Yaa ayyuhal ikhwani wa akhowatifillah, Allah Ta’ala berfirman:
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)”. (QS. Ali Imran[3]: 7-8)
Allah Ta’ala menjelaskan dalam ayat yang mulia ini bahwa manusia dalam mensikapi syari’at-Nya ada dua kelompok:
- Ahli ilmu dan mendalami ilmunya: Mereka mengambil dan beriman kepadanya secara menyeluruh, mereka menghubungkn dalil yang umum dengan dalil yang mengkhususkannya, yang muthlaq dengan yang membatasinya (muqayyad), yang masih global dengan yang terperinci, dan setiap yang mereka anggap sukar memahaminya mereka kembalikan kepada landasan pokoknya berupa ushul-ushul yang muhkam lagi terang dan kaidah-kaidah yang baku lagi pasti yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at yang sangat banyak.
- Orang-orang yang sesat dan di dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan: Mereka mengikuti hal-hal yang samar, mereka mengambilnya dan girang (sangat gembira) dengannya saja dalam rangka mencari fitnah seraya berpaling dari yang muhkam, mubayyan, serta yang mufassar.
Begitu juga dalam masalah demokrasi dan majelis perwakilannya yang syirik serta majelis-majelis lainnya, ada orang-orang yang menempuh jalan orang-orang sesat lagi cenderung kepada kesesatan, mereka sengaja mencari-cari kejadian-kejadian tertentu serta syubhat-syubhat dan mengambil itu saja tanpa menghubungkannya dengan pokok-pokok yang menjelaskannya atau memberikan batasannya atau menafsirkannya berupa kaidah-kaidah agama ini dan landasan-landasannya yang sangat kokoh. Mereka lakukan itu dalam rangka mengaburkan yang haq dengan kebatilan dan cahaya dengan kegelapan.
Oleh sebab itu disini kami akan mengetengahkan syubuhat-syubuhat mereka kemudian kami bantah dan mematahkannya dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa Yang Menjalankan awan dan Yang Menghancurkan musuh.
SYUBHAT PERTAMA
Jabatan Yusuf di Sisi Raja Mesir
Ketahuilah, sesungguhnya syubhat ini dilontarkan oleh sebagian orang yang sudah kehabisan dalil.
Mereka mengatakan: “Bukankah Yusuf pernah menjabat sebagai menteri di sisi raja kafir yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan? Dengan demikian, maka boleh ikut serta dalam pemerintahan kafir, bahkan boleh masuk menjadi anggota dalam parlemen dan majelis permusyawaratan/ perwakilan rakyat dan yang sejenisnya.”
Kita jawab dengan taufiq Allah Ta’ala:
Pertama
Sesungguhnya berhujjah dengan syubhat ini untuk bisa masuk dalam parlemen-parlemen pembuat hukum dan kebolehannya adalah batil dan rusak, karena parlemen-parlemen syirik ini berdiri di atas dasar agama/ paham yang bukan agama Allah, yaitu agama demokrasi yang mana wewenang (uluuhiyyah) tasyrii’ (pembuatan perundang-undangan) dan wewenang tahlil (pembolehan) serta tahrim (pelarangan) di dalam agama (demokrasi) ini adalah milik rakyat bukan hanya milik Allah semata. Sedangkan Allah mengatakan:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran[3]: 85)
Apakah ada orang yang berani mengatakan bahwa Yusuf telah mengikuti agama selain agama Islam, atau mengikuti millah selain millah bapak-bapaknya al-muwahhidun… atau (apakah ada orang yang mengatakan bahwa) Yusuf bersumpah untuk menghormati undang-undang kafir? Atau dia membuat hukum sesuai dengan undang-undang itu?.. sebagaimana keadaan orang-orang yang terpedaya dengan parlemen-parlemen itu[1]…??? Bagaimana hal itu boleh dikatakan sedangkan Yusuf dalam keadaan tertindas dengan terang-terangan mengumumkan:
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” (QS. Yusuf[12]: 37-38)
Dan dia juga berkata:
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf[12]: 39-40)
Apakah Yusuf mengumumkan itu dan terang-terangan menyatakannya sedangkan dia dalam masa ketertindasan… kemudian dia justru menyembunyikannya atau melanggarnya setelah Allah memberikan kepadanya kekuasaan??!! Jawablah wahai para penyeru mashlahat (yang sedikit-sedikit mengatakan ini untuk mashlahat)…!![2]
Kemudian apakah kalian tidak mengetahui wahai para pakar politik bahwa wazaarah (kementrian) ini adalah kekuasaan tahfidziyyah (eksekutif) sedangkan parlemen adalah sulthah tasyrii’iyyah (kekuasaan legislatif). Dan diantara kedua hal ini terdapat perbedaan yang sangat jauh, sehingga tidak sah melakukan qiyas disini, -menurut orang-orang yang mengatakan ada qiyas[3]– …. dari sini diketahuilah bahwa beralih dengan kisah Yusuf u atas bolehnya (masuk) parlemen adalah tidak benar sama sekali. Tidak ada salahnya pula bila kita lanjutkan bantahan untuk menggugurkan dalih mereka dengan kisah Yusuf atas bolehnya menjabat sebagai menteri karena samanya dua jabatan pada zaman kita ini dengan kekafiran…
Kedua
Sesungguhnya banyak orang-orang yang tergiur dan terpedaya dengan jabatan menteri di payung negara-negara thaghut, dimana negara-negara itu membuat hukum ‘bersama’ Allah, memerangi para auliyaaullaah serta memberikan loyalotas kepada musuh-musuh-Nya, mereka (orang-orang yang menjabat menteri itu) mengqiyaskan perbuatan mereka kepada perbuatan Yusuf (yang menjabat sebagai menteri bagi raja yang kafir), dan qiyas mereka itu adalah batil lagi rusak ditinjau dari beberapa sisi:
1. Sesungguhnya orang yang menjabat sebagai menteri pada pemerintahan yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan ini wajib atas dia untuk menghormati undang-undang mereka, dia harus loyal (tunduk setia) dan ikhlash bekerja untuk thaghut, padahal itu adalah sesuatu yang paling pertama Allah perintahkan untuk kufur kepadanya, Dia berfirman: “Mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu.” (QS. An-Nisaa’[4]: 60)
Bahkan sebelum menduduki jabatan ini mereka diharuskan untuk bersumpah untuk menghormati kekufuran ini, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh para anggota parlemen[4]. Dan siapa orangnya yang mengklaim bahwa Yusuf Ibnu Ya’qub Ibnu Ishaq Ibnu Ibrahim ‘alaihimussalam memang melakukan hal itu padahal Allah telah mensucikannya dan mengatakan tentangnya: “Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih,” (QS. Yusuf[12]: 24). Maka orang yang mengatakan hal itu adalah termasuk makhluk yang paling kafir dan paling busuk, dia telah berlepas diri dari millah ini dan keluar dari dien Islam, bahkan dia itu lebih busuk dari Iblis terlaknat yang telh mengecualikan saat bersumpah: “Demi Kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih diantara mereka.” (QS. Shaad[38]: 82-83)
Sedangkan Yusuf secara pasti dan sesuai nash firman Allah adalah termasuk hamba-hamba Allah yang terpilih, bahkan tergolong penghulunya.
2. Sesungguhnya orang yang menjabat jabatan menteri pada payung pemerintahan ini –baik dia bersumpah dengan sumpah dustuur itu atau tidak- dia wajib tunduk patuh kepada undang-undang kafir dan tidak boleh keluar dari relnya atau menyalahinya. Dia itu tidak lain adalah hamba yang mukhlish (patuh/setia) kepadanya, pelayan yang taat kepada yang mengangkatnya baik dalam yang hak atau yang batil, kefasikan, kezhaliman, dan kekafiran. Maka apakah Yusuf Ash Shiddiiq seperti itu sehingga perbuatannya bisa dijadikan hujjah untuk membolehkan jabatan-jabatan kafir mereka itu..?? Sesungguhnya orang yang mengatakan/menuduh bahwa Nabiyullah Ibnu Nabiyullah Ibnu Nabiyullah Ibnu Khalilillah dengan sebagian tuduhan itu, maka kami tidak meragukan kekafiran orang itu, kezindiqannya, dan keluarnya dia dari Islam, karena Allah mengatakan:
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu,”(QS. An-Nahl[16]: 36)
Ini adalah pokok segala pokok dan mashlahat yang paling agung dalam kehidupan ini bagi Yusuf dan para Rasul lainnya. Apakah masuk akal bila Yusuf mengajak orang-orang kepada tauhid disaat situasi lapang dan sempit, disaat bahaya dan saat berkuasa, kemudian dia melanggarnya sehingga menjadi golongan orang-orang musyrik? Bagaimana itu bisa terjadi –Demi Allah- sedangkan Allah telah menggolongkannya dalam jajaran hamba-hamba-Nya yang terpilih?? Sebagian ahli tafsir telah menyebutkan bahwa firman Allah:
“Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja.” (QS. Yusuf[12]: 76)
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil bahwa Yusuf tidak pernah menerapkan undang-undang raja, tidak pernah tunduk kepadanya, dan tidak diharuskan untuk menerapkannya. Apakah ada dalam kementerian-kementerian para thaghut itu atau parlemen-parlemen mereka hal seperti ini?? Yaitu keadaan sang menteri di dalamnya seperti pernyataan “Negara dalam Negara”…??? kalau tidak ada, maka janganglah melakukan qiyas disini.
3. Sesungguhnya Yusuf telah menjabat sebagai menteri dengan tamkiin dari Allah, Dia berfirman:
“Dan Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir.” (QS. Yusuf[12]: 56)
Jadi kedudukan itu adalah tamkiin (anugrah) dari Allah, sehingga si raja atau yang lainnya tidak kuasa untuk mengganggunya atau mencopotnya dari kedudukan itu, meskipun menyalahi perintah raja atau undang-undang dan keputusannya.
Apakah orang-orang hina yang memiliki jabatan di sisi thaghut-thaghut pada masa sekarang memiliki sedikit bagian dari itu (kebebasan seperti Yusuf dan tamkiin dari Allah) dalam jabatan-jabatan mereka yang kotor yang pada hakikatnya itu adalah bola mainan di tangan thaghut itu, sehingga bisa pantas diqiyaskan kepada jabatan Yusuf u dan kedudukannya yang Allah berikan kepadanya?
4. Sesungguhnya Yusuf menjabat jabatan menteri itu dengan perlindungan penuh lagi sempurna dari sang raja, Allah berfirman:
“Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan Dia, Dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami”. (QS. Yusuf[12]: 54)
Si raja memberikan kebebasan penuh tanpa dikurangi kepada Yusuf dalam jabatannya:
“Dan Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu.” (QS. Yusuf[12]: 56)
Sehingga tidak ada orang yang protes kepadanya, tidak ada orang yang meminta pertanggungjawabannya dan tidak ada orang yang mengawasi segala bentuk kebijaksanaan dan perbuatannya, apapun hasil dan bentuknya.
Maka apakah kebebasan seperti ini ada di kementrian thaghut-thaghut pada masa sekarang atau yang ada justru perlindungan yang dusta lagi palsu. Jabatan itu dicabut dan dicopot dengan cepat bila si menteri berani bermain-main dengan ‘ekornya’ atau nampak dari dia sedikit penyimpangan atau keluar dari garis amir (presiden) atau undang-undng raja?? Si menteri di sisi thaghut-thaghut itu tak ubahnya seorang pelayan bagi (karir) politik amir (presiden) atau raja, dia hanya melaksanakan perintah tuannya itu dan hanya mau berhenti bila tuannya melarng dan dia sama sekli tidak memiliki hak untuk menyalahi sedikitpun dari perintah-perintah raja atau undang-undang buatan meskipun itu bertentangan dengan perintah Allah dan hukum-Nya.
Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu dari hal ini menyerupai keadaan Yusuf dalam jabatannya, maka sungguh dia telah melakukan kedustaan yang maa besar, kafir kepada Allah, dan telah mendustakan tazkiyah (rekomendasi/ penilaian suci) Allah terhadap Yusuf.
Bila telah diketahui bahwa keadaan Yusuf dan kedudukannya itu tidak ada pada masa sekarang di kementrian thaghut-thaghut, maka tidak ada tempat untuk melakukan qiyas disini. Dan kalau masih tetap ngotot biarkanlah orang-orang keblinger itu terus berbicara ngawur dalam masalah ini.
Ketiga
Diantara bantahan yang mematikan akan syubhat ini adalah apa yang disebutkan oleh sebagian mufassiriin bahwa si raja itu telah masuk Islam, dan ini diriwayatkan dari Mujahid murid Ibnu Abbas. Pendapat ini menghancurkan syubhat tersebut dari pangkalnya.
Kami tunduk kepada Allah dan meakini bahwa mengikuti keumuman atau zhahir ayat dalam Kitabullah adalah lebih utama daripada perkataan, penafsiran, lontaran, dan istinbath-istinbath makhluk seluruhnya yang kosong dari dalil-dalil dan bukti. Dan diantara dalil yang menguatkan hal ini adalah firman Allah tentang Yusuf :
“Dan Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu.” (QS. Yusuf[12]: 56)
Ini adalah mujmal (global) yang telah Allah jelaskan di tempat lain dalam Kitab-Nya, dimana Dia menjelaskan ciri-ciri orang-orang yang Dia beri kedudukan di bumi dari kalangan kaum mukminin:
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj[22]: 41)
Tidak diragukan lagi bahwa Yusuf adalah termasuk mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut, bahkan beliau termasuk para penghulunya, yaitu orang-orang yang jika Allah teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah perbuatan yang munkar. Tidak diragukan lagi oleh orang yang mengetahui ashlu dinil Islam (pokok ajaran Islam) bahwa sesungguhnya hal makruf yang paling agung di dalamnya adalah tauhid yang merupakan inti ajaran dalam dakwah Yusuf, sedangkan kemungkaran yang paling besar adalah syirik yang telah dihati-hatikan oleh Yusuf, dia mengutuk, membenci, dan memusuhi para pelakuna. Dan ini merupakan dalil yang paling jelas lagi pasti bahwa Yusuf setelah Allah meneguhkan kedudukannya dia langsung terang-terangan mendakwahkan millah bapak-bapaknya yaitu Ya’qub, Ishaq, dan Ibrahim seraya dia memerintahkan untuk bertauhid serta melarang lagi memerangi segala sesuatu yang menyalahi dan membatalkannya. Dia tidak menghukumi dengan selain apa yang Allah turunkan, dia tidak ikut membantu untuk menghukimi dengan selain apa yang Allah turunkan, dia juga tidak membantu para arbaab yang membuat hukum dan perundang-undangan dan thaghut-thaghut yng disembah selain Allah, serta dia tidak menyokong mereka atau berloyalitas kepada mereka sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang-orang yang terpedaya dalam jabatan-jabatan mereka saat ini.
Apalagi kalau beliau (Yusuf) ikut serta dengan mereka dalam membuat hukum dan perundang-undangannya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang terpedaya itu di parlemen-parlemennya, bahkan dikatakan dengan pasti bahwa sesungguhnya Yusuf telah mengingkari keadaan mereka, merubah kemungkarannya, menghukumi dengan tauhid, mengajak (orang) kepadanya, meninggalkan dan menjauhkan orang yang menyalhi dan melanggarnya, siapapun orangnya, ini dengan penegasan firman Allah. Tidak ada yang mensifati Yusuf yang jujur, putra dari orang-orang yang jujur dengan selain ini, kecuali orang kafir yang busuk yang telah lepas ajarannya yang suci lagi bersih.
Diantara dalil yang menyatakan hal ini dan sekaligus menguatkannya adalah penjelasan dan penafsiran firman Allah:
“Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaKu, agar aku memilih Dia sebagai orang yang rapat kepadaku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan Dia, Dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami”.” (QS. Yusuf[12]: 54)
Apa kiranya perkataan yang diucapkan oleh Yusuf kepada sang raja di sini, sehingga membuatnya terkagum-kagum, memberinya kedudukan dan mempercayainya?? Apakah engkau kira Yusuf sibuk menyebutkan kisah istri Al Aziz, padahal itu sudah selesai dan jelas siapa yang benar… atau apakah engkau mengira Yusuf berbicara kepada sang raja tentang persatuan atas dasar nasionalisme!! Krisis ekonomi!!… ini… itu… atau apa yang dikata-katakannya???
Tidak seorangpun boleh menduga-duga dalam hal ini tanpa ada dalil, dan jika ada yang melakukannya maka dia adalah termasuk para pendusta, akan tetapi yang menjelaskan lagi menafsirkan firman Allah: “Maka tatkala raja telah bercaka-cakap dengan dia” adalah jelas lagi terang dalam firman-Nya:
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, (QS. An-Nahl[16]: 36)
Dan firman-Nya:
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar[39]: 65)
Juga firman Allah tentang sifat inti dakwah Yusuf:
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku pengikut agama bapak-bapakku Yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi Kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” (QS. Yusuf[12]: 37-38)
Dan firman-Nya tentangnya:
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf[12]: 39-40)
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah perkataan yang paling agung bagi Yusuf, ini adalah agama yang lurus baginya, pokok segala pokok dakwahnya, millahnya, dan millah bapak-bapaknya. Bila dia memerintahkan yang makruf maka tauhid adalah hal yang makruf yang paling agung yang dia ketahui. Bila dia melarang dari yang mungkar, maka tidak ada yang lebih besar kemungkaran baginya selain apa yang membatalkan dan bertentangan dengan pokok segala pokok ini (tauhid). Bila ini sudah jelas dan ternyata jawaban sang raja terhadapnya,” sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada kami”, maka ini merupakan dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa si raja telah mengikutinya dan merestuinya, serta sesungguhnya dia telah meninggalkan ajaran kekafiran dan mengikuti millah Ibrahim, Ishaq, Ya’qub dan Yusuf ‘alaihimussalam.
Atau katakanlah bila engkau mengatakannya: Minimal keadaan sang raja itu telah mengakui Yusuf atas tauhidnya dan millah bapak-bapaknya, dan dia memberikan kebebasan penuh tanpa batas untuk berbicara dan mendakwahkannya, menjelek-jelekkan orang yang menyalahinya, si raja tidak sedikitpun merintanginya atas hal itu, tidak memerintahkan dia untuk melakukan hal yang membatalkannya atau menyalahinya. Cukuplah ini sebagai perbedaan yang sangat besar antara keadaan Yusuf u dengan orang-orang yang tertipu dari kalangan pembantu thaghut-thaghut dan kaki tangannya dalam kementria-kementrian masa sekarang, atau orang-orang yang ikut serta bersama thaghut dalam pembuatan hukum dan perundang-undangan di parlemen-parlemen tersebut.
Perkataan yang tadi itu tidak dikeruhkan oleh ihtijaaj orang yang berhujjah dengan fiman Allah dalam surat Ghaffir lewat lisan orang mukmin keluarga Fir’aun: Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: “Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun),” Ghaffir: 34, ihtijaj dengan ayat ini tidak memperkeruh pernyataan tadi karena beberapa alasan:
- Sesungguhnya ayat ini tidak jelas (shariih) penunjukannya bahwa Yusuf yang dimaksud adalah Yusuf lain, sebagian ahli tafsir mengatakan hal ini mereka mengatakan: Ia adalah Yusuf Ibnu Afraaniim Ibnu Yusuf Ibnu Ya’qub yang erstatus sebagai nabi diantara mereka selama 20 tahun, ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dan lihat tafsir Al Qurthubiy. Sedangkan dalil bila mengandung banyak kemungkinan maka batallah berdalil dengannya.
- Seandainya yang dimaksud adalah Yusuf Ibnu Ya’qub dalam ayat ini, namun ayat itu tidak shariih penunjukkannya bahwa sang raja tetap diatas kekafirannya, akan tetapi pembicaraan (dalam ayat itu) adalah tentang status keumuman Bani Israil.
- Sesungguhnya ayat tersebut tidak menyebutkan kekafiran yang terang-terangan (jelas), namun ayat itu hanya menyebutkan keragu-raguan, sedangkan keragu-raguan itu adalah di dalam hati yang terkadang disembunyikan di suatu waktu dan terkadang ditampakkan di waktu lain. Bila telah jelas bahwa Yusuf telah ditetapkan kedudukannya di bumi ini, dia memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar sebagaimana yang lalu, maka beliau tidak akan rela bila ada seseorang menampakkan kemusyrikan di depannya, bahkan tidak akan ada seorangpun berani melakukannya karena beliau adalah penguasa lagi rasul dalam satu waktu, sedangkan kemungkaran terbesar bginya adalah syirik. Mungkin saja si raja menyembunyikan hal itu di dalam hatinya, sedangkan keluarganya menampakkan keimanannya yang zhahir karena takut kekuasaan al haq, ini adalah kemunafikkan yang pelakuna diperlakukan di dunia sesuai dengan apa yang mereka tampakkan. Bahkan dalam firman-Nya: “hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: ‘Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun),” ada dalil yang menunjukkan keimanan mereka secara zhahir akan risalahnya.
Perlu diperhatikan juga, sesungguhnya sebagian orang-orang yang terpedaya telah pula menyebutkan kisah orang mukmin keluarga Fir’aun dalam syubhat-syubhat mereka dalam masalah ini dengan dalih bahwa dia menyembunyikan keimanannya. Maka kami katakan: Bagaimana cara kalian mengambil dalil dari kisah orang mukmin keluarga Fir’aun dalam masalah kita ini? Sesungguhnya terdapat perbedaan yang sangat jauh antara menyembunyikan dan merahasiakan keimanan bagi orang-orang yang tertindas dengan ikut serta dalam kekafiran, kemusyrikan dan pembuatan hukum (tasyrii’), serta bersekongkol di atas paham selain dienullah. Apakah kalian bisa memastikan bagi kami bahwa mukmin keluarga Fir’aun iu telah membuat undang-undang sebagaimana kalian membuat undang-undang, atau dia itu telah ikut serta dalam memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan sebagaimana keikutsertaan kalian, atau dia itu bersepakat di atas demokrasi atau paham lainnya sebagaimana yang kalian lakukan??? Tetapkan ini terlebih dahulu –dan mana mungkin bisa melakukannya- kemudian setelah itu silahkan berdalil dengannya, dan kalau tidak bisa maka tinggalkan igauan dan ucapan yang tidak karuan itu.
Keempat
Bila engkau telah mengetahui semua hal yang telah dibahas tadi engkau merasa yakin jabatan kementrian Yusuf itu sama sekali tidak menentang tauhid dan tidak menohok millah Ibrahim, sebagaimana penohokkan dan penentangan itu terjadi pada jabatan-jabatan itu sekarang, maka seandainya si raja itu tetap di atas kekafirannya, maka jadilah masalah penjabatan Yusuf akan posisi ini sebagai satu masalah dari masalah-masalah furuu’ yang tidak ada isykaal di dalamnya dalam ashluddien berdasarkan apa yang telah pasti sebelumnya bahwa tidak pernah muncul kekafiran atau kemusyrikan, atau tawalliy (berloyalitas penuh) terhadap orang-orang kafir, atau tasyrii’ bersama Allah dari diri Yusuf, akan tetapi dia selalu memerintahkan akan tauhid lagi melarang akan hal itu semua. Allah telah mengatakan dalam masalah furuu’ul ahkam (hukum-hukum furuu’):
“Dan bagi tiap-tiap umat dari kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang,” (QS. Al-Maaidah[5]: 48)
Syari’at-syari’at para nabi itu sangat beragam dalam furuu’ul ahkam, akan tetapi dalam masalah tauhid hanya satu, Rasulullah bersabda: “Kami sekalian para nabi adalah saudara sebapak sedangkan agama (tauhid) kami satu,” (HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah) maksudnya saudara-saudara dari ibu-ibu yang berbeda sedangkan ayahnya satu… ini merupakan isyarat akan kesatuan dalam pokok tauhid dan beragam dalam furuu’ syarii’ah dan hukum-hukumnya. Terkadang sesuatu dalam masalah huku pada syari’at sebelum kita diharamkan kemudian dihalalkan dalam syari’at kita, dan terkadang sebaliknya. Bisa jadi dalam syari’at terdahulu dipersulit sedangkan dalam syari’at kita dipermudah… dan seterusnya. Oleh karena itu tidak setiap syari’at yang ada pada syari’at sebelum kita menjadi syari’at bagi kita, apalagi bila bertentangan dengan dalil dalam syari’at kita.
Sedangkan telah ada dalil yang shahih dalam syari’at kita yang menyelisihi apa yang disyari’atkan bagi Yusuf u, dan mengharamkannya atas kita, Ibnu Hibban telah meriwayatkan dalam Shahihnya, juga Abu Ya’laa dan Ath Thabraniy bahwa Nabi berkata:
لَيَأْ تِيْنَ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ سَفَهَاءُ يُقَرِّبُوْنَ شِرَارَ النَّاسِ وَيُؤَخِّرُوْنَ الصَّلاَةَ عَنْ مَوَاقِيْتِهَا فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَلاَ يَكُوْنَنَّ عَرِيْفًا وَلاَ شُرْطِيًّا وَلاَ خَابِيًالاوَلاَخَزِنًا
“Sungguh akan datang kepada kalian para penguasa yang tidak baik, mereka mendekatkan orang-orang yang paling jahat dan mengakhirkan sholat dari waktu-waktunya, maka siapa saja yang mendapatkan keadaan itu, janganlah dia menjadi pejabat, janganlah menjadi aparat keamanan, janganlah menjadi petugas pengambil harta, dan janganlah menjadi penyimpan perbendaharaan,”
(Menurut penafsiran) yang raajiih (yang kuat) sesungguhnya penguasa-penguasa dalam hadits itu adalah bukanlah orang-orang kafir, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang durjana lagi bodoh, karena biasanya orang yang menghati-hatikan bila dia menghati-hatikan hanyalah dengan menyebutkan keburukan dan kerusakan yang paling besar, dan seandainya mereka adalah orang-orang kafir tentu Nabi menjelaskannya. Akan tetapi perbuatan durjana terbesar yang beliau sebutkan disini adalah mendekatkan orang-orang paling jahat dan mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya. Namun demikian Nabi telah melarang dengan larangan yang sangat keras dari keberadaan seseorang menjadi khaaziin (petugas logistik) bagi mereka. Bila saja menjabat sebagai khaaziin di samping para penguasa muslim yang zhalim adalah dilarang dengan larangan yang amat keras dalam syari’at kita, maka apa gerangan dengan jabatan kementrian logistik/keuangan di sisi para penguasa yang kafir dan pemerintah yang syirik?
Firman Allah:
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf[12]: 55)
Ayat ini merupakan dalil yang tegas dan bukti yang terang bahwa hal ini adalah bagian dari syari’at sebelum kita, dan hal itu sudah dimansukh (dihapus) dalam syari’at kita. Wallahu A’lam.
Penjelasan ini adalah cukup bagi orang yang mengingkari hidayah, akan tetapi orang yang lebih mendahulukan anggapan baik, kepentingan (yang dia klaim sebagai mashlahat), dan perkataan manusia atas dalil-dalil dan bukti-bukti itu, maka oang seperti ini –meskipun gunung-gunung meletus- di hadapannya dia tidak akan mendapat hidayah… “Barangsiapa yang Allah kehendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari Allah.” (QS. Al-Maaidah[5]: 41)
Pada akhirnya… –dan sebelum saya menutup bantahan terhadap syubhat ini-, saya ingin mengingatkan bahwa sebagian orang-orang yang terpedaya, yang membolehkn syirik dan kekafiran dengan anggapan baik mereka, yang beralasan dengan mashlahat dakwah untuk masuk di kabinet-kabinet kekafiran dan parlemen-parlemen syirik, mereka dalam dalil-dalil dan syubhat-syubhatnya mencampurkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah tentang jabatan menteri yang dipegang Yusuf… ini sebenarnya termasuk perbuatan mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, berdusta atas nama Syaikhul Islam, dan mengada-ada atas nama beliau apa yang tidak pernah beliau katakan, karena beliau tidak berhujjah dengan kisah itu atas bolehnya ikut serta dalam tasyrii’, kekafiran, atau kisah itu atas bolehnya ikut serta dalam memutuskan dengan apa yang Allah turunkan. Mustahil beliau melakukan hal itu, bahkan kami mensucikan beliau, agamanya, bahkan kami mensucikan akalnya dari ucapan keji ini, yang mana tidak ada seorangpun berani berkata seperti itu, kecuali mereka orang-orang hina tersebut pada zaman-zaman mutakhkhir ini. Kami katakan ini… hatta meskipun kami belum membaca ungkapan beliau pada masalah ini, karena ucapan seperti ini tidak mungkin dikatakan oleh orang yang berakal, apalagi sampai bisa bersumber dari ‘aalim rabbaniy selevel Syaikhul Islam rahimahullah. Bagaimana itu bisa terjadi sedangkan perkataan beliau dalam masalah ini sangatlah jelas lagi gamblang… di mana perkataan beliau berkisar akan kaidah menolak kerusakan paling besar dari dua kerusakan serta upaya mendapatkan mashlahat paling tinggi dari dua mashlahat saat berseberangan, sedangkan engkau sudah mengetahui bahwa mashalahat paling besar dalam kehidupan ini adalah tauhid, sedangkan kerusakan paling besar adalah kerusakan syirik dan menjadikan tandingan (bagi Allah). Beliau telah menyebutkan bahwa Yusuf telah menegakkan keadilan dan ihsan sesuai dengan kemampuan beliau, sebagaimana dalam Al Hisbah[5] dimana beliau berkata saat menyebutkan sifat kekuasaan Nabi Yusuf: “Dan beliau melakukan dari keadilan dan ihsan apa yang beliau mampu, serta beliau mengajak mereka kepada keimanan sesuai dengan kesempatan/ kemungkinan.” Dan beliau mengatakan lagi: “Akan tetapi beliau melakukan apa yang mungkin dari keadilan dan ihsan.”[6]
Beliau sama sekali tidak menyebutkan bahwa Yusuf membuat undang-undang menandingi Allah atau ikut serta dalam memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan atau mengikuti paham demokrasi atau paham-paham lainnya yang berseberangan dengan dienullah, sebagaimana halnya keadaan mereka orang-orang yang terpedaya yang mencapurkan perkataan beliau rahimahullah dengan hujjah-hujjah mereka yang kotor dan syubhat-syubhatnya yang rendah dalam rangka menyesatkan orang-orang bodoh/umum, dan untuk mengaburkan yang haq dengan yang batil serta cahaya dengan kegelapan.
Kemudian kita –wahai saudara setauhid-, panutan dan dalil tempat kita merujuk kepadanya saat terjadi perselisihan adalah wahyu yaitu firman Allah dan sabda Rasul-Nya, tidak yang lainnya, adapun setiap orang selain Rasulullah maka ucapannya itu bisa diterima dan bisa ditolak. Seandainya seperti apa yang mereka klaim itu bersumber dari Syaikhul Islam –dan itu tidak mungkin terjadi- tentu kita tidak akan menerimanya darinya dan bahkan dari ulama yang lebih agung darinya, sehingga dia datang kepada kami dengan membawa dalil dari wahyu atas hal itu, “Katakanlah (hai Muhammad): “Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepadamu sekalian dengan wahyu,” (QS. Al-Anbiyaa[21]: 45), “Katakanlah: Tunjukilah bukti kebenaran kaian jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah[2]: 111)
Perhatikanlah hal itu dan pegang eratlah tauhidmu, janganlah engkau tertipu atau peduli dengan talbiis-talbiis (pengkaburan) dan dalih-dalih murahan para pengusung kemusyrikan dan musuh-musuh tauhid, atau janganlah engkau merasa tidak enak dengan sebab menyalahi mereka, dan jadilah engkau dari golongan yang menegakkan dienullah yang telah disebutkan ciri-cirinya oleh Rasulullah: “Orang-orang yang mengucilkan dan menyelisihi mereka tidak membuat mereka gentar hingga datang ketentuan Allah sedang mereka dalam keadaan seperti itu,”[7]
Demikian bantahan atas syubhat yang pertama, insyaa Allah ada pembahasan atas beberapa syubhat selainnya. Wabillahittaufiq wal hidayah… (abdullahahmad)
(Diangkat dari buku Demokrasi Sejalan dengan Islam? Karya Abu Muhammad al-Maqdisiy, arrahmah media)
[1] Dalam nash-nash undang-undangnya mereka menegaskan bahwa umat atau rakyat adalah sumber segala hukum (kekuasaan), lihat pasal nomor ke enam dari undang-undang Kuwait, dan pasal ke 24 dari undang-undang (dustur) Yordania. Dan undang-undang mereka juga menegaskan bahwa kekuasaan legislatif berada di tangan raja, amir, dan majlis rakyat, lihatlah undang-undang Kuwait nomor 51 dan undang-undang Yordania pasal 25.
[2] Contohnya di masa sekarang yaitu orang-orang yang partainya intimaa kepada ikhwanul muslimin, yang sedikit-sedikit mengatakan “ini untuk merekrut massa”, “Ini demi mashlahat dakwah.” Enyahlah mereka bila mereka tidak bertaubat, tuhan atau thaghut yang mereka sembah adalah mashlahat dakwah. Sungguh kita menyaksikan, demi mashlahat dan kepentingan, mereka juga berkoalisi dengan partai sekuler di majelis syirik parlemen. Pent.
[3] Sebagian orang-orang yang merasa pintar memandang bahwa kementrian itu lebih berbahaya daripada parlemen, mereka mengatakan –dengan klaimnya- bahwa parlemen itu adalah barisan oposisi terhadap pemerintah, dimana mereka (yang masuk parlemen) itu melawan (‘berjihad’) lewat barisan ini dengan jihad yang bersifat undang-undang, mereka melawan pemerintah dengan perlawanan hukum perundang-undangan di dalamnya, dan melakukan jihad diplomasi lewatnya… mereka pura-pura buta bahwa tasyrii’ (membuat hukum) itu lebih berbahaya daripada melaksanakannya, apalagi tasyrii’ yang mereka namakan sebagai jihad dan perlawanan itu tidak bisa dilaksanakan di parlemen, keculia sesuai dengan undang-undang dasar dan sejalan dengan paham demokrasi. Silahkan lihat dalam pasal ke 24 ayat 2 dari undang-undang Yordania dimana sesungguhnya kekuasaan legislatif rakyat atau yang lainnya tidak dilaksanakan kecuali sesuai dengan garis-garis pedoman undang-undang yang ada. Sedangkan para anggota parlemen itu tidak lain adalah para wakil rakyat pemilik kekuasaan undang-undang sesuai klaim mereka.
Dan lihat sejawatnya dalam undang-undang dasar Kuwait pasal ke 51: “Kekuasaan legislatif adalah di tangani oleh amir dan majelis rakyat sesuai dengan undang-undang.”
[4] Teks undang-undang Yordania point ke 43: Wajib atas perdana menteri dan para menteri kabinetnya sebelum mereka memulai tugasnya untuk bersumpah di hadapan raja dengan sumpah berikut ini: Saya bersumpah dengan Nama Allah Yang Maha Agung untuk selalu setia kepada raja dan selalu menepati undang-undang dasar…” dan hal serupa dalam pasal ke 79: Wajib atas setiap anggota majelis permusyawaratan dan majelis perwakilan sebelum memulai menjalankan tugasnya untuk bersumpah di hadapan majelis dengan sumpah yang berbunyi: Saya bersumpah dengan Nama Allah Yang Maha Agung untuk selalu setia kepada raja dan tanah air serta selalu menepati undang-undang dasar…” dan hal serupa dalam undang-undang Kuwait pasal 91 dan 126.
Maka apakah Yusuf u melakukan hal seperti itu????
Dan janganlah engkau terkecoh dengan talbis yang dilakukan oleh orang-orang yang terpedaya yang mengatakan: Kami bersumpah, namun kami melakukan pengecualian dalam diri kami sendiri: (Selama dalam batasan-batasan syari’at).
Dan katakanlah kepada mereka: “Sumpah itu bukanlah atas dasar niat orang yang bersumpah, karena kalau demikian tentu rusaklah akad-akad dan syarat-syarat yang dilakukan oleh manusia, serta terbukalah pintu bagi setiap orang yang mempermainkan (agama), akan tetapi masalahnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah r dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sumpah itu atas dasar niat orang yang meminta sumpah” jadi sumpah kalian ini tidaklah mengikuti niat-niat kalian namun mengikuti niat thaghut yang meminta sumpah kalian.”
[5] Majmu Al Fatawaa 28/68
[6] Majmu Al Fatawaa 20/56
[7] Fathul Bari 13/295