(Abujibriel.com)–”Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asalkan ia pernah mendapatkan pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang dihancurkan pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.”
Ucapan diatas dilontarkan oleh Muhammad Quthb dalam sebuah ceramahnya puluhan tahun silam. Muhammad Quthb adalah seorang ulama Mesir yang concern terhadap pendidikan Islam sekaligus pemikir ulung abad ke-20. Ia tidak hanya dikenal sebagai aktivis yang gencar melakukan perlawanan terhadap rezim imperialisme Mesir, namun juga cendikiawan yang terkenal luas ilmunya.
Beberapa bukunya pun telah beredar di Timur-tengah dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang diantaranya adalah Shubuhat Hawla al-Islam (literally ”Misconceptions about Islam”), Hal Nahnu Muslimun (Are We Muslims?), Al-Insan Bayna al-Maddiyah wa al-Islam (Man between Material world and Islam), Islam and The Crisis of The Modern World), dan masih banyak lagi. Maka tak heran, lepas dari penjara ia pun mendapatkan gelar profesor kajian Islam di Arab Saudi.
Muhammad Quthb mementingkan bagaimana pentingnya peran yang dimiliki seorang ibu dalam Islam. Ibu tidak saja sebagai pihak yang dekat secara emosional kepada seorang anak, tetapi ia juga memiliki pengaruh besar terhadap masa depan akhlak dari generasi yang dilahirkannya.
Menurut Muhammad Quthb, anak yang di kemudian hari mendapatkan ujian berupa kehancuran moral akan mudah diatasi, asal sang anak pernah mendapatkan pengasuhan ibu yang sholihah. Pendidikan Islami yang terinternalisasi dengan baik, akan membuat sang anak lekas bangkit dari keterpurukannya mengingat petuah-petuah rabbani yang pernah terekam dalam memorinya.
Sebaliknya, seorang ayah yang memiliki istri yang sudah rusak dari awalnya, maka ia pun hanya akan melahirkan sebuah keturunan yang memiliki kepribadian persis dengan wanita yang dipinangnya. Sifat alami anak yang banyak mengimitasi prilaku sang ibu akan membuka peluang transferisasi sifat alami ibu kepada anaknya. Maka kerusakan anak akan amat tergantung dari kerusakan ibu yang mendidiknya. Oleh karena itu, dalam bukunya Ma’rokah at-Taqooliid, Muhammad Quthb mengemukakan alasan mengapa Islam mengatur konsep pendidikan yang terkait dengan arti kehadiran seorang ibu dalam keluarga. Ia menulis:
”Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekedar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah-payah mendidik, mengajar, menguatkan iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum dan segala soal psikologis untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa ‘mendidik’ dan bukan sekedar melahirkan, membela, dan menyusui yang setiap kucing dan sapi subur pun mampu melakukannya.”
Konsep inilah yang tidak terjadi di negara Barat yang mengalami kehancuran total pada sisi masyarakatnya karena bermula dari kehancuran moral yang menimpa wanitanya. Wanita-wanita Barat hanya dikonsep untuk mendefinisikan arti kepribadian dalam pengertian yang sangat primitif, yakni konsep pemenuhan biologis semata. Dosen dan pelacur bisa jadi sama kedudukannya, ini mirip dengan perkataan Sumanto al-Qurtubhy, kader liberal didikan Kanada yang berujar, “Lho, apa bedanya dosen dengan pelacur? Kalau dosen mencari nafkah dengan kepintarannya, maka pelacur mencari makan dengan tubuhnya.”
Qurtubhy hanyalah muqollid (pengikut) dari Sigmund Freud, psikolog kenamaan asal Austria yang membumikan konsep psikoanalisis. Ia mengatakan bahwa ketika https://abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan seksual sudah menggelora dalam diri pria maupun wanita, maka sudah selayaknya mereka tuntaskan lewat jalan perzinahan, tanpa harus melalui jalur pernikahan. Maka itu Freud menuding orang yang senantiasa menjaga akhlaknya rentan terserang gangguan psikologis, seperti neurosis.
Kini Freud memang telah mati, namun gagasan itu membekas dalam pribadi orang Barat. Jika anda kerap menyaksikan berita olahraga, pembawa acara sering memberitakan bahwa salah seorang pemain sepak bola di Inggris telah memiliki anak dari pacarnya, ya pacar—bukan istri. Karena konsep pernikahan sudah mendebu di benua biru itu.
Pasca kematian Freud, muncul banyak pengganti yang tidak lebih ekstrim yang salah-satunya adalah Lawrence Kohlberg. Ia adalah pengusung metode pendidikan karakter. Metode ini sudah gagal di negara Barat dan sekarang di adopsi oleh negeri-negeri muslim termasuk Indonesia.
Wajah pendidikan karakter terlihat manis. Ia mentitah agar para siswa berlaku jujur dan memegang komitmen, namun ia tidak memiliki dasar agama. Jika seorang remaja memilih untuk hidup tanpa bertuhan, adalah tidak menjadi persoalan dalam pendidikan karakter, asalkan hal itu dapat dipertanggung-jawabkan.
Begitu pula masalah hubungan seks. Bagi Kohlbergian, kita tidak boleh menyalahkan seorang anak perempuan yang hamil di luar nikah, sebab masalah baik atau buruk menjadi relatif. Pendidikan karakter pun tidak boleh menghakiminya, karena anak akan jatuh salah jika ia tidak bisa mempertanggung-jawabkan hubungan seksnya. Jadi jika seorang anak perempuan hamil—masih bisa terbebas dari “dosa”, asal ia siap menjadi seorang ibu. Urusan benar atau salah—tergantung tanggung-jawab, bukan persoalan agama.
Maka tak heran ketika Kohlberg lebih memilih bunuh diri dengan menyelam di laut yang dingin pun disambut gembira oleh masyarakat Barat. Alasannya (bisa membuat kita sebagai umat Islam tertawa): Kohlberg telah memilih jalan yang memang ia kehendaki. Ya, terlepas dari bahwa ia akan masuk neraka jahanam. Sebuah metode berpikir yang terlalu konyol untuk kita pahami.
Kembali ke masalah perempuan, kehidupan Barat yang bebas, sejatinya diawali dari kehendak di kalangan wanita untuk hidup merdeka sesukanya. M. Thalib, cendekiawan muslim yang telah menulis puluhan buku tentang pendidikan Islam, juga menekankan bagaimana proyek Zionis di balik wacana pembebasan wanita di Barat. Menurutnya kaum Yahudi memiliki peran kuat di balik slogan Liberty, Egality, dan Fraternity (Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan) yang berasal dari Prancis.
Hal ini dipropagandakan oleh Zionis dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia hingga kita bisa merasakan apa yang disebut Hak Azasi Manusia dan Feminisme pada saat ini. Dalam bukunya “Pergaulan bebas, prostitusi, dan Wanita”, M. Thalib menulis, “Slogan-slogan inilah yang membuat orang-orang bodoh turut-serta mengulang-ulanginya di seluruh penjuru dunia dikemudian hari, tanpa berpikir dan memakai akalnya lagi.”
Mungkin terasa ganjil bagi kita tentang mengapa bangsa Yahudi sebagai bangsa yang pongah begitu takut dengan perempuan muslimah? Jawabannya sederhana: membiarkan seorang wanita tumbuh menjadi sholihah adalah alamat kiamat bagi mereka. Jika seorang ibu yang sholihah bisa mengasuh lima orang anaknya dalam keluarganya untuk tumbuh menjadi generasi mujahid, maka bisa dihitung berapa banyak generasi yang bisa dihasilkan dari 800 juta perempuan muslim saat ini…
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah di muka bumi ini yang harus diperlakukan dengan cara yang paling baik?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Setelah itu siapa lagi, ya Rasul?” Sekali lagi Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Sahabat bertanya kembali, “Kemudian siapa?” Lagi-lagi Rasulullah menjawab, “Ibumu, lalu ayahmu.” (HR. Bukhari)
(diangkat dari buku ZIONIS & SYI’AH BERSATU HANTAM ISLAM, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi)