Tipe ulama pemerintah

appel

(Abujibriel.com)—Ya ayyuhal ikhwah, berlanjut kepada bahasan mengenai berbagai tipe ulama yang ada di sekitar kita umat Islam adalah mengenal tipe ulama pemerintah. Ulama pemerintah adalah ulama yang taat kepada semua perintah penguasa. Ia adalah ulama yang bekerja untuk memperkuat posisi politik mereka (pihak penguasa) serta menyokong kekuasaannya atas bangsa-bangsa muslim. Ia senantiasa mewujudkan keinginan mereka, serta membenarkan intrik politik mereka, apapun itu bentuknya. Diantara mereka ada ulama resmi dan ada yang tidak resmi tercatat sebagai pegawai pemerintah.

Didapati mereka senantiasa mengkampanyekan wajibnya menaati ulil ‘amri versi mereka serta larangan melawan mereka dengan berdalilkan perkataan salaf. Dalam perbuatan mereka ini, terdapat bentuk pemutar-balikan dan pengaburan fakta terhadap umat Islam. Sedangkan para pemimpin kita hari ini, satu hal yang menyatukan mereka adalah konsep perundang-undangan mereka yang menganut paham sekuler serta pembekuan syari’at Allah. Sebaliknya, mereka menggantinya dengan menerapkan undang-undang atheis buatan orang kafir barat. Mereka memaksa seluruh umat Islam untuk mentaatinya. Termasuk didalamnya adalah praktik-praktik pengharaman sesuatu yang Allah halalkan dan penghalalan apa yang Allah haramkan. Juga adanya hubungan kerjasama dengan orang kafir dalam memerangi umat Islam, termasuk menangkap pembela kebenaraan dan memasukan mereka ke dalam penjara, lalu mengutamakan para pelaku kejahatan untuk diangkat menjadi pejabatnya dan masih banyak lagi.

Yang semakin menambah ruwetnya permasalahan ini adalah fatwa dan sikap dari para ulama tipe ini, khususnya yang berkaitan dengan musibah dan ujian yang hari ini dihadapi oleh seluruh umat Islam. Zaman ketika pemimpin orang-orang kafir menegaskan bahwa di dunia ini hanya ada dua kubu; Bersama kami atau Melawan kami. Maka seluruh aparat pemerintahan muslim memilih untuk bergabung dalam barisan pemimpin orang-orang kafir ini, lalu para ulama model ini membela keputusan mereka dengan segala macam cara.

Dampak dari pembelaan terhadap pemerintah dan politik mereka ialah pembelokan nash-nash untuk menghiasi atau membenarkan keputusan politik mereka dihadapan rakyat. Politik yang berlandaskan undang-undang yang diadopsi dari sekularisme. Politik yang tegak diatas sendi-sendi yang menguntungkan kepentingan orang-orang kafir ketimbang masyarakat kaum muslim. Politik yang berlandaskan pada sikap loyal kepada orang-orang kafir yang menindas umat Islam.

Setiap kali muncul ulama atau da’i yang berani dan lantang menyuarakan kebenaran dan vokal terhadap penguasa, maka bangkitlah puluhan bahkan ratusan pemuka agama (yang dikira ulama oleh orang awam) untuk menentangnya. Mereka berusaha membungkam ulama vokal tersebut. Mereka benar-benar berlebihan dalam mencela, mencap sesat, dan mencacatnya habis-habisan. Lebih dari itu, mereka berani mengeluarkan fatwa untuk membunuh, memenjarakan, mencekal, atau mengucilkannya. Mereka memprovokasi orang untuk mengintimidasinya, keluarganya, dan kerabatnya.

Dalam melaksanakan misi ini, para penguasa didukung oleh tiga tipe ulama seperti berikut: ulama yang fanatik, ulama yang terpengaruh dengan dunia, dan ulama yang lemah pengetahuannya terhadap sunnah. Sekalipun di bidang lainnya mereka adalah ahlinya, tetapi jika ada ulama sejati yang masih tersisa, maka bantuan yang mereka berikan untuk saudaranya yang dikeroyok tadi ialah dengan provokasi dengan mengatakan: sebenarnya kamu masih bisa diam sebagaimana yang lain juga diam dan selamat.

Adapun selain alasan keduniaan, tipe ulama seperti ini juga berdalih bahwa jika opsi ini (menjadi ulama pemerintah) ditinggalkan, maka dikhawatirkan akan timbul fitnah dan kerusuhan massa. Oleh karena itu, akibatnya mereka menjadi enggan menyuarakan kebenaran, termasuk dalam permasalahan yang semestinya tidak boleh didiamkan, seperti permasalahan yang berkaitan dengan pokok-pokok aqidah semisal prinsip al-wala’ wa al-bara’, hukum bekerja-sama dengan orang kafir dalam memerangi umat Islam, dan hukum mengenai penerapan perundangan ‘positif’ buatan manusia.

Selain mendiamkan permasalahan tersebut diatas, mereka bahkan berupaya mencari dalil untuk memberikan legitimasi atas kebijakan pemerintah. Otomatis, caranya adalah dengan menyimpangkan makna dalil tersebut. Dalam hal inilah, mereka telah berani berkata tentang agama Allah tanpa landasan ilmu dan pemahaman yang benar. Mereka berbohong atas nama Allah dalam berbagai permasalahan. Allah Ta’ala berfirman,

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.

Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”.

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. an-Nisa’, 4:60-63)

Perhatikanlah firman Allah, “Kami hanya menghendaki penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna” Apakah asumsi mereka bahwa inilah yang terbaik dan paling tepat diterima? Selamanya tidak, dalilnya adalah berdasarkan sebutan yang Allah gunakan untuk menamai mereka. Yang pertama adalah firman-Nya, “Tidakkah kalian melihat orang-orang yang mengira bahwa mereka itu beriman…” Sedangkan yang kedua adalah firman-Nya,”Kalian melihat orang-orang munafik…”

Dalam konteks yang sama, Allah berfirman ketika menyebutkan sifat-sifat orang munafik yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan agenda lain,

“Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”

Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS. al-Baqarah, 2:11-12)

Abdurrahman as-Sa’di dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, “Maknanya, jika orang-orang munafik itu dilarang berbuat kerusakan di muka bumi, yaitu melakukan perbuatan kekafiran dan maksiat, semisal menunjukkan rahasia kaum mukminin kepada musuhnya dan memberikan loyalitas kepada orang kafir, maka: “Mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.”

Mereka berbuat kerusakan dengan memutar-balikkan fakta serta menyatukan perbuatan bathil dan keyakinan bahwa apa yang mereka perbuat adalah suatu kebaikan. Ini merupakan tindakan kejahatan terbesar, jauh lebih besar dari orang yang bermaksiat namun masih meyakini sebagai perbuatan maksiat. Tidaklah ada kerusakan yang lebih parah daripada orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan menghalangi manusia dari jalan-Nya, serta menipu Allah dan wali-wali-Nya.

Inilah bentuk ‘maslahat’ yang menjadi berhala yang disembah selain Allah. Orang yang hendak menghapus salah-satu hukum Allah, ia pasti berdalih demi kemaslahatan. Orang yang hendak membuat perundangan yang bertentangan dengan hukum Allah, ia pasti berdalih demi kemaslahatan. Orang yang telah mengharamkan apa yang telah Allah Ta’ala haramkan dan sebaliknya, ia pasti berdalih demi kemaslahatan. Penguasa yang menghancurkan kehormatan umat Islam dan merampas kekayaan alam mereka, ia pasti berdalih demi kemaslahatan. Bahkan pemerintah yang memenjarakan ulama atau da’i yang berjalan lurus diatas dien yang haq, ia pun pasti berdalih demi kemaslahatan bangsa.

Namun bagaimanakah yang disebut maslahat? Menurut definisi yang dibuat oleh para ulama dari disiplin ilmu ushul fiqih, maslahat tidak semuanya diakui secara syar’i. Terdapat pembagian maslahat menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Bagian maslahat yang diakui yaitu maslahat yang disebutkan dalam dalil-dalil syar’i dan secara tegas diakui.

2. Maslahat yang dianulir dan tidak diakui yaitu maslahat yang tertolak menurut dalil. Jika ada dalil yang yang menolak suatu maslahat, maka tidak ada jalan lagi untuk menerimanya.

3. Bagian maslahat yang sama-sekali tidak ada dalil juz’i yang menunjukkan keberlakuan atau penghapusannya secara tertentu atau jenisnya, tetapi ia masuk dalam cakupan nash kulli, umum. Inilah yang sering disebut oleh para ulama dengan istilah maslahah mursalah.

Maslahah mursalah ini masih diperdebatkan oleh para ulama untuk dipakai sebagai hujjah. Adapun ulama yang memakainya sebagai hujjah maka harus dengan memenuhi beberapa syarat yang mengikat penggunaannya, bukan memakainya begitu saja tanpa ada ketentuan khusus. Diantara persyaratan yang dibutuhkan itu adalah bahwa maslahat tersebut harus sesuai dengan tujuan syari’at, serta syarat-syarat lainnya yang ditemukan oleh pencari kebenaran dalam disiplin ilmu terkait persoalan ini. Intinya kami tidak menemukan ulama mu’tabar yang berani memperlebar masalah pengambilan maslahat mursalah sebagai dalil seperti yang dilakukan oleh para ulama (pemerintah) model ini. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.

Jika ada pertanyaan: bukankah ulama itu pewaris para nabi? Benar, mereka memang mendapatkan label ini. Namun perlu ditegaskan juga bahwa diantara permasalahan yang diwariskan oleh seluruh nabi, khususnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah perintah yang Allah firmankan dalam al-Qur’an,

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Baqarah, 2:48-49)

Maka sudah menjadi kewajiban para ulama untuk menjadikan persoalan berhukum dengan syari’at Allah diatas semua pertimbangan. Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in mengatakan,“Apabila jabatan sebagai wakil raja dinilai sebuah kedudukan yang terhormat, tidak seorangpun yang memungkirinya, dan termasuk tingkat jabatan tertinggi. Lalu bagaimana jika yang diwakili tersebut adalah Rabb penguasa langit dan bumi? Maka sudah seharusnya bagi orang yang dinobattkan sebagai pejabat yang mewakili untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Dia harus mempersiapkan diri dan mentalnya untuk mengemban tugas ini. Dia harus mempersiapkan perbekalan dan perlengkapan tugasnya. Dia harus mengetahui kadar resiko kedudukan yang akan ia jabat. Selain itu, didalam hatinya tidak ada lagi kekhawatiran dalam menyampaikan kebenaran sebab ia tahu bahwa Allah lah penolong dan pemberi hidayah bagi dirinya.

Bagaimana tidak, sedangkan kedudukan ini merupakan kedudukan yang secara langsung Allah menyatakan bahwa diri-Nya juga menjabatnya, Firman-Nya,

“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Quran (juga memfatwakan) tentang …” (QS. an-Nisa, 4:127)

Cukuplah sebagai pemuliaan ketika Allah juga menjabat kedudukan ini. Allah berfirman,

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah…” (QS. an-Nisa’,4:176)

Seorang mufti harus menyadari atas nama siapa mereka mengeluarkan fatwa, disamping meyakini bahwa kelak mereka harus mempertanggung-jawabkan fatwa yang telah mereka keluarkan. Allah Ta’ala menegaskan,

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.” (QS. Ali ‘Imron, 3:187)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Ketika seorang ulama meninggalkan apa yang ia ketahui dari Al-Qu’an dan as-Sunnah lalu mengikuti keputusan penguasa yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah murtad dan berhak mendapat hukuman di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman,

“Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman.

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. al-A’raf, 7:2-3)

 

Demikian semoga memberi kemanfaatan wallahu a’lam bishowwab.

 

(Dipetik dari buku Potret Ulama, antara yang Konsisten dan Penjilat, Abu Hafs Sufyan al-Jazairy, penerbit Jazera)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *