(Abujibriel.com)—Berikut lanjutan syubhat beserta bantahan perihal kelompok yang membolehkan agama demokrasi sebagai mashlahat dakwah untuk masuk di kabinet-kabinet kekafiran dan parlemen-parlemen syirik demi ketercapaian perjuangan Islam.
…Sebagian orang-orang dungu diantara mereka berdalih dengan keikut-sertaan Nabi dalam hilful fudhuul sebelum kenabiannya, (mereka berdalih dengan ini) untuk melegalkan keikut-sertaan dalam parlemen-parlemen tasyrii’iyyah syirkiyyah itu.
Maka kita katakan dengan pertolongan taufiq Allah:
Sesungguhnya orang yang berdalih dengan syubhat ini tidak terlepas dari keadaan-keadaan ini: Bisa jadi dia itu tidak mengetahui apakah hilful fudhuul tersebut, sehingga dia ngelantur dengan apa yang tidak dia ketahui dan berkata dalam hal yang tidak ada pengetahuan tentangnya, atau bisa jadi orang itu adalah orang yang mengetahui hakikat hilful fudhuul tersebut, terus justru dia membaurkan yang haq dengan yang batil di hadapan manusia untuk mengaburkan cahaya dengan kegelapan, serta syirik dengan Islam. Ini dikarenakan bahwa hilful fudhuul itu terjadi sebagaimana apa yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq dalam Sirahnya, Ibnu Katsir[1] dan Al Qurthubiy[2] dalam tafsirnya tatkala kabilah-kabilah Quraisy berkumpul di rumah Abdullah Ibnu Jud’aan –karena statusnya sebagai orang yang terhormat- terus mereka saling berjanji dan saling bersumpah setia bahwa mereka tidak mendapatkan orang yang dianiaya di kota Mekkah baik dari warganya atau dari warga lain melainkan mereka pasti bangkit membelanya sehingga dia kembali mendapatkan haknya, kemudian pada akhirnya orang-orang Quraisy menamakan hilf tersebut sebagai hilful fudhuul atau sumpah keutamaan.”
Ibnu Katsir berkata: Hilful fudhuul adalah hilf yang paling mulia dan paling utama yang pernah didengar di kalangan Arab, sedangkan orang yang pertama kali memiliki ide itu dan mengajak kepadanya adalah Az-Zubair Ibnu Abdil Muthalib, dan penyebabnya adalah bahwa ada seorang laki-laki dari Zubaid datang ke kota Mekkah dengan membawa barang dagangan, terus dibeli oleh Al ‘Aash Ibnu Waa’il namun dia tidak membayarnya, maka laki-laki itu mengadukan masalahnya kepada orang-orang terpandang disana, akan tetapi mereka enggan menolongnya untuk mengambil hak dari Al ‘Aash Ibnu Waa’il dan justru mereka menghardiknya. Tatkala laki-laki itu telah melihat keburukan yang makin berlipat, maka dia mendaki ke atas bukit Abu Qubais saat matahari terbit sedang orang-orang Quraisy berada di balai pertemuannya di sekitar Ka’bah, dia menyeru dengan suara yang sangat lantang:
Wahai Alu Fihr, tolonglah orang yang dizhalimi dengan barang dagangannya!
Di lembah Mekkah yang jauh dari negerinya dan para penolongnya
Dan bantulah orang yang sedang ihram yang berambut kusut lagi belum menyelesaikan umrahnya
Wahai orang-orang terpandang, dan wahai orang-orang yang ada di antara Hijr (Ismail) dan Hajar (aswad)
Sesungguhnya haraam itu bagi orang yang kemuliaannya sudah mati
Dan bukan haram bagi orang yang aniaya lagi kotor.
Maka bangkitlah Az-Zubair Ibnu Abdil Muththalib, seraya berkata: “Apakah ini boleh dibiarkan?” Maka berkumpullah Bani Hasyim, Zuhrah dan Taim Ibnu Murrah di rumah Abdullah Ibnu Jud’aan, dia menyediakan makanan bagi mereka dan kemudian saling berjanji pada bulan haram Dzulqa’dah, mereka berjanji karena Allah bahwa mereka akan satu tangan menolong orang yang dizhalimi atas orang yang zhalim hingga menunaikan hak kepada yang dia zhalimi, mereka akan tetap teguh selama laut Shuufah masih basah dan selama gunung Tsabiir dan Haraa masih terpancang. Maka orang-orang Quraisy menamakan hilf ini dengan hilful fudhuul, mereka mengatakan: Orang-orang itu telah masuk kedalam hal keutamaan, maka mereka berjalan menuju Al ‘Aash Ibnu Waa’il kemudian mengambil paksa harta laki-laki itu dan kemudian menyerahkannya kepada dia.
