(Abujibriel.com)–Dalam rotasi kehidupan yang dijalani umat Islam saat ini, betapa sungguh sudah dapat disaksikan semakin banyaknya yang menyangsikan efektifitas dari diberlakukannya syari’at Islam. Penentangan yang sangat lumrah datang tentu saja dari umat di luar Islam yang merasa khawatir akan ‘terzhalimi’ oleh syari’at Sang Pemilik manusia, Allah azza wa jalla—namun penentangan yang keras dilakukan justru timbul dari tubuh umat Islam sendiri yang lebih berkiblat kepada akal dan hawa-nafsu semata. Ini tentu saja menyebabkan persoalan yang ada tidak kunjung selesai, bahkan bisa memunculkan persoalan baru karena solusi yang dicari bukan kembali kepada kitabullah, melainkan mengambil konsep umat liberal dan sekuler yang membatasi kedudukan agama hanya cocok diterapkan dalam kisaran rumah-tangga dan kaifiyat beribadah di masjid semata. Sementara Allah Ta’ala berfirman,
artinya, “Wahai Muhammad, hendaklah kamu mengadili perkara kaum Yahudi dan Nasrani dengan syari’at yang Allah turunkan dalam Al-Qur’an. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya kamu tidak terpedaya oleh mereka, sehingga kamu meninggalkan sebagian syari’at yang Allah turunkan kepadamu. Jika mereka meninggalkan sebagian syari’at itu, ketahuilah bahwa Allah berkehendak menimpakan adzab kepada mereka karena dosa-dosa mereka. Sebagian besar manusia itu benar-benar durhaka kepada Allah.” (QS. al-Ma’idah, 5:49)
Namun seperti juga umat-umat terdahulu yang banyak bermaksiat kepada Allah Ta’ala, mereka yang menolak syari’at, baik secara halus maupun dengan terang-terangan, juga mengatakan perkataan yang serupa seperti yang Allah Ta’ala beritahukan dalam firman-Nya,
artinya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (QS. Luqman, 31:21)
Secara khusus, syari’at Islam diturunkan untuk memelihara lima perkara, yaitu:
1. Memelihara akidah (hifdzud din),
Allah Ta’ala berfirman,
artinya, “Wahai Muhammad, perangilah kaum musyrik sampai tidak ada lagi kemusyrikan dan penyembahan berhala di Makkah, dan orang-orang Makkah mengikuti Islam semata-mata karena Allah. Jika kaum musyrik tidak mau berhenti dari perbuatan syirik mereka, maka Allah Maha Mengetahui apa saja yang mereka lakukan.” (QS. al-Anfal, 8:39)
2. Memelihara keselamatan hidup (hifzun nafsi),
Allah Ta’ala berfirman,
artinya, “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah, 2:179)
3. Memelihara kesehatan akal dan mental (hifzul aqli),
Allah Ta’ala berfirman,
artinya, “Katakanlah, “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (QS. al-An’am, 6:151)
4. Memelihara kesucian keturunan (hifzun nasli), dan
Allah Ta’ala berfirman,
artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’, 17:32)
5. Memelihara hak kebendaan, baik milik pribadi maupun masyarakat (hifzul mal).
Allah Ta’ala berfirman,
artinya, “Wahai kaum mukmin, potonglah tangan-tangan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri sebagai hukuman atas perbuatan mereka. Hukuman itu sebagai pelajaran dari Allah bagi orang lain. Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana dalam menentukan hukuman.” (QS. al-Ma’idah, 5:38)
Kelalaian manusia yang paling besar diantaranya adalah kurangnya kesadaran bahwa penciptaan dirinya adalah tidak lain untuk mengibadahi-Nya semata, seperti firman-Nya,
artinya, “Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar mereka taat dan mengesakan Aku.“ (QS. adz-Zariyat, 51:56)
Mereka yang menolak hukum Allah Ta’ala menganggap peraturan yang dibuatnya jauh lebih sempurna dan ‘nyaman’ untuk diterapkan. Sementara kalau mereka mau bersikap jujur, sebenarnya—sama sekali tidak ada yang perlu dibanggakan dari syari’at baru yang mereka ciptakan, sebab lambat-laun mereka akan temukan begitu banyak kekurangan, ketidak-adilan, belum lagi pertentangan yang saling bertabrakan diantara kepentingan manusia itu sendiri.
Mereka yang menolak hukum Allah Ta’ala diterapkan di setiap lini kehidupan karena didasari keengganan dan kebencian, atau menganggap ada hukum lain yang lebih ‘positif’ dari syari’at-Nya, maka Allah Ta’ala terhadap orang yang demikian telah memberitahukan ancaman-ancaman-Nya,
artinya, “…Siapa saja yang tidak mau menetapkan dan melaksanakan hukum sesuai syari’at yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya, mereka itu adalah orang-orang kafir… Siapa saja yang tidak mau menetapkan hukuman setimpal dalam perkara pembunuhan dan penganiayaan sesuai syari’at yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya, maka mereka itu adalah orang-orang zhalim… Siapa saja yang tidak mau melaksanakan hukum sesuai syari’at yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya, mereka itulah orang-orang yang durhaka kepada Allah.” (QS. al-Ma’idah, 5:44, 45, 47)
Sementara bagi mereka yang senantiasa mengkiblatkan dirinya kepada perundang-undangan Allah Ta’ala, maka kelak kenikmatan surga akan didekatkan kepadanya. Firman-Nya,
artinya, “Pada hari kiamat surga didekatkan kepada orang-orang yang taat kepada Allah dan bertauhid. Surga tidak jauh dari hadapan mereka. Para malaikat berkata kepada orang-orang mukmin, “Surga inilah tempat yang dijanjikan kepada kalian dahulu. Surga adalah tempat bagi setiap orang yang bertaubat kepada Tuhannya dan memelihara agamanya,” (QS. Qaf, 50:31-32)
Patut pula disadari bahwa melaksanakan syari’at juga termasuk salah-satu upaya setiap pribadi umat Islam dalam bersyukur kepada Allah Ta’ala terhadap segala kenikmatan dan limpahan rezeki-Nya yang berketerusan. Dan bentuk kenikmatan yang hampir-hampir dilupakan umat Islam di Indonesia adalah kenikmatan berupa kemerdekaan dari rongrongan bangsa penjajah yang ingin menguasai khazanah alam yang gema ripah loh jinawi ini. Tidaklah cukup pernyataan syukur tersebut hanya termaktub pada teks UUD 1945 alinea ke-tiga yang rutinnya dibaca secara tekstual saja di tiap peringatan 17 Agustusan semata, namun yang amat penting adalah pembuktiannya secara riil sehingga tujuan kemerdekaan yang hakiki dapat terwujud sempurna sesuai Garis-garis Besar Haluan-Nya (GBHN). Bukankah pula telah jelas tertulis tentang pengakuan umat Islam Indonesia bahwa kemerdekaan yang diperoleh adalah; Atas berkat rahmat Allah Yang Maha esa… Maka setelah lewat masa 67 tahun hidup dalam kemerdekaan, mengapakah keterpurukan semakin menjadi-jadi, khususnya bagi kemerdekaan umat Islam dalam usahanya menjalankan kehidupan bersyari’at.
Berjuang menegakkan syari’ah Islam merupakan fardhu ‘ain bagi setiap mu’min dalam segala situasi dan kondisi. Islam sebagai satu harakah atau gerakan, menuntut umatnya agar senantiasa aktif berdakwah menyebarkan ajarannya karena tidak akan pernah mencapai tujuannya jika umatnya memahami Islam hanya sebagai satu akidah dan syari’ah saja. Islam sebagai satu akidah bermakna ialah mengimaninya bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran mutlak yang tidak terdapat pada agama selainnya. Hanya Islamlah yang ajarannya paling tinggi, terpuji dan mulia, sementara ajaran selainnya adalah rendah, hina, dan tercela. Sehingga dengan mengimaninya, memahami, dan mengamalkan ajarannya akan mendapat ketenangan, kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Islam diyakini sebagai satu syari’at maksudnya ialah mengimani dan memahami bahwa syari’atnya (peraturan dan perundang-undangannya) saja yang paling adil dan beradab, serta bersifat universal meliputi alam semesta. Adapun hukum selainnya adalah batil, diskriminatif, dan tidak adil. Jika akidah dan syari’at ini diamalkan, maka akan tersebar akhlak yang mulia ditengah kehidupan manusia yang kini semakin jauh dari peradaban Islami. Melalui akidah yang lurus dan syari’at yang dilaksanakan, maka akan terwujud umat Islam yang benar-benar menjadikan Allah azza wa jalla sebagai satu-satunya tujuan hidup (Allahu gaayatuna), rasulullah sebagai teladan dan panutan (ar- Rasul qudwatuna), al-Qur’an sebagai undang-undang hidup (al-Qur’anu dusturuna), dan mati syahid adalah setinggi-tinggi cita-cita (al-mautu fie sabilillahi asmai amaanina). Dan untuk jalan kemuliaan tersebutlah–Rasulullah saw diutus. Beliau saw bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ.
artinya, “Sesungguhnya hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Untuk meraih semua inilah, Islam menjadi wajib diamalkan sebagai sebuah gerakan aktif yang tidak mengenal lemah dan lelah karena Allah Ta’ala mengingatkan bahwa,
artinya, “Wahai kaum mukmin, janganlah kalian merasa hina dan jangan bersedih. Derajat kalian lebih tinggi daripada orang-orang kafir, jika kalian benar-benar beriman kepada Muhammad.” (QS. Ali ‘Imran, 3:139)
Dan juga firman-Nya,
artinya, “Wahai kaum mukmin, janganlah kalian lemah semangat dalam mengejar kaum kafir. Jika kalian merasakan sakit, mereka pun merasakan sakit seperti kalian. Kalian mengharapkan pahala dari Allah, sedangkan orang-orang kafir sama sekali tidak mengharapkan pahala dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana dalam menetapkan syari’at perang.” (QS. an-Nisa’, 4:104)
Demikian semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshowwab.