eksistensi dan hakikat Imam al-Mahdi serta kisah persembunyiannya. Diskusi terjadi antara dua belah pihak: pihak pertama adalah orang yang percaya akan wujud Imam al-Mahdi dan pihak lain adalah yang tidak percaya akan sosok tersebut—keduanya berasal dari kalangan Syi’ah.
Diantara berbagai komentar pihak yang tidak percaya akan persoalan ini, dia mengatakan bahwa seandainya kita menerima perdebatan tentang kebenaran berita dan riwayat seputar kisah Imam al-Mahdi dan penyebab bersembunyinya, maka sudah diketahui dari kabar-kabar ini bahwa penyebab dia bersembunyi adalah ketakutan dirinya apabila saat itu dia dibunuh oleh orang-orang Abbasiyah. Tapi mengapa Imam al-Mahdi sekarang tidak muncul di layar-layar televisi? Padahal kita saat ini berada di era satelit dan internet. Atau minimal dia menampakkan suara dan gambarnya melalui kaset video—sebagaimana yang dilakukan oleh banyak tokoh politik yang sedang berseberangan dan melarikan diri karena menentang pemerintahan resmi di sebuah negara—lalu untuk kemudian menyerahkan rekaman tersebut ke tangan orang-orang yang dianggap dekat dengan dirinya. Dengan begitu, dia mampu membuktikan kepada dunia dan juga kepada orang-orang yang tidak percaya akan eksistensinya sedikitpun bahwa dirinya bukanlah sosok khayalan, takhayul, ataupun kebohongan–demi menegaskan semua yang dinyatakan berbagai kabar dan riwayat. (Abdullahahmad)
(diangkat dari buku Akhirnya Kutinggalkan Syi’ah (Testimoni Tokoh Syi’ah), Abu Khalifah Ali bin Muhammad al-Qudhaibi, Pustaka Imam Ahmad)