(Abujibriel.com)—Yaa ayyuhal akhowatifillahi, al-jihad fisabilillah adalah amal ibadah yang paling tinggi derajatnya di dalam Islam. Ia merupakan tiang dan puncak Islam yang tertinggi dan terpuji. Ia adalah jalan yang benar untuk menjaga Islam dan syari’at-Nya, untuk menjaga negara dan undang-undangnya dan membantu orang-orang yang tertindas dalam agamanya. Ia adalah perisai yang kukuh yang dapat menjamin kebebasan menyebarkan dakwah kepada Allah, apabila dihalang oleh senjata-senjata musuhnya. Ia adalah wasilah (jalan) untuk menjaga syari’at yang amat penting (dhoriyyah) dalam agama ini. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memerintahkannya kepada orang-orang mukmin meskipun terpaksa mengorban diri, nyawa, harta-benda dan barang-barang keduniaan. Karena menjaga agama lebih utama daripada yang selainnya seperti keluarga, kehormatan, harta dan nyawa.
Berkata Al-Imam As-Syatiby:“Sesungguhnya jiwa yang mulia wajib dipelihara, kerana ia memerlukan hidup yang selamat dan sejahtera. Sekiranya berlaku perkara antara hidupnya, jiwa dan binasanya harta atau binasanya jiwa dan selamatnya harta, maka hidupnya jiwa lebih utama. Maka apabila terjadi perkara yang berlawanan antara hidupnya jiwa dan matinya agama, maka mempertahankan agama lebih utama meskipun membawa kepada kematian jiwa di dalam jihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang murtad lainnya.”[1]
Dan dari sinilah Allah Ta’ala menggalakkan hamba-Nya yang mukmin untuk berjihad di jalan-Nya dan memerintahkan mereka dengannya dan menjanjikan untuk para mujahidin dan mujahidah akan syurga sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta-benda mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka gembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah, 9:111)
Meneliti kandungan ayat yang memberi tawaran harga yang sangat tinggi dan mahal kepada orang-orang mukmin, yang sanggup menjual diri dan hartanya dengan bayaran syurga yang indah penuh kenikmatan, tentunya ramai yang sudah mendaftar diri dan sudah tidak sabar lagi menunggu keberangkatannya.
Imam Al- Hasan Al-Bashri dari Qatadah mengulas ayat ini dengan ucapan: “Demi Allah, Dia telah membeli mereka (hamba-hamba-Nya) dengan harga yang sangat mahal.”
Inilah ayat motivasi dan sekaligus hiburan senandung ria bagi mujahidin dan mujahidah yang sangat rindu bertemu dengan Allah, Tuhan yang maha Pengasih dan Penyayang.
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallaam bersabda:
إِعْلَمُوْا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ
“Ketahuilah olehmu bahawa syurga itu berada di bawah naungan pedang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ
“Sesungguhnya pintu-pintu syurga itu berada di bawah naungan pedang.” (HR. Muslim, Tirmizi, Ahmad)
إِنَّ السَّيْفَ مَحَاءُ الْخَطَايَا
“Sesungguhnya pedang itu penghapus segala dosa-dosa.” (HR. Ahmad)
Inilah dia Umair bin Haman, keluarga Bani Salamah, di saat terjadinya perang Badar, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallaam keluar memberi semangat kepada para Mujahidin dengan sabdanya, “Demi zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tiadalah seseorang yang keluar memerangi mereka hari ini lalu terbunuh dalam keadaan sabar dan mengharapkan ridha Allah, maju dan tidak mundur, melainkan Allah pasti memasukkannya ke syurga.” Lalu Umair berkata, “Bagus, bagus…”, sedang di tangannya ada beberapa bij kurma yang belum habis dimakannya. Lalu ia berkata, “Apakah antaraku dengan syurga hanya menunggu musuh membunuhku?” Kemudiaan ia segera membuang kurma yang ada di tangannya dan terus maju ke medan perang memerangi musuh sehingga ia terbunuh.
Maka siapakah di antara mukmin dan mukminat yang tidak cemburu? Dengan kepemilikan syurga yang seluas langit dan bumi? Yang dibina dari mutiara dan permata yakut setinggi 60 mil menjulang langit? Di dalam syurga itu ada 100 derajat, jarak setiap derajat antara langit dan bumi disediakan untuk para mujahidin dan mujahidah, apakah anda tidak menyambut tawaran ini?
a. Inilah dia, tokoh mujahidah, seorang orator dan juru cakap kaum wanita sahabat-sahabat Nabi, seorang perawi hadits, seorang mujahidah yang sangat berani – yang telah membunuh 9 orang tentara Romawi di dalam perang Yarmuk; Asma binti Yazid bin As-Sakan Al- Anshariyyah radliyallahu ‘anha. Dia dengan keberaniaan dan kecerdasan otak serta kefasihan lidahnya, bersama perasaan dan hati cemburunya terhadap beberapa kelebihan yang diberikan kepada kaum lelaki, telah datang menghadap kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallaam yang sedang dikelilingi oleh para sahabat beliau. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku sebagai jaminan. Aku adalah juru cakap (utusan) kaum wanita untuk menghadap kepadamu.Sesungguhnya Allah telah mengutus engkau kepada kaum lelaki dan wanita sekaliannya, lalu kami beriman kepadamu dan kepada Tuhanmu. Dan bahwasanya kami ini, adalah kaum wanita yang tidak dapat bergerak bebas, terkurung dan senantiasa berada di rumah-rumahmu untuk melayani keperluan syahwatmu dan mengandung anak-anakmu. Dan bahwasanya adalah kaum lelaki, telah dilebihkan dan dimuliakan atas diri kami dalam sholat jum’at dan jama’ah, melawat orang-orang sakit, menghantar jenazah, mengerjakan satu haji sesudah haji yang lain. Dan yang paling utama dari semua itu ialah: BERJIHAD DI JALAN ALLAH AZZAWAJALLA. Jika salah seorang di antara kamu keluar untuk pergi berhaji atau berjihad maka kamilah yang menjaga hartamu, menjahitkan pakaianmu dan memelihara serta mendidik anak-anakmu. Tidakkah kami dapat berkongsi pahala dengan kamu dalam perkara ini?” Maka Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallaam menoleh kepada para sahabatnya seraya berkata, “Pernahkah kamu mendengar pembicaraan seorang wanita yang lebih baik dan lebih pandai mengemukakan masalah-masalah dalam agamanya daripada wanita ini?” Para sahabat menjawab serentak, “Kami tidak sangka ada seorang wanita yang dapat mengemukakan permasalahan seperti ini, wahai Rasulullah!” Rasulullah sholaahu ‘alaihi wassallaam lalu menoleh kepada wanita ini seraya berkata, “Ketahuilah wahai wanita, dan beritahukanlah kepada teman-teman dari kaum wanita yang lain. Bahwasanya penjagaan seorang wanita kepada suaminya dengan melayani (menggauli)nya dengan cara sebaik-baiknya dan taat kepadanya, senantiasa melakukan segala yang disukainya dan mencari keridhaannya adalah menyamai pahala semua itu.” Segera Asma bangun untuk kembali kepada teman-temannya yang sedang menunggu, sedangkan dia amat gembira sekali akan jawaban yang diberikan oleh Rasulullah tersebut.[2]
Wahai kaum muslimah dan mujahidah!
Tahukah anda semua, apakah tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh kaum wanita di zaman Rasulullah berkenaan dengan hak dan kewajiban? Mereka menuntut bukan perkara yang menyenangkan hawa dan nafsu serta keduniaan, sebagaimana kebanyakan tuntutan wanita masa kini. Yang mereka tuntut ialah masalah ibadah, masalah tanggung-jawab di sisi Allah, supaya kemuliaan di sisi Allah tidak hanya dimonopoli oleh kaum lelaki. Dari cara penyampaian dan nada tuntutan yang diajukan dapat difahami bahwa mereka seolah-olah meminta: “Ya Rasulullah, kalau mereka boleh sholat Jum’at dan berjama’ah, boleh pergi berhaji dan berjihad, mengapa kami tidak boleh? Walhal engkau diutus bukan hanya untuk kaum lelaki saja, tetapi juga kaum wanita. Tapi mengapakah kewajiban sholat jum’at, haji, dan berjihad di jalan Allah hanya untuk kaum lelaki, sedang kami tidak? Kami juga berhak dan kami juga mampu untuk pergi berjihad di jalan Allah dan berhak meraih pahala yang disediakan di sisi Allah!”
Rasulullah begitu kagum mendengarkan hujjah-hujjah dan tuntutan-tuntutan yang telah disampaikan oleh juru cakap wanita itu, yang telah membawa segala inspirasi dan keinginan kawan-kawannya ke hadapan Rasulullah . Atas kekagumannya itu Rasulullah menoleh kepada para sahabat seraya berkata, “Pernahkah kamu mendengar ucapan seorang wanita yang lebih baik dari wanita ini?” Inilah cara yang sangat halus dan tersembunyi. Rasulullah memberi pujian serta pengajaran kepada seorang wanita yang memang layak untuk mendapat pujian dan supaya kaum lelaki yang duduk bersama Rasulullah di waktu itu dapat mengambil teladan tentang cara mendidik dan mentarbiah kaum wanita. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai wanita, ketahuilah dan beritahukanlah kepada kaum wanita yang telah mengutusmu. Bahwa ta’atnya seorang wanita, layanan baik seorang wanita kepada suaminya adalah menyamai semua pahala yang kamu inginkan itu. Untuk apakah kamu menuntut perkara yang tidak diwajibkan kepadamu yang justru akan membebani dirimu?”
Sesungguhnya Rasulullah memberi jawaban yang demikian indah dan mendalam bukan berarti kaum wanita tidak boleh melakukan perkara-perkara yang menjadi tuntutan itu, namun dibalik jawaban Rasulullah tersebut ada hikmah yang tersembunyi, yang terkadang tidak kelihatan dengan mata lahir kaum wanita. Kalau yang mengenai kewajiban yang menjadi tuntutanmu wahai wanita, sebenarnya kewajiban pokok dan utama seorang wanita yang sholehah ialah mentaati dan melayani suami dengan sebaik-baiknya, supaya mendapat keridhaannya. Justru inilah yang penting sekali dalam kehidupan sebagai seorang isteri. Jikalau kaum wanita telah menunaikan kewajiban terhadap suami dan mentaatinya, maka pahala ganjaran yang tersedia untuknya sama dengan pahala yang diperoleh dengan sholat jum’at, haji dan berjihad di jalan Allah Ta’ala. Inilah hikmah dan inilah rahasia dibalik jawaban yang tidak kelihatan oleh kaum wanita sebelum mengajukan pertanyaan tersebut.
Dari itu wahai kaum muslimah dan mujahidah, ketahuilah bahawa keselamatan dan kemuliaanmu terletak di dalam perkara yang sangat penting ini. Apakah artinya sekiranya engkau sekalian dapat melakukan aktivitas yang banyak, seperti yang dilakukan oleh kaum lelaki, tetapi tugasmu sebagai ibu anak-anak dan isteri yang bertanggung-jawab di rumah suami tidak dapat ditunaikan dengan sebaik-baiknya menurut syariat Allah Ta’ala? Janganlah karena hendak menyamai wanita-wanita modern yang kebanyakannya telah terlepas dari ikatan syari’at Islam lalu engkau mengajukan berbagai tuntutan agar mempunyai kedudukan yang sama dalam segala bidang kerja dan aktivitas kaum lelaki, sementara tugas yang pokok tidak terlaksana dengan baik.
Kembali kepada topik kecemburuan muslimah terhadap amalan jihad fi sabilillah, sebenarnya ia merupakan kecemburuan yang sangat baik dan bersifat positif supaya mereka mendapatkan gambaran yang jelas tentangnya dan supaya dapat menempatkan diri pada posisi yang betul dalam ibadah yang sangat mulia di sisi Allah Ta’ala.
b. Inilah dia Ummu Salamah radliyallahu ‘anha, salah-seorang isteri Rasulullah, seorang wanita yang mula-mula berhijrah ke Madinah dan juga Habsyah, seorang wanita pencemburu, seorang mujahidah yang berani dan banyak menyertai Rasulullah dalam beberapa kali peperangan. Dialah yang pernah berkata kepada beberapa orang wanita yang bersamanya, “Sekiranya Allah mewajibkan jihad kepada kita sebagaimana kepada kaum lelaki, sehingga kita mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapatkan.” Maka turunlah ayat yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu irihati kepada apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak daripada sebahagian yang lain.” (QS. an-Nisaa’, 4:32)
Berikut ini, kita ikuti dialog Ummu Salamah dengan Rasulullah tentang kecemburuannya terhadap amal jihad fi sabilillah:
Berkata Al-Imam Ahmad, “Kami telah diceriterakan oleh Sofyan dari Abu Najih, dari Mujaahid, bahwa Ummu Salamah berkata kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, kaum lelaki diwajibkan berperang (berjihad) sedangkan kami kaum wanita tidak, dan mengenai pembahagian harta waris kami memperoleh separuh dari bagian lelaki, maka turunlah firman Allah “Janganlah kamu iri hati terhadap pemberian yang telah dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu melebihi pemberian-Nya kepada sebagian yang lain.” (QS. an-Nisaa’, 4:32)
Dari Mujahid berkata, Ummu Salamah berkata:
“Wahai Rasulullah, kami tidak disuruh berperang (berjihad) supaya kami dapat mati syahid dan tidak dipotong bahagian pusaka. Maka turunlah ayat tersebut (an-Nisaa’, 4:32), kemudian Allah menurunkan ayat “Sesungguhnya Aku tidak menyia-yiakan amalan siapa saja yang beramal di antara kamu apakah dia lelaki atau perempuan.” (HR .Ibnu Jarir, Ibnu Mardawaih dan Al-Hakim)
Menurut Abdur Razak “Ayat ini turun sehubungan dengan ucapan para wanita yang mengatakan; “Andai katalah kita ini menjadi kaum lelaki tentulah kita dapat berjihad dan kita dapat berperang fi sabilillah Azza wajalla.”
Berkata As-Suddij mengenai ayat ini, “Bahwasanya ada beberapa orang lelaki berkata; “Kami, kaum lelaki ingin diberi pahala yang berlipat-ganda dari pahala yang diberikan kepada kaum wanita, sebagaimana kami telah diberi bahagian pusaka dua kali ganda dari bahagian wanita.” Dan kaum wanita pun berkata: “Kami kaum wanita ingin dikaruniakan pahala seperti pahala para syuhada’, karena kami tidak dapat ikut berjihad (berperang) dan andainya kami diperintahkan (diwajibkan) berjihad, tetapi Allah tidak mengkehendaki yang demikian, malahan Dia berfirman, “Dan mohonlah kamu daripada-Ku sebahagian dari karunia-Ku.”
Itulah ungkapan-ungkapan kecemburuan kaum wanita terhadap kaum lelaki atas amalan jihad dan perang sebagai satu kelebihan di atas kaum wanita. Dan Allah Ta’ala telah memberi pandangan yang adil, yang tidak menyinggung perasaan satu sama lain, bahkan dengan pandangan tersebut maka hati masing-masing menjadi lapang dan puas diantara keduanya.
Dari bahasan ini dapat ditarik ibroh bahwasanya wanita –wanita muslimah terdahulu lebih mengedepankan amal sholih dan berburu pahala kebajikan atas keseharian mereka. Ini bisa menjadi cerminan tentang bagaimana kebanyakan wanita muslimah di zaman ini yang memiliki kecenderungan untuk memfokuskan perhatiannya kepada materi yang bertujuan keduniawian semata. Turut berkompetisi dalam ajang tampuk kepemimpinan pemerintahan, sementara sebagian lain masyuk dalam ajang-ajang kepopularitasan yang mempertarungkan kecantikan, kemolekan, kesyahduan suara, dan semacamnya yang tertolak dalam syari’at Islam.
Demikian bahasan kali ini, wabillahi taufiq wal hidayah.
(ditulis oleh ustadz Abu Muhammad Jibriel AR)
maraji’:
[1] Rujuk kitab Al-Mutaqaat Lis-Syatibi II/39
2Rujuk kitab: Nisa Sholihat minat Tariekhil Islami oleh Muhyidin Abd Hamid