(Abujibriel.com)–Ya ayyuhal ikhwah, kali ini kita akan melanjuti bahasan syubhat tentang sekelompok orang (muslim) yang melegalkan agama demokrasi dengan syubhat yang diambil dari firman Allah Ta’ala berikut tentang kaum mukminin muwahhidiin:
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (QS. asy-Syuraa[42]: 38)
Dan firman-Nya kepada Nabi-Nya:
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali-Imran[3]: 159)
Mereka menamakan demokrasi yang busuk itu dengan syuraa (musyawarah) demi memberikan ‘baju’ agama lagi syar’ii bagi paham kafir ini, dan kemudian setelah itu mereka melegalkan dan membolehkannya.
Maka kita katakan dengan taufiq Allah Ta’ala:
Pertama
Sesungguhnya perubahan nama itu tidak ada artinya selama isi dan hakikatnya adalah itu-itu juga. Sebagian jama’ah dakwah yang berjalan diatas paham kafir ini dan yang menjadikannya sebagai pegangan[1] mengatakan: (Kami memaksudkan dengan demokrasi itu saat kami menyerukannya, menuntut dengannya, mensponsorinya, dan berusaha untuk mencapai ke arahnya dan dengannya adalah kebebasan berkata dan dakwah),[2] dan kicauan-kicauan lainnya.
Maka kita katakan kepada mereka: Yang penting itu bukanlah yang kalian maksudkan, dan yang kalian klaim dan kalian duga, akan tetapi yang penting adalah apakah demokrasi yang diterapkan oleh thaghut itu, yang dia serukan kepada kalian untuk masuk ke dalamnya, pemilu-pemilu pun dilangsungkan dalam rangka itu, seperti tasyrii’ dan hukum yang kalian akan ikut serta didalamnya sesuai dengan cara demokrasi? Bila kalian menertawakan manusia dan menipu mereka, maka kalian tidak akan mampu melakukannya terhadap Allah:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (QS. an-Nisaa’[4]: 142)
Juga firman-Nya:
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar.” (QS. al-Baqarah[2]: 9)
Jadi merubah nama sesutu itu tidaklah merubah hukum-hukumnya, tidak menghalalkan yang haram dan tidak bisa mengharamkan yang halal… Nabishalallahu ‘alaihi wassallaam bersabda: “Akan ada sekelompok dari umatku yang menghalalkan khamr dengan cara mengubah nama yang mereka berikan kepadanya.”[3]
Begitulah para ulama telah mengkafirkan orang yang mencela tauhid, atau memeranginya sedang yang mencela dan memeranginya itu menamakan tauhid itu sebagai paham Khawarij atau Takfiriy… Para ulama juga mengkafirkan orang yang memperindah syirik dan membolehkannya, atau melakukannya sambil menamakannya dengan selain namanya.[4] Sebagaimana yang dilakukan mereka itu, mereka menamakan paham kafir dan syirik (demokrasi) dengan nama syuraa dengan tujuan melegalkannya, memperbolehkannya, serta mengajak manusia untuk masuk ke dalamnya… sungguh binasalah mereka itu.[5]
Kedua
Sesungguhnya pengqiyasan demokrasi kaum musyrikin terhadap syuraa kaum muwahhidin, menyamakan (tasybiih) majlis syuraa dengan majelis kekafiran, kefasikan, dan maksiat adalah penyamaan yang gugur dan qiyas yang batil lagi luluh lantak rukun-rukunnya, karena engkau telah mengetahui bahwa majelis rakyat, atau dewan perwakilan rakyat, atau parlemen adalah sarang dari sekian sarang paganisme dan bangunan dari bangunan-bangunan syirik, yang di dalamnya dipasang tuhan-tuhan para demokrat, arbaab mereka yang beranekaragam, serta sekutu-sekutu mereka yang membuatkan bagi mereka undang-undang dari ajaran yang tidak diizinkan AllahTa’ala sesuai dan selaras dengan undang-undang dasar dan falsafah yang digali dari bumi.[6] Allah berfirman:
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf, 12:39-40)
Dan firman-Nya:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. asy-Syuura[42]: 21)
Qiyas ini tak ubahnya bagaikan mengqiyaskan syirik terhadap tauhid (dan) kekafiran terhadap keimanan, ini tergolong berbicara atas nama Allah tanpa dasar ilmu, mengada-ada atas agama ini, berdusta atas nama Allah, ngawur dan ilhaad dalam ayat-ayat Allah I, serta bentuk pengaburan yang haq dengan yang batil terhadap manusia, dan pengaburan cahaya dengan kegelapan.
Bila ini telah jelas, maka orang muslim hendaklah mengetahui bahwa perbedaan yang jelas antara syuraa yang telah syari’atkan Allah bagi hamba-hamba-Nya dengan demokrasi yang busuk adalah seperti perbedaan antara langit dengan bumi, bahkan perbedaan itu dalam statusnya adalah layaknya perbedaan antara Al Khaliq dengan makhluk.
- Syuraa adalah aturan dan manhaj rabbaniy, sedangkan demokrasi adalah hasil karya manusia yang serba kekurangan yang selalu diombang-ambing oleh hawa nafsu dan emosi.
- Syuraa adalah bagian dari syari’at Allah I, dien-Nya dan hukum-Nya, sedangkan demokrasi adalah kekafiran terhadap syari’at Allah, dan dien-Nya, serta penentangan terhadap hukum-Nya.
- Syuraa dilakukan dalam masalah yang tidak ada nash di dalamnya, adapun dalam masalah yang sudah ada nashnya maka tidak ada syuraa di sini, Allah I berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Ahzab[33]: 36)
Adapun demokrasi maka itu adalah peremehan dan permainan dalam setiap masalah. Dalam demokrasi nash-nash syari’at dan hukum-hukum Allah tidak dianggap, akan tetapi yang dianggap dan dijadikan acuan satu-satunya di dalam demokrasi ini adalah hukum rakyat dan kedaulatannya dalam setiap permasalahan.[7] Oleh sebab itu mereka mendefinisikan demokrasi itu dalam undang-undang mereka dengan ungkapan: “Rakyat adalah sumber segala kedaulatan.”
- Demokrasi menganggap bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, sehingga demokrasi adalah hukum mayoritas rakyat, tasyrii’ suara terbanyak, dan paham/ agama suara mayoritas. Mayoritas adalah yang membolehkan dan mayoritas pula yang mengharamkan. Mayoritas adalah tuhan dan sembahan dalam ajaran demokrasi.
Adapun dalam syuraa, maka keberadaan rakyat atau mayoritas mereka itulah yang diharuskan dan diperintahkan untuk selalu taat kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kemudian kepada pemimpin kaum muslimin. Pemimpin tidak bisa memaksakan suara dan hukum terbanyak, bahkan justeru mayoritas itulah yang diperintahkan untuk selalu mendengar dan taat kepada para pemimpin (kaum muslimin) meskipun mereka dzalim selama tidak memerintahkan kepada maksiat.[8]…[9]
- Aturan main dalam demokrasi, dan tuhannya adalah suara mayoritas, dan mayoritas inilah sumber segala kedaulatan. Adapun syuraa maka mayoritas itu tidak ada pengaruhnya sedikitpun dan bukanlah sebagai tolak ukur, dan justru Allah telah memvonis “mayoritas” dengan vonis yang jelas dalam Kitab-Nya:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. al-An’am[6]: 116)
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya-.” (QS. Yusuf[12]: 103
“Dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya.” (QS. ar-Ruum[30]: 8)
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam Keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf[12]: 106)
“Akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. al-Baqarah[2]: 243)
“Akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (QS. al-Mu’min[40]: 59)
“Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf[12]: 21)
“Tetapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (Nya).” (QS. al-Israa[17]: 89)
Ini adalah firman-firman Allah, adapun dari sabda Rasulullah, “Hanya saja manusia pilihan itu adalah bagaikan unta yang berjumlah seratus, hampir kamu tidak mendapatkan di dalamnya unta yang layak pakai untuk tunggangan.” Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dan di dalam hadits Al Bukhari juga dari Abu Sa’id Al Khudriy dari Nabi r, beliau berkata: Allah I berfirman: “Hai Adam… keluarkan utusan neraka! Maka dia berkata: Apa utusan neraka itu? Dia berfiman: “Dari setiap seribu ada sembilan ratus sembilan puluh sembilan,” maka saat itulah anak kecil beruban, setiap wanita hamil melahirkan anaknya, engkau melihat orang-orang bagaikan yang mabuk, padahal mereka tidak mabuk, akan tetapi ‘adzab Allah-lah yang sangat dahsyat.”
Inilah syari’at Allah dan hukum-Nya menjelaskan kesesatan mayoritas dan penyimpangan mereka, oleh karena itu Allah menetapkan hukum-Nya, Dia berfirman:
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.” (QS. Yusuf[12]: 40)
Akan tetapi demokrasi menolak ini, dan para penyerunya juga menolak tunduk kepada hukum Allah dan syari’at-Nya, mereka terus ngotot, serta mengatakan: “Keputusan itu tidak lain adalah bagi mayoritas”. Maka binasalah dan enyahlah orang yang mengikuti mereka, berjalan di atas rel mereka, dan membisikkan kedemokratan mereka, meskipun jenggot dia panjang, atau kainnya tidak isbal (celananya setengah betis), siapa saja orangnya… Kami katakan ini kepada mereka di dunia, mudah-mudahan mereka itu mau kembali dan sadar. Ini lebih baik bagi mereka daripada mereka nanti mendengarnya di tempat yang sangat agung, saat manusia berdiri menghadap Allah Rabbul ‘aalamiin, dimana mereka menuju telaga Rasulullah, akan tetapi mereka dihalangi oleh para Malaikat, dan dikatakan kepada mereka: Sesungguhnya mereka telah mengganti dan merubah,” Maka Nabi berkata: “Enyahlah, enyahlah bagi orang yang merubah setelahku,”[10]
Demikianlah demokrasi! Secara asal-usul dan makna, ia lahir di lahan kekafiran dan ilhaad, tumbuh berkembang di ladang-ladang kemusyrikan dan kerusakan di Eropa, di mana mereka memisahkan agama dari kehidupan, sehingga tumbuhlah lafzh itu dalam suasana-suasana yang membawa setiap racun dan kerusakannya, yang akar-akarnya itu (jelas,ed.) tidak ada hubungan sama sekali dengan lahan keimanan atau siraman ‘aqidah dan ihsan. Paham ini tidak bisa menampakkan eksistensinya di dunia barat, kecuali setelah berhasil memisahkan agama dari Negara di sana, paham ini memperbolehkan bagi mereka liwath, zina, khamr, percampuran keturunan dan perbuatan-perbuatan keji lainnya baik yang nampak atau terselubung… oleh sebab itu tidak ada orang yang membela demokrasi, atau memujinya, dan menyamakannya dengan syuraa, kecuali dua macam orang yang tidak ada ketiganya, bisa jadi dia itu orang demokrat kafir, atau orang yang dungu lagi jahil terhadap makna dan isi dari demokrasi itu.
Sekarang adalah zaman dimana istilah-istilah telah bercampur-aduk (dan) hal-hal yang kontradiktif telah berkumpul. Tidaklah aneh kalau paham-paham kafir ini didengung-dengungkan oleh sekian banyak wali-wali setan, akan tetapi yang paling aneh adalah bila yang mendengungkannya, membolehkannya, dan memberikan baju syar’iinya adalah orang-orang yang mengaku Islam. Dahulu saat orang-orang terpukau dengan paham sosialis muncullah sebagian orang dengan membawa istilah baru, yaitu Sosialisme Islam, dan sebelumnya ada istilah Nasionalisme, ‘uruubah (arabisme) dan mereka menggandengnya dengan nama Islam.[11] Pada masa sekarang, banyak orang mendengungkan undang-undang buatan manusia dan mereka tidak malu-malunya menamakan para hamba-hamba undang-undang (para pakar hukum dan perundang-undangan) dengan nama fuqahaa al-qanuun bentuk penyerupaan dengan fuqahaa syari’ah, serta mereka pula menggunakan nama-nama syar’ii yang sama, seperti musyarii’, syari’ah, halal, haram, jaaiz, mubaah, mahdhur, terus setalah itu mereka mengira bahwa mereka itu masih berada dalam agama Islam, bahkan mengira bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, fa laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adzim. Ini terjadi demi Allah tidak lain karena hilangnya ilmu dan ‘ulama, serta penyandaran urusan bukan kepada ahlinya, juga leluasanya suasana dan zaman bagi orang-orang hina untuk berbuat sesuka hati mereka.
Sungguh sangat disayangkan ilmu dan ulama, kasihan agama dan para du’atnya yang tulus lagi setia. Demi Allah, ini adalah keterasingan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, saya tidak mengatakan (keterasingan itu) di tengah-tengah orang-orang awam, bahkan justeru diantara banyak orang-orang yang mengaku Islam dari kalangan yang tidak memahami makna laa ilaaha Illallaah, mereka tidak memahami lawaazim, konsekuensi, dan syarat-syaratnya, bahkan mayoritas mereka merobeknya siang dan malam, mereka mengotori diri mereka dengan syirik modern dan jalan-jalan penghubungnya, kemudian setelah itu mereka mengira bahwa dirinya itu adalah muwahhiduun bahkan mengira bahwa mereka itu adalah bagian dari para du’aat tauhid. Hendaklah mereka menilai dirinya sendiri, dan duduklah di halaqah-halaqah ilmu untuk belajar hakikat Laa ilaaha Illallaah, karena sesungguhnya Laa Ilaaha Illallaah adalah kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam untuk mempelajarinya, hendaklah mereka mempelajari syarat-syarat dan pembatal-pembatalnya sebelum mereka mempelajari pembatal-pembatal wudhu dan shalat, sebab wudhu dan shalat tidak sah bagi orang yang melakukan pembatal Laa ilaaha Illallaah. Dan bila mereka ternyata malah berpaling dan merasa bangga diri, maka merekalah sendiri yang akan menanggung kerugiannya.
Saya akhiri ucapan saya ini dengan ungkapan yang sangat berharga yang muncul dari Al ‘Allamah Ahmad Syakir rahimahullah saat membantah orang-orang yang melontarkan syubhat yang memalingkan firman Allah dan berbicara dusta atas Nama Allah dengan cara menjadikan firman-Nya: “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan cara musyawarah antara mereka,” (QS. asy-Syuraa[42]: 38) sebagai dalil untuk membela dan menerapkan demokrasi yang kafir itu, beliau berkata dalam cataan kaki ‘Umdatuttafsir 3/64-65 saat menjelaskan firman-Nya:
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran[3]: 159)
Dan firman-Nya:
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.” (Q.S asy-Syuraa[42]: 38)
Beliau berkata: Orang-orang yang mempermainkan agama pada masa sekarang –dari kalangan ulama dan yang lainnya- telah menjadikan dua ayat ini sebagai senjata mereka dalam penyesatan dengan cara menta’wil untuk menyetujui perbuatan (orang) barat dalam aturan undang-undang mereka, yang mereka namakan aturan demokrasi dalam rangka menipu manusia, kemudian mereka orang-orang yang mempermainkan agama itu menjadikan syi’ar dari dua ayat ini dalam rangka menipu masyarakat Islam atau masyarakat yang mengaku Islam. Mereka mengungkapkan ucapan haq yang mereka maksudkan kebatilan dengannya, dimana mereka mengatakan: “Islam itu memerintahkan syuraa” dan kata-kata seperti itu.
Ya benar, sesungguhnya Islam itu memerintahkan syuraa, akan tetapi syuraa macam apa yang diperintahkan Islam itu? Sesungguhnya Allah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran[3]: 159)
Makna ayat ini sangat jelas lagi terang, tidak membutuhkan tafsir dan tidak mengundang kemungkinan ta’wil. Itu adalah perintah kepada Rasulullah kemudian kepada pemimpin sesudahnya: Untuk meminta pendapat-pendapat para sahabatnya yang beliau anggap layak diambil pendapatnya, yang dimana mereka itu adalah orang yang matang pengetahuan dan pemikirannya, dalam masalah-masalah yang masih menerima pendapat-pendapat dan ijtihad dalam penerapannya, kemudian dia memilih dari pendapat-pendapat itu pendapat yang dianggapnya sebagai kebenaran atau mashlahat