Qasim Ibnu Tsabit menyebutkan dalam gharibul Hadits: Bahwa seorang laki-laki dari Hats’am datang ke kota Mekkah dengan tujuan haji dan dia disertai oleh putrinya yang dipanggil Al Qatuul yang tergolong wanita tercantik pada masanya, terus wanita itu diculik darinya oleh Nabih Ibnu Al Hajjaj dan terus menyembunyikannya, maka si orang tua itu berkata: “Siapa orang yang bisa membantu saya untuk mengadili laki-laki itu?” Maka dikatakan kepadanya: “Mintalah kamu bantuan dengan hilful fudhuul,” maka dia berdiri di samping Ka’bah dan menyeru: “Wahai orang-orang hilful fudhuul tolonglah!!” Maka tiba-tiba mereka berdatangan menghampirinya dari setiap penjuru dengan menghunuskan pedang-pedangnya seraya berkata: “Telah datang kepadamu pertolongan, ada apa?”[3] Maka dia berkata: “Sesungguhnya Nabih telah menganiayaku dengan menculik puteri saya”, maka mereka berjalan bersamanya hingga sampai di pintu rumahnya, maka dia keluar menemui mereka, mereka berkata kepadanya: “Enyahlah, cepat keluarkan wanita itu! Kamu sudah mengetahui perjanjian yang kami pegang,” maka dia berkata: “Saya akan mengeluarkannya, akan tetapi izinkan saya untuk menikmatinya semalam saja,” maka mereka mengatakan: “Tidak, meskipun sesaat saja,” maka dia menyerahkan wanita itu kepada mereka.
Az-Zubair berkata tentang hilful fudhuul:
Sesungguhnya fudhuul telah bersepakat dan berjanji
Akan tidak adanya yang zhalim di lembah Mekkah
Itu adalah yang mereka sepakati dan mereka janjikan
Maka orang yang melindungi dan yang dalam kesusahan adalah selamat diantara mereka.[4]
Dalam hilf ini dan sekitar tujuan-tujuan itu, orang-orang yang berdalih dengannya menggabungkannya dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Humaidiy bahwa Rasulullah berkata: “Saya telah menyaksikan di rumah Abdullah Ibnu Jud’aan suatu hilf yang lebih saya sukai daripada unta merah (harta yang paling mahal), seandainya saya diajak kepadanya di dalam Islam tentu saya menghadirinya.”
Oleh sebab itu Al-Humaidiy menambahkan: “Mereka bersepakat untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya dan untuk tidak ada orang zhalim menganiaya yang dizhalimi.”
Kami bertanya kepada mereka disini:
- Apa wajhuddilaalah (sisi pengambilan dalil) –wahai ahli fiqh- dan istidhaal dari hilf ini dan keutamaan yang dikandungnya atas bolehnya masuk majelis yang di dalamnya dilakukan tasyrii’ (pembuatan hukum dan perundang-undangan yang padahal hak khusus Allah) sesuai dengan undang-undang Iblis, dan para penghuni majelis ini memulai majelis mereka dengan sumpah untuk menghormati hukum kafir dan undang-undangnya, dan untuk loyalitas terhadap para penyembahnya dan thaghut-thaghutnya yang selalu memerangi dienullah dan para auliyaa-Nya yang dimana para thaghut itu ber-walaa’ terhadap musuh-musuh Allah dan terhadap kekafiran-kekafiran mereka…??
- Apakah dalam hilful fudhuul itu ada kekafiran, kemusyrikan, tasyrii’ bersama Allah dan menghormati dien selain dienullah, sehingga kalian bisa berdalil dengannya..??
Bila kalian mengatakan ya ada… berarti kalian mengklaim bahwa Muhammad telah ikut serta dalam kekafiran, tasyrii’ dan telah mengikuti dien selain dienullah, serta bahwa beliau bila diajak di dalam Islam terhadap hal seperti itu tentu beliau akan memenuhinya!!! Siapa yang mengklaim ini maka berarti dia telah menjadikan manusia dan jin sebagai saksi akan kekafiran dirinya, kemurtadannya dan kezindiqannya.
Bila kalian mengatakan: Tidak ada, didalamnya tidak ada kekufuran, tasyrii’, dan bahkan tidak ada satupun kemungkaran. Semua yang ada di dalamnya adalah menolong orang yang dizhalimi, membantu orang yang dalam bencana dan keutamaan-keutamaan lainnya.
Maka bagaimana kalian menghalalkan dan membolehkan untuk mengqiyaskannya dengan majelis-majelis kekafiran, fasiq, dan maksiat.
- Kemudian kami bertanya kepada mereka dengan pertanyaan yang jelas, dan kami menginginkan dari mereka kesaksian yang terang atas Rasulullah dalam jawaban pertanyaan ini (Kesaksian mereka itu akan dicatat dan mereka akan dimintakan pertanggung jawaban)[5]
Seandainya yang ikut serta dalam hilful fudhuul ini –bagaimanapun bentuk hilf itu- tidak bisa ikut serta di dalamnya, kecuali bila bersumpah terlebih dahulu sebelum masuk di hilf itu untuk menghormati Latta, ‘Uzzaa, dan Manat, serta untuk selalu loyalitas terhadap dien Quraisy yang kafir, terhadap berhala-berhalanya dan kejahiliyahannya… kemudian untuk menolong orang yang dizhalimi, membantu orang yang dalam bencana serta yang lainnya.
Saya berkata: Bila keadaannya seperti itu apakah Nabishalallahu ‘alaihi wassalaam mau ikut serta di dalamnya, atau memenuhi undangannya bila diundang untuk sepertinya di dalam Islam ini???? Jawablah wahai para penyembah mahlahat dan anggapan-anggapan baik…!! Dan (jawablah) wahai orang-orang yang sering meramaikan perayaan-perayaan dan pameran…!!!
Bila mereka berkata: “Ya, Rasulullah akan menghadirinya dan ikut serta didalamnya… dan itu memang yang telah terjadi,” maka berarti umat telah berlepas diri dari mereka ini, dan mereka telah menjadikan seluruh makhluk sebagai saksi akan kekafiran diri mereka.
Bila mereka berkata: “Tidak, dan tidak mungkin itu terjadi dari Rasulullah…” Maka kami mengatakan: “Kalau demikian maka tinggalkanlah igauan dan celotehan-celotehan murah itu dan kalianpun mengetahui bagaimana dan dengan apa kalian berdalil itu.” (abdullahahmad)
(Diangkat dari buku Demokrasi Sejalan dengan Islam? Karya Abu Muhammad al-Maqdisiy, arrahmah media)
[1] Al Bidayah Wan Nihayah: 2/291
[2] Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 6/33, 1/169
[3] Perhatian: Seandainya kita berdalil dengan hal ini terhadap bolehnya membentuk/mengorganisir jama’ah atau front bersenjata untuk menolong orang yang dizhalimi, dan untuk inkar munkar bila tidak ada Negara Islam dan imam tidak ada, dengan dalil bahwa Nabi r telah memuji hilful fudhuul ini, padahal itu terbentuk di zaman negara kafir dan tidak ada imam… saya katakan: Seandainya kita berhujjah dengan dalil mereka ini atas masalah tersebut, tentu mereka membid’ahbid’ahkan kami dan menyerang kami, serta mengatakan ungkapan keji terhadap kami…, akan tetapi berdalil dengannya atas bolehnya sumpah untuk menghormati kemusyrikan dan untuk ikut serta dalam tasyrii’ sesuai dengan undang-undang Iblis dan untuk kemusyrikan, kesesatan, dan penyimpangan mereka lainnya tentu itu adalah hal yang boleh-boleh saja menurut akal-akal mereka yang sudah keropos. Enyahlah dan enyahlah mereka itu…
[4] Dari kitab Al Bidayah wan Nihayah karya Al Hafizh Ibnu Katsir.
[5] Az-Zukhruf: 19