(Abujibriel.com)-Ikhwani wa akhwatifillah, pegangan yang sangat pokok bagi seorang manusia dalam kehidupannya adalah adanya keberadaan tauhid. Ia merupakan sebuah landasan utama ketika ditegakkannya sebuah amalan oleh seorang muslim. Ia adalah penopang yang menjadi barometer diterimanya setiap amalan sholih. Ia adalah konsekuensi yang harus ditegakkan dalam pengakuan kemusliman seseorang. Untuk alasan inilah, tauhid menjadi kepentingan mendesak yang wajib dimiliki seorang muslim untuk kemudian dipelajari sehingga memiliki kefahaman tentangnya.
Namun terkadang ditemukan juga beberapa yang masih berpendapat bahwa mempelajari tauhid tak perlu peluangan waktu yang mendalam, sebab katanya—umat sudah sangat mengenal akan Tuhannya, sudah terbiasa berinteraksi dengan kitab-Nya (al-Qur’an), atau sudah mengetahui tentang rukun-rukun yang mesti diketahuinya, seperti rukun Islam dan rukun iman yang sudah dihafalnya sedari kecil. Beberapa dari penyampai da’wah justru telah ‘menelantarkan’ risalah ini dari file da’wah yang diagendakannya. Sementara itu, benarkah umat sudah sefaqih demikian sehingga mengenal tauhid yang sebenarnya?
Mari cermati sekilas rutinitas yang terjadi di negeri yang mayoritas muslim ini; Berapa banyak muslim yang masih berziarah kubur ke makam-makam wali atau makam-makam orang yang dianggap suci dengan tujuan ngalap berkah pada para penghuni kubur tersebut? Berapa banyak muslim yang gandrung mendatangi tempat-tempat yang dianggapnya mampu untuk mendatangkan ‘karomah’ atau kesaktian? Berapa banyak muslim yang masih menghitung-hitung perkara apakah ini hari sial atau itu hari mujur dalam menentukan tanggal perkawinan atau ketika hendak memasuki rumah barunya? Berapa banyak para pedagang yang menggantungkan harapan dalam meraih laba besar dengan jimat-jimat ‘penglaris dalam perniagaannya? Berapa banyak juga muslim yang masih menyandarkan nasib dan keberuntungannya kepada kitab-kitab primbon dan petuah-petuah orang yang dijuluki ‘orang pintar’? Plus seabrek aktivitas lain yang tetap dipegang-teguh dan dijaga kelestariannya hingga kini.
Setelah mencermati contoh dari fakta-fakta yang masih memprihatinkan tersebut, lalu masihkah pantas untuk berhujjah bahwa mengkaji ilmu tauhid adalah sesuatu yang kurang penting dalam agenda kajian seorang pendakwah atau bagi seorang pencari ilmu?
Sementara dahulu, para nabi dan rasul saja mengalami perjuangan yang keras dalam menda’wahkan tauhid ini. Ingatlah akan salah-satunya yaitu kisah nabi Allah Nuh ‘alaihissalaam yang menda’wahkan tauhid hingga 950 tahun lamanya yang itupun dikabarkan bahwa yang mengikuti da’wahnya hanya berjumlah 6 orang saja. Dan dari melalui satu contoh ini saja telah menggambarkan bahwa masalah tauhid adalah masalah yang berat, yang tidak semua orang mampu dengan mudah untuk menyampaikannya, memperjuangkannya, dan beristiqomah dengannya. Demikian juga pengorbanan hati seperti berupa perpisahan dengan orang-orang tercinta yang ternyata lebih memilih ‘menekuni’ agama nenek-moyang ketimbang agama yang mentauhidkan Allah Ta’ala. Sebut saja nabi Nuh ‘alaihissalaam dengan putranya, Qan’an (QS. Hud, 11:42-43), atau nabi Musa ‘alaihissalaam dengan bapaknya, Azar (QS. al-An’am, 6:74), atau nabi Luth ‘alaihissalaam dengan istrinya (QS.al-A’raf, 7:83, QS. Hud, 11:81), atau Rasulullah dengan paman yang menyayangi dan disayanginya, Abdul Thalib. Seperti yang diberitakan di dalam al-Qur’an bahwa para nabi dan rasul memiliki sifat ujian da’wah yang berat,
Artinya, “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka…” (QS. al-An’am, 6:34)
Atau firman-Nya,
Artinya, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin,…” (QS. al-An’am, 6:112)
Contoh-contoh tersebut diatas adalah sedikit penggambaran bahwa da’wah tauhid akan senantiasa mendapat pertentangan dari akal-akal yang hanya memperturutkan hawa-nafsu semata. Oleh karena itu, disinilah pentingnya pendalaman akidah ke-Islaman seorang muslim sehingga memiliki kemurnian dalam tauhid kepada Allah azza wa jalla. Inilah hikmah diutusnya para nabi dan rasul yaitu untuk menyerukan tauhid dan melarang syirik. Misi da’wah mereka adalah satu meski syari’at dan tata-cara beribadah yang mereka bawa berbeda-beda. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. al-Anbiyaa, 21:25)
Makna tauhid
Allah Ta’ala berfirman dalam suatu ayat,
Artinya, “Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. az-Zumar, 39:11)
Kata tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhid, yang memiliki arti menganggap sesuatu itu satu, sedangkan makna tauhid adalah pemurnian ibadah kepada Allah Ta’ala dengan cara menghambakan-diri secara murni dan konsekuen kepada Rabbul ‘alamin, menjalankan ketaatan dengan memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta melakukan peribadahan dengan penuh rasa ikhlas, ittiba’, khouf, dan roja’ kepada-Nya semata. Tidak ada sedikitpun penyertaan darinya akan campur-tangan makhluk dalam kekuasaan dan kehendak Allah azza wa jalla. Segala penghambaannya hanya ditujukan kepada pemilik hidup, Allah Rabbul ‘alamin. Pada dasarnya Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dengan fitrah memiliki tauhid, seperti firman-Nya,
Artinya, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. ar-Ruum, 30:30)
Kemudian juga firman-Nya,
Artinya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi…” (QS. al-A’raaf, 7:172)
Mengakui kerububiahan Allah Ta’ala dan menjalankan segala konsekuensinya adalah sesuatu yang bersumber kepada kefitrahan, sedangkan prilaku syirik adalah perbuatan menyimpang dari kefitrahan yang berasal dari perbuatan mengada-ada oleh seorang makhluk.
Sebuah hadits shohih meriwayatkan,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجَّسَانِهِ.
Artinya, “Setiap bayi dilahirkan diatas dasar fitrah, maka kedua-orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi. Nasrani, atau Majusi.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Dan juga firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi,
خَلَقْتُ عَبَادِيَ حُنَفَاءَ فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ.
Artinya, “Aku ciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus-bersih, maka setanlah yang memalingkan mereka.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Setan la’natullah yang telah berikrar untuk senantiasa menyelewengkan manusia dari sifat kefitrahannya tersebut, telah membuat manusia yang berhasil dipalingkannya akhirnya bersandar kepada zat lain yang dipertuhankan. Keberpalingan inilah yang menyebabkan munculnya beraneka-macam illah yang juga disembah dan diibadahi oleh seorang makhluk.
Sebagian besar yang mengadakan illah-illah selain-Nya acapkali tidak mengakui akan perbuatan syiriknya tersebut, bahkan lebih banyak yang tidak menyadari bahwa yang mereka kerjakan itu adalah bentuk mempertuhankan thoghut yang sangat membahayakan akidah dan nasib amalan-amalan mereka. Begitupun ketika ditanya siapakah pencipta alam semesta, serentak mereka akan lantang menjawab: Allah Ta’ala, namun setelah itu mereka percaya bahwa di sisi lain ada tempat menyandarkan segala ‘ikhtiar’ yang turut andil dalam mengurusi kebutuhan mereka. Seperti mempercayai adanya dewi kesuburan, dewa pengatur angin, dewa pemberi hoki, dewa pembawa sial, dan semacamnya. Tapi cobalah tanyakan kembali ketika didapati mereka tengah melakukan sembahan-sembahan itu; apakah ini yang juga kalian sembah seperti layaknya kalian menyembah Allah Ta’ala? Niscaya mereka akan tegas menjawab bahwa perbuatan itu hanyalah sebagai perantara agar maksud tujuan mereka sampai. Lalu apakah mereka tidak menghayati sebuah ayat dari surat termudah yang biasa mereka baca dalam sholat mereka yang berbunyi,
Artinya, “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. al-Ikhlash, 112:2)
Cerminan ini pula yang menunjukkan seorang muslim yang bagaimanakah yang dapat dikatakan ia telah berserah-diri semata kepada Allah Ta’ala dan menafikkan segala sesuatu selainnya. Firman-Nya,
Artinya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-An’am, 6:82)
Demikian sebagaimana juga yang selalu diwasiatkan oleh para nabi Allah, seperti Ibrahim ‘alaihissalaam kepada keturunannya,
Artinya, “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab, “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS. al-Baqarah, 2:131-132)
Na’am, hanya dalam Islamlah akan beroleh rahmat dan keselamatan, kebahagiaan dan keuntungan, baik ketika di dunia maupun setelah kematian. Seseorang yang telah dihidupkan hatinya dalam Islam sudah seharusnya mensyukuri nikmat terbesar tersebut dengan melakukan keta’atan kepada-Nya. Terlebih Dia telah menetapkan semua makhluk-Nya untuk mengibadahi-Nya semata. Firman-Nya,
Artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. adz-Zariyaat, 51:56)
Arti dari تَعْبُدُوْنِ dari ayat diatas adalah kamu mengibadahi-Ku atau kamu mentauhidkan-Ku dalam peribadahan. Seorang hamba belumlah layak disebut seorang muwahhid apabila ia baru hanya mengakui tauhid secara rububiyah akan Dzatnya semata. Akan tetapi ia juga diwajibkan mengakui tauhid uluhiyah, yakni tauhid dalam penyembahan kepada-Nya yang dengan itu ia akan memanjatkan do’a hanya kepada-Nya, meminta pertolongan hanya kepada-Nya, melakukan suatu amalan sholih hanya berharap balasan-Nya, atau melaksanakan penyembelihan hanya untuk-Nya, dan lain-lain. Perhatikanlah dengan apa yang terjadi pada kaum musyrikin di masa kehidupan Rasulullah, mereka memiliki keyakinan akan adanya Allah Ta’ala namun menafikkan penyembahan wajib kepada-Nya semata. Simak perkataan mereka dalam firman-Nya,
Artinya, “Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” (QS. Yunus, 10:31)
Dan juga firman-Nya,
Artinya, “Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Niscaya mereka menjawab, “Allah.” Jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. az-Zukhruf, 43:87)
Jadi barangsiapa yang belum melaksanakan tauhid dengan hakikat yang sebenar-benarnya, maka belumlah ia melakukan peribadahan kepada Allah Ta’ala karena sesungguhnya ia hanya baru mengakui sesuatu yang diharuskan dan meninggalkan sesuatu yang diharuskan atas dirinya. Bahwa beribadah kepada Allah Ta’ala belumlah terwujud dengan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengingkari thoghut. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “…Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul-tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah, 2:256)
Thaghut ialah syaitan dan perihal apa saja yang diserahkan segala penyembahan atasnya selain Allah Ta’ala, Robbul ‘alamin. Ia terkandung dalam makna syahadatain yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf dan atau seorang muallaf. La illaha bermakna menafikkan hak penyembahan dari selain Allah, sedangkan illallaha bermakna penetapan hak Allah semata untuk diibadahi.
Dalam al-Qur’an terdapat begitu banyak ayat yang menegaskan akan hal ini, seperti misalnya pada ayat-ayat berikut,
Artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,” maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. an-Nahl, 16:36)
Artinya, “Sembahlah Allah (saja) dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (berbuat syirik).” (QS. an-Nisa’, 4:36)
Hal ini merupakan pertanda tentang betapa pentingnya memahami tauhid, sebab dari dasar sinilah yang sangat menentukan bagi nasib amalan-amalan yang akan dan telah dikerjakan oleh seseorang.
Akibat menafikkan tauhid
Diantara perkara-perkara buruk yang diancamkan Allah azza wa jalla kepada setiap yang mengingkari tauhid, diantaranya adalah:
1. Menjadi orang yang tercela dan ditinggalkan Allah Ta’ala.
Firman-Nya,
Artinya, “Janganlah kamu adakan Tuhan yang lain disamping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).” (QS. al-Isra’, 17:22)
2. Dijauhkan dari syafa’at Allah Ta’ala.
Firman-Nya,
Artinya, “Dan orang-orang yang menyeru kepada selain Allah tidak mendapat syafa’at (pertolongan di akhirat), kecuali orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini.” (QS. az-Zukhruf, 43:86)
3. Dihapuskan segala amalannya.
Firman-Nya,
Artinya, “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-An’am, 6:88)
4. Dimasukkan ke dalam neraka.
Firman-Nya,
Artinya, “Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu dan janganlah kamu mengadakan Tuhan yang lain disamping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS. al-Isra’, 17:39)
Faktor-faktor penyebab penyimpangan akidah
- Kebodohan akibat malas mempelajari dinul Islam
- Fanatik terhadap agama warisan nenek-moyang
- Taklid buta terhadap imam-imam yang berbicara tanpa dalil yang syar’i
- Berlebihan dalam mencintai para wali sehingga menempatkan mereka ke maqam yang tidak selayaknya
- Berkuasanya media-media massa sekuler dan terpuruknya media-media massa muslim akibat ‘penjegalan’
- Tidak adanya keseriusan dari penguasa muslim dalam memfasilitasi rakyatnya yang muslim untuk memperoleh ilmu yang syar’i tentang diennya.
Hakikat syahadatain
Dalam keseharian di sekitar kita, begitu banyak praktek yang ‘menggampangkan’ masalah ber-syahadat ini. Dan biasanya kebanyakan karena disebabkan adanya pernikahan, dimana adanya tuntutan agar kedua calon mempelai memiliki persamaan keyakinan. Namun terkadang akibat bukan timbul dari keazzaman salah-satu pihak yang akhirnya memutuskan untuk bersyahadat tersebut, timbullah di kemudian hari keinginan untuk ‘kembali’ kepada kepercayaan sebelumnya, atau bila tidak—jadilah ia menjadi mu’alaf yang ‘ala-kadar’nya. Tanpa ghiroh untuk mencari ilmu dalam dien Islam, tanpa keingin-tahuan tentang apa sajakah yang menjadi kewajibannya dalam ber-Islam, apalagi tak mendapat pengayoman pula dari keluarga pasangannya yang notabene muslim.
Ini seharusnya menjadi perhatian bagi setiap muslim yang memutuskan hendak menikahi seseorang beragama lain, untuk memproses kemantapan tauhid calon pasangan hidupnya tersebut dahulu sebelum menikahinya. Sebab sudah banyak fakta terjadi akibat ‘mandul’nya proses ini. Sedangkan syaikh Sholih bin Fauzan dalam kitabnya Aqidatut Tauhid, menjelaskan bahwa persaksian la illaha illallaha harus terlealisir dengan tujuh syarat yang tanpa syarat-syarat tersebut, syahadat tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Syarat-syarat tersebut secara garis-besarnya adalah:
- ‘Ilmu, yang menafikkan jahl (kebodohan)
- Yaqin, yang menafikkan syak (keraguan)
- Qabul (menerima), yang menafikkan radd (penolakan)
- Inqiyad (patuh), yang menafikkan tark (meninggalkan)
- Ikhlash, yang menafikkan syirik
- Shidq (jujur), yang menafikkan kadzib (dusta)
- Mahabbah (kecintaan), yang menafikkan baghdha’ (kebencian)
Disinilah muhasabah dan tholabul ‘ilmu diperlukan oleh setiap muslim, sehingga kemurnian tauhid yang diwajibkan dalam syari’at bisa segera dipenuhi guna menyelamatkan akidah dan amalan-amalannya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa semua manusia pada awalnya adalah bertauhid, namun adanya pengaruh faktor lingkungan dan juga bisa disebabkan kekurang-mantapan akidah, akhirnya prilaku syirik mengendap dan menggerogoti imannya. Adapun prilaku penyimpangan ini bermula terjadi pada masa kaum Nuh ‘alaihissalaam yang melakukan penyembahan terhadap berhala berupa patung-patung. Ajaran sesat tersebut kemudian dibawa masuk oleh Amru bin Luhay al-Khuza’i ke tanah Arab sehingga menyebar dan mengganti agama Ibrahim yang bertauhid hingga diutuslah Rasulullah untuk mengembalikan umat kepada tauhidullah.
Adapun di masa kini contoh-contoh praktek kesyirikan yang nyata-nyata dilanggengkan dan semakin beragam bentuknya tersebut diantaranya:
- Ngalap berkah.
- Mengakui doktrin Trinitas.
- Menyembelih hewan sembelihan dengan selain nama Allah Ta’ala.
- Istiadzah kepada selain Allah Ta’ala.
- Bernadzar dengan selain nama Allah Ta’ala.
- Istighotsah kepada selain Allah Ta’ala.
- Mendatangi, menanyakan, dan meyakini perkataan ahli sihir atau ahli nujum perihal sesuatu yang ghaib.
- Mengaku mengetahui yang ghaib.
- Tathoyyur.
- Berhukum kepada selain hukum Allah Ta’ala dan rasul-Nya.
- Memperolok-olok syari’at Islam.
- Bersumpah dengan selain nama Allah Ta’ala.
Upaya perbaikan dari penyimpangan tauhid
Diantara yang bisa diusahakan dalam memperbaiki musibah kebobrokan akidah ini, baik oleh masing-masing pribadi muslim maupun pihak-pihak yang memiliki kewenangan adalah seperti berikut:
- Muhasabah dan aktif dalam tholabul ‘ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits-hadits shohih,
- Memperbanyak kajian-kajian ilmu dien Islam yang bermanhaj assholafush sholih di masjid-masjid atau balai pendidikan yang ada,
- Menugaskan para da’i ke daerah-daerah terpencil yang sulit dari jangkauan lembaga pendidikan yang tersedia,
- Menata kurikulum pendidikan Islam yang sesuai dalil-dalil al-Qur’an dan as-sunnah yang shohih.
Sedemikian pentingnya mempelajari tauhid bagi seorang muslim untuk dipraktekkan dalam hidup kesehariannya. Apalagi berhubungan dengan status amalan seseorang yang memiliki dua syarat sehingga amalan tersebut dapat diterima di hadapan Allah Ta’ala, yaitu ikhlas lillahi Ta’ala dan ittiba’urrasul. Sebab bagaimana mungkin kedua hal tersebut bisa terlaksana, sementara ia tidak faham kemana ikhlas yang sesungguhnya ia tujukan atau tidak tahu siapa yang harus ia teladani sebagai seorang muslim.
Kebanyakan yang hanya berkata, “Yang penting saya ikhlas…” atau yang mengatakan, “Ini kan sesuai adat leluhur kami…”, sebenarnya hanya mengikuti hawa-nafsu dirinya semata persis dengan yang Allah Ta’ala beritakan dalam suatu firman-Nya,
Artinya, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek-moyang mereka walaupun nenek-moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. al-Ma’idah, 5:104)
Begitulah kebutuhan tauhid bagi seseorang, sehingga jika ia telah memilikinya—tidak akan lagi ia menyandarkan khouf dan roja’nya kepada jin-jin yang dianggap sebagai penguasa lautan sebagaimana perbuatan sebagian adat ketika ditimpa musibah atau ketika hendak memanen hasil laut, misalnya. Tidak akan lagi ia ikut serta berkecimpung dalam melaungkan bentuk-bentuk kebid’ahan dalam agama. Atau tidak akan lagi ia mau mendatangi tempat perayaan-perayaan umat kafir yang sarat akan kesesatan, kemaksiatan, serta mengundang la’nat-Nya tersebut seperti ajang tahun-baruan yang beberapa hari lalu terjadi.
Mudah-mudahan kita menjadi hamba-bamba-Allah Ta’ala yang termasuk ke dalam firqoh najiyah (golongan yang selamat). Dan mudah-mudahan kita diberikan kesempatan yang luas untuk mempelajari dien Islam sehingga mampu untuk menjauhi diri dan keluarga dari pengantar-pengantar kekufuran. Wallahul musta’an.
Artinya, “Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” maka kamipun beriman. “Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” (QS. Ali ‘Imron, 3:193)
Demikian, mudah-mudahan memberi manfaat. Wallahu a’lam bisshowwab.