Mengenal Musuh Kita

Muslim berkewajiban untuk wasapada, dan mempelajari tentang plot dan trik-trik musuhnya. Allah Swt. befirman dalam Al-Qur’an

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Al Fathir, 35: 6)

Ayat ini dengan jelas menginformasikan kepada kita siapa musuh kita, dia adalah: Syaitan.

Allah Swt. dengan tegas memerintahkan kita untuk menjadikan musuh kita sebagai musuh – tidak berteman atau pun bersekutu. Konsekuensinya, tidak diperbolehkan bagi seorang yang beriman untuk mempunyai rasa simpatik, cinta, kasih sayang, haru atau respek pada musuh-musuhnya. Allah Swt berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.”

(QS Al Mumtahanah, 60: 1)

Sebagaimana telah diindikasikan pada ayat di atas bahwa Musuh-musuh Allah adalah musuh-musuh kita. Selanjutnya, seorang beriman hanya dibolehkan untuk mencintai orang-orang yang Allah Swt. cintai, dan membenci orang-orang yang Allah Swt. benci.

Sebagai contoh, jika Allah Swt. mengutuk sebuah bangsa atau masyarakat, tidak dibolehkan bagi seorang beriman untuk menuruti atau bersekutu dengan mereka (seperti bergabung dengan polisi mereka).

Lebih lanjut, Syaitan (musuh Allah) bisa dalam dua bentuk yang berbeda. Dia bisa berbentuk jin dan juga manusia (QS An Naas, 114:6). Pada saat Syaitan dalam bentuk jin sangat sulit bagi seseorang untuk melawannya, kecuali tentu saja dia adalah seorang beriman yang benar dan seorang Muwahid.

Namun, pada saat dia berbentuk manusia (yaitu Kuffar) itu lebih mudah untuk mengenalinya dan mempertahankan dirinya dari serangan Syaitan. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

(QS An Nisaa’, 4: 101)

Berdasarakan ayat di atas, mengambil orang-orang Kafir sebagai musuh adalah kondisi/syarat untuk menjadi seorang Muslim. Ini karena mereka benar-benar menghina Allah Swt. dan selanjutnya, kita harus menghinakan mereka juga – walau pun jika itu terlarang untuk melakukannya. Allah Swt berfirman:

“…sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”

(QS Ali Imran, 3: 32)

Pada saat ini, jika seseorang bertanya, “maukah kamu mengambil Syaitan sebagai teman mu, memberikan suara untuk mereka atau bergabung dengan polisinya?” Dia seharusnya dengan pasti berkata “tidak.”

Namun jika seseorang ditanya dengan pertanyaan yang sama tetapi kata Syaitan diganti dengan “Kaafir”, dia mungkin akan menjawab, “Ya tentu saja! Itu adalah kewajiban bagi kita untuk melakukannya”, bahkan pernyataan ini adalah Kufur dan tidak ada perbedaan yang mutlak antara Syaitan dan Kaafir.

Demikian juga, banyak orang yang percaya bahwa merupakan perbuatan murtad untuk menjadi Mufti dari Syaitan. Tetapi pada saat kata Syaitan diganti dengan Thaghut, bisa saja dibolehkan – walau pun Thaghut adalah kata lain dari Syaitan. Semoga Allah Swt. melindungi orang-orang beriman dari sifat nifaq.

Selanjutnya dalam Islam tidak ada konsep “mencintai musuh mu” (sebagaimana telah diindikasikan pada ayat di atas Al Fatir, 35: 6), selanjutnya, cinta kita pada satu dengan yang lainnya adalah berdasarkan Imaan – bukan pada darah, ras, atau nasionalisme.

Selanjutnya tidak dibolehkan bahkan untuk bersekutu dengan saudaranya atau ayah-nya jika itu berdasarkan kebatilan atau lebih menyukai Kufur di atas Iman. Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudara mu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS At Taubah, 9: 23)

Konsekuensi mengambil Syaitan sebagai sekutu atau teman akan mendapatkan hukuman yang keras sekali dalam Islam. Faktanya dalam aturan Syari’ah, itu adalah perbuatan Riddah (murtad), dan inilah mengapa Rasulullah Saw. dan para Shahabatnya sangat tidak menyukai bersepakat dengan orang-orang yang bersekutu dengan Musyrikin.

Selanjutnya, hanya karena orang kafir adalah musuh kita itu tidak berarti bahwa serta merta kita harus membunuh mereka. Ketika Allah Swt. mengabarkan orang Kaafir sebagai musuh-Nya dan kita, itu dengan tujuan untuk memperingati kita agar tidak mengikuti mereka, meniru atau mendukung mereka.

Orang-orang Kafir adalah “Penghuni neraka”, dan mereka telah mendapatkan kemarahan dan kutukan Allah Swt.; selanjutnya ini adalah sebab mengapa kita meminta kepada Allah 17 kali sehari (ketika membaca Al-Fatihah) agar tidak menjadi seperti mereka.

Pada abad 21 ini tentara salib memerangi Islam dan kaum Muslimin. Musuh-musuh Allah sekarang berusaha untuk memaksa orang-orang beriman untuk mencintai mereka dan ideologi jahat mereka dengan membuat legislasi baru yang akan mencegah kaum Muslimin untuk memenuhi kewajiban mereka dan menganggap Islam menyerukan atau menyebarkan “agama kebencian”.

Selanjutya mereka (orang-orang kafir) juga ingin agar kaum Muslimin tidak memuji atau “memuliakan” individu yang telah memberikan perlawanan atau berjuang melawan musuh-musuh Islam, yakni para mujahid.

Ini karena  – disamping mereka menguasai media massa dan menguasai kekayaan- mereka mempunyai trauma kegagalan yang sangat hebat dalam atau untuk mengalahkan pasukan kaum Muslimin.

Jika seorang Muslim tidak lagi bisa memenuhi kewajibannya dalam konsep tauhid yang asasi, yakni al-Wala wal Baraa’ (kecintaan dan kebencian berdasarkan syariat Islam) maka dia harus hijrah di negeri di mana dia bisa melakukannnya.

Pada saat ini, faktanya Yahudi dan Nasrani mengejek Islam, Rasulullah Saw. dan Mujahidin di dalam setiap aspek kehidupan. Ironisnya, kaum Muslimin dilarang untuk membalas mengejek ideologi jahat mereka, dan mengecam tentaranya.

Selanjutnya, seseorang dipuji dan dikagumi karena memanggil tentara-tentara Kuffar sebagai seorang “pahlawan”, tetapi mengutuk habis-habisan mujahidin dan menuduh mereka sebagai teroris, walaupun faktanya tentara-tentara Kuffar dan orang-orang beriman (Muajhidin) keduanya melakukan aksi terror, menghancurkan gedung-gedung dan membunuh “rakyat sipil”.

Wallahu’alam bis showab!

(almuhajirun.net)

7 Responses

  1. YA ALLAH TEGUHKANLAH DAN KUATKANLAH HATI INI
    DALAM MELAKUKAN PERLAWANAN TERHADAP MUSUH-MUSUHMU, JAUHKAN KAMI DARI BUJUK RAYU MEREKA

  2. Gimana sih…tidak konsekwen dan munafik…katanya harus memusuhi orang kafir, tapi hasil dan buatannya dipake..HP, mobil, komputer dll, semuanya buatan orang kafir, orang islam sendiri tidak menghasilkan apa-2..sebetulnya harus konsekwen seperti kepada babi..begitu dinyatakan haram..semua bagiannya haram tanpa kecuali..nah lagia kalau orang kafir dimusnahin kita mau pake apa kembali kejaman batu ?????

  3. assalamu’alaikum, ustadz ada yag hndak dtanyakan prihal sikap kaum muslim thd musuh2 Islam– manakah yg lbh afdhal, memintakan hidayah bagi mrk yg memusuhi Islam ato mbacakan qunut nazilah adja?? lalu gmn dg kaum Muslim sndiri yg slg g respek, slg curiga dan slg memusuhi Muslim lainnya??? Mohon jawabanny ya ustadz. wassalamu’alaikum.

  4. MUI itu sekutunya siapa ? kenapa komentarnya memojokkan syariat islam dan kaum muslim yang menjalankannya ? mengapa MUI tidak menjadi pelindung umat muslim yang terdzolimi? apa tindakan yg harus dilakukan pada majelis yang tidak bisa mengayomi umatnya sendiri ?

  5. Untuk abah atep kayanya antum cara berfikirnya sangat primitif… maksud ustadz itu tindakan dan perbuatannya bukan teknologinya.. kalau mau dikaji lebih mendalam semua teknologi yang ada bersumber dari umat islam itu sendiri….coba baca lebih banyak tentang sejarah kebudayaan islam oke khi……

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *