Muslim kaffah

syariah-islam

(Abujibriel.com)— Ibnu Mas’ud ra meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menyampaikan sebuah sabdanya,

لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ إِلاَّ وَ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ, وَ لاَ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ.

artinya, “Tidak ada dari sesuatu amalan yang mendekatkan ke surga, kecuali telah aku perintahkan kepada kalian dengannya dan tidak ada dari sesuatu amalan yang mendekatkan ke neraka, kecuali pasti telah aku cegah kalian darinya.” (HR. Imam Al-Hakim)

Di kehidupan keseharian seorang muslim, tak ada satupun amalan yang hendak dikerjakannya melainkan telah ada tauladan Rasulullah saw padanya. Berawal terbangunnya ia dari tidur malamnya hingga kembali beranjak untuk beristirahat—semuanya lengkap tak terlewati. Dan untuk itulah Allah azza wa jalla mengutus hamba-Nya, Muhammad saw hingga ia diwafatkan yang merupakan pertanda telah sempurnanya syari’at yang diridhai-Nya yaitu Islam. Allah Ta’ala berfirman,

artinya, “….Pada hari ini Aku telah menjadikan Islam agama yang sempurna untuk kalian. Aku telah berikan hidayah-Ku kepada kalian dengan sempurna. Aku meridhai Islam menjadi agama kalian” (QS. al-Ma’idah, 5:3)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan bahwa inilah karunia Allah Ta’ala yang paling besar  yang diberikan-Nya kepada umat ini karena Dia telah menyempurnakan agama-Nya yang menjadi keperluan mendasar bagi setiap individu, yang karena kesempurnaannya tersebut maka tiadalah diperlukan lagi syari’at selainnya. Segala perkara telah disampaikan berikut penjelasannya, maka tiadalah ada perkara halal kecuali yang telah dihalalkannya dan tiadalah perkara haram kecuali yang telah diharamkannya, serta tiadalah agama kecuali yang telah disyari’atkannya.

Dijelaskan bahwa setelah ayat tersebut turun, maka kaum muslimin tidak lagi memerlukan tambahan apapun. Sesungguhnya Dia telah meridhainya, maka janganlah pernah ada perbuatan yang berusaha untuk mengingkarinya sedikitpun.

Namun hawa nafsu yang bersumber dari kebodohan dan kekufuran manusia, telah menjadikan dirinya mengambil pedoman lain sebagai acuan hidupnya. Umat Islam yang telah dijanjikan Allah Ta’ala dengan kepatenan syari’at-Nya, dari sebagiannya merasa kurang puas dan kurang cocok akan pedoman yang dibawa Rasul-Nya sehingga mencoba mengikuti syari’at lain, bahkan mengutak-atik dan meng’oplos’nya demi sejalan dengan keinginannya. Sudah teramat sering kita temui dalam keseharian kita perihal yang jelas mengundang datangnya laknat Allah Ta’ala tersebut. Ketika adat-istiadat dijunjung tinggi dan kesakralannya dijaga, sementara syari’at yang sesungguhnya dijegal dan di’punah’kan. Ketika adat jahiliyah Yahudi dan nasrani ramai-ramai disambut dan diikuti, sementara syari’at Sang Pemilik makhluk dianggap aneh yang lalu kemudian ditinggalkan.

Keadaan ini merupakan pertanda dari penyebab kemunduran kaum muslimin sendiri; menjauh dari ilmu yang dibawa para salafush sholih sehingga buta akan petunjuk yang syar’i, tidak menerapkan syari’at secara kaffah, mempertuhankan hawa nafsu dan cinta dunia, serta tasyabbuh kepada millah Yahudi dan Nasrani, padahal yang seharusnya dikerjakan kaum muslimin adalah mencamkan-dirinya bahwa millah mereka (Yahudi dan Nasrani) adalah ‘ajaran’ kadaluarsa yang tak layak-pakai lagi karena Allah Ta’ala telah memusnahkannya. Cukuplah sudah hadirnya Rasulullah saw sebagai pengganti dan penyempurna syari’at hingga akhir zaman.

Dari Abu Munib, dari Ibnu Umar ra, dia menceriterakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku diutus menjelang kiamat dengan membawa pedang sehingga hanya Allah saja yang diibadahi yang tiada sekutu bagi-Nya. Rezekiku dijadikan dibawah naungan tombakku. Kehinaan dan kerendahan dijadikan kepada orang-orang yang menentang perintahku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad)

Sementara Ibnu Umar ra menyampaikan bahwa Rasulullah saw bersabda,

مَنْ تَثَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

artinya, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)

Dalam sebuah firman-Nya, Allah Ta’ala telah menyampaikan penegasan yang disertai ancaman-Nya,

artinya, “…Wahai Muhammad, katakan­lah, “Sungguh Islam itulah agama Allah yang sebenar­nya.” Sekiranya kamu mengikuti agama kaum Yahudi dan Nasrani, padahal telah datang kepadamu perintah untuk mengikuti Islam, niscaya tidak ada orang yang dapat menolong kamu dari siksa Allah di akhirat.” (QS. al-Baqarah, 2:120)

Jika umat Islam benar-benar komitmen dengan ajarannya, benar-benar patuh dengan tuntunan dan sunnah Rasul-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran Islam secara totalitas, maka pasti akan memperoleh kejayaan dan kesuksesan dalam segenap aktivitas perjuangannya. Lalu umat Islam pun akan mampu mengalahkan dan menundukkan segenap kaum kafir yang berusaha menghancurkan dan membinasakan Islam dan kaum muslimin. Maka dengan inilah Allah Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar mengamalkan Islam secara menyeluruh dan melarangnya dari mengamalkan Islam secara sebagian-sebagian, karena mengamalkan Islam secara tidak sempurna dengan mengambil sebagian yang disukai dan meninggalkan sebagian yang tidak disukai berarti telah mengikuti langkah-langkah setan seperti firman-Nya,

artinya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah, 2:208)

1. Ibnu Jarier menyebutkan sebuah riwayat yang bersumber dari Ikrimah ra, ia mengatakan bahwa Abdullah bin Salam, Tsalabah, Ibnu Yamin, Asad dan Usaid—kedua anak Ka’ab, Syu’bah bin Amar, dan Qais bin Zaid, semuanya dari golongan Yahudi. Mereka berkata kepada Rasulullah saw,

artinya, “Wahai Rasulullah, hari sabtu adalah hari yang kami muliakan, biarkanlah kami merayakannya. Taurat adalah kitab Allah, biarkanlah kami mengikuti dan mengamalkannya pada malam harinya. Lalu Allah Ta’ala turunkan ayat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya… “ (Tafsir Ath-Thobari, Jaami’ al-Bayan fie Ta’wil al-Qur’an, 2/337)

2. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ayat ini Allah Ta’ala turunkan berkenaan dengan orang-orang ahlul kitab (Yahudi dan Nashara) yang artinya Allah menyeru kepada mereka,

artinya, “Wahai orang-orang yang beriman kepada Musa dan Isa, masuklah kamu ke dalam Islam dengan Muhammad keseluruhannya.”

Seperti yang terdapat dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah telah bersabda,

artinya, “Demi Dzat yang jiwa rasulullah berada di tangan-Nya, tiada seorangpun di kalangan umat ini yang mendengarkanku, baik dari golongan Yahudi maupu Nashrani, kemudian ia mati sementara ia tidak beriman dengan risalah yang aku bawa (Islam), kecuali ia akan mati menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim)

3. Muqatil ra mengatakan, “Abdullah bin Salam dan teman-temannya pernah meminta ijin kepada Rasulullah untuk membaca kitab Taurat dalam shalat serta mengamalkan sebagian dari ajaran Taurat tersebut. Lalu Allah Ta’ala turunkan ayat: “Dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya mengikuti sunnah lebih utama setelah diutusnya Muhammad daripada mengikuti langkah-langkah setan.” Dan dikatakan: “ Janganlah kamu mengikuti jalan orang yang menyeru kamu kepada setan, karena sesungguhnya setan itu musuhmu yang paling nyata.”

Apabila umat Islam tidak mau mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh berarti ia telah meninggalkan sunnah Rasul dan mengikuti tradisi kaum kafir (Yahudi, Nasrani, dan musyrikin) yang akan menyebabkan mereka turut menjadi umat yang hina dan terkutuk dalam kehidupan dunia yang juga kelak akan disiksa di akhirat dengan azab yang pedih seperti pada firman-Nya,

artinya, “… apakah kamu beriman kepada sebahagian al-kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. al-Baqarah, 2:85)

Sebaliknya, jika syari’at Allah  Ta’ala tersebut diterapkan, maka benar-benar akan terwujudlah apa yang dijanjikan-Nya,

artinya, “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (QS. at-Taubah, 9:33)

juga firman-Nya,

artinya, “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.
(QS. al-Fath, 48:28)

dan

artinya, “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. as-Shaff, 61:9)

Dinul Islam merupakan syari’at yang haq, yang tidak dapat dan tidak boleh diragukan kebenarannya. Ia merupakan tolok-ukur salah-benarnya suatu hal. Oleh karena itu, pemikiran mana saja yang bertentangan dengannya, baik berupa ideologi, peraturan, perundang-undangan, atau semacamnya, maka itu semua adalah bathil. Kebenaran yang haq sumbernya hanyalah dari Allah Ta’ala semata seperti firman-Nya,

artinya, Wahai Muhammad, al-Qur’an ini datang dari Tuhanmu. Wahai kaum mukmin, janganlah sekali-kali kalian termasuk golongan orang yang meragukan kebenaran al-Qur’an.” (QS. al-Baqarah, 147)

Juga dalam perintah-Nya,

artinya, “Wahai Muhammad, pasrahkanlah urusanmu kepada Allah. Sesungguhnya kamu mengikuti agama yang benar.” (QS. an-Naml, 27:79)

Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa mensyukuri anugrah terbesar ini dengan segenap potensi yang ada, yang salah-satunya adalah dengan bentuk pengaplikasian syari’at haq tersebut dalam seluruh sesi kehidupan, sebagaimana kaidah syar’i (hukum syara’) menjelaskan bahwa pintu masuk pertama seseorang ke dalam iman dan Islam berawal dengan tashdiq (membenarkan) dalam hati, lalu melafadzhkan dengan lisannya, kemudian secara bertahap memahami dan merealisasikan tuntutan-tuntutan dua kalimat syahadat tersebut dalam perbuatannya.

Sebagai penutup, marilah kembali kita camkan dalam diri kita masing-masing bahwa meneladani Rasulullah saw adalah perkara yang teramat penting bagi seseorang yang mengaku dirinya muslim. Senantiasa ia akan meng’kiblatkan’ dirinya kepada beliau saw sebagai bentuk pengamalan firman-Nya,

artinya, “Wahai kaum mukmin, sungguh pada diri Rasulullah telah ada teladan yang baik bagi kalian yang mengharap rahmat Allah, beriman kepada hari akhirat dan banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab, 33:21)

dan juga firman-Nya,

artinya, “Wahai Nabi, katakanlah kepada orang-orang mukmin: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku. Allah pasti akan mencintai kalian dan mengampuni semua dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya. Wahai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang mukmin: “Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian mengingkari perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya, sung­guh Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali ‘Imron, 3:31-32)

Semoga kita senantiasa berikhtiar untuk menjadi muslim yang kaffah dalam kehidupan ber-Islam kita, wallahul musta’an…

Demikian, semoga bermanfaat. Barakallahu fikum.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *