(oleh Ustadz Abu Muhammad Jibriel AR)
(Abujibriel.com)–Yaa ayyuhal ikhwah, manusia sudah seharusnya meninggikan dan menyucikan hawa-nafsunya, serta tidak membiarkannya hingga menjadi kotor. Nafsu atau jiwa manusia memang disiapkan untuk bisa berbuat dosa dan juga bertaqwa. Nafsu akan naik menuju ketaqwaan dengan melakukan riadhah (latihan), mujahadah (upaya kesungguhan, dan tazkiyah (penyucian), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala:
“Dan demi jiwa dan penyempurnaan-Nya (ciptaan-Nya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan kegtaqwaannya. Sesungguhnya keberuntungan orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams, 91:7-10)
Kata tazkiyah berasal dari kata zaka yang menurut bahasa yaitu suci dan tumbuh. Kata tazkiyah ini mengandung dua unsur: kesucian dan pertumbuhan. Jadi tazkiyah an-nafs artinya mensucikan nafsu dari aqidah syirik, kemunafikan yang hina, dan sifat-sifat buruk, serta menumbuhkan jiwa dengan aqidah-aqidah tauhid, keutamaan orang-orang mukmin, dan kebiasaan orang-orang baik. Inilah yang digambarkan oleh ulama suluk (tasawuf) dengan takhliyyah dan tahliyyah. Takhliyyah adalah melepaskan diri dari keyakinan-keyakinan yang bathil, ucapan dusta, dan perbuatan buruk. Sedangkan tahliyyah adalah menghiasi diri dengan keyakinan yang benar, ucapan jujur, dan perbuatan baik. Semua ini memerlukan mujahadah. Jika mujahadah tersebut telah dilaksanakan dan mengharapkan keridhaan-Nya tentu akan membuahkan hasil sesuai dengan sunnatullah, yaitu mendapatkan hidayah rabbaniyyah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang baik.” (QS. al-Ankabut, 29:69)
Kehidupan ini merupakan wadah sempurna, dimana ia memiliki potensi lengkap dan sempurna untuk mendidik dan melatih jiwa yang sesat, kotor dan hina, rakus dan rendah—menjadi jiwa yang bersih dan bercahaya, jiwa yang tumbuh dan berkembang menuju ke arah kesholihan dan keterpujian.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. al-Ankabut ,29:6)
Dalam Islam, disyari’atkan kepada kita untuk berjihad melawan dan melatih hawa nafsu agar kita bertakwa kepada Allah dan berbuat baik kepada orang lain. Dan kebaikan akan diraih oleh orang yang selalu berjihad untuk mentarbiyah hawa-nafsunya sehingga menjadi ta’at dan patuh semata-mata beribadah kepada Allah. Sebagaiman hadits dari Fadhalah ibn ‘Ubaid, bahwa pada haji wada’, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apakah aku belum mengabarkan kepada kalian tentang mukmin? Dia adalah orang yang membuat orang lain selamat dari lidah dan tangannya. Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap dirinya dalam menaati Allah. Dan muhajir ialah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.” (HR. Imam Ahmad)
Di dalam hadits ini beliau mendefinisikan konsep-konsep tersebut, selain definisi yang telah dikenal sebelumnya, untuk mengingat arti yang dilupakan dan tidak dihiraukan oleh banyak manusia, padahal kepentingan dan nilai sangat berarti pada agama Allah. Karakteristik terpenting dari iman adalah menjadi sumber keamanan terhadap harta dan diri orang lain. Yakni, seseorang bisa memberikan keamanan terhadap harta dan diri orang lain. Karakteristik terpenting dari Islam adalah menjadi sumber perdamaian bagi setiap muslim dan sekitarnya, sehingga orang selamat dari lidah dan tangannya. Seorang muslim pun tidak boleh menyiksa orang lain dengan salah satu dari dua anggota tubuh tersebut.
Adapun karakteristik terpenting dari jihad adalah seorang berjihad melawan hawa nafsunya, dan tidak merasa cukup hanya dengan melawan musuhnya dari kelompok non-Muslim, tetapi dengan melalaikan nafsu yang selalu membujuknya dengan berbagai kenikmatan sesaat. Dan karakteristik terpenting dari hijrah adalah berhijrah dari perbuatan jelek dan dosa, bukan hanya berhijrah meninggalkan suatu negeri ke negeri selainnya.
Adapun hadits lain yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Fadhalah, ia berkata,
“Aku mendengar Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mujahid adalah orang berjihad melawan nafsunya.’” (At-tirmidzi berpendapat bahwa hadits ini hasan sahih)
Hadits yang serupa diriwayakan oleh Ibn Hibban dalam Shahih-nya dengan lafadz:
“Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah.” Tambahan ini sangat penting, karena setiap jihad tidak akan di perhitungkan dan tidak mendapat pahala disisi Allah kecuali hanya dilakukan di jalan Allah. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya,
“Dan berjihadlah kamu jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. al-Hajj: 78)
Fi Sabilillah (di jalan Allah) senantiasa bermakna mengharap keridhaan-Nya dan meminta ganjaran-nya. Karena itu, tidaklah termasuk jihad melawan hawa-nafsu—orang yang merelakan dirinya menjadi kaum fakir dengan tanpa mengupayakan ikhtiar apapun, atau orang yang memilih hidup melajang mengikuti gaya hidup para pendeta dari kalangan Nashrani, atau memperkuat shaum untuk memenuhi hajat dunia semata, ataupun orang yang berperang melawan musuh karena mengejar gelar kepahlawanan.
Firman Allah Ta’ala:
“katakanlah: “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tidak sekutu bagi-Nya.” (QS. al-An’am, 6:162-163)
Dengan penjelasan ini, tidaklah berarti jihad melawan hawa nafsu adalah sebesar-besar jihad sebagaimana dalam hadits maudhu’ yang sering dilaungkan orang zaman ini:
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar. “Apakah jihad besar itu?” tanya seseorang kepada Nabi. Beliau menjawab,” Jihad melawan hawa nafsu.” (Imam Ibnu Taimiyah berkata bahwa hadits ini tidak ada asalnya, bahkan sebesar-besar jihad ialah memerangi orang kafir untuk menegakkan kalimatullah).
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya:
أَيُ اَلأَعْمَالِ أَفْضَالُ؟ قَالَ: إِمَانٌ بِاللَّهِ وَ رَسُولِهِ. قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: جِحَادٌ فِي سَبِيْلِ اللهِ. قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ:حَجٌّ مَبْرُورٌ.
“Apakah amalan yang paling utama? Beliau menjawab, “Iman kepada Allah.” “Kemudian apa?” “Al-jihad fi sabilillah.” “Kemudian apa lagi?” “Haji yang mambrur.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i)
Insyaa Allah perkara ini akan dibahas kemudian.
Demikian bahasan singkat kali ini, mudah-mudahan bermanfaat wallahu a’lam bisshowwab. (abdullahahmad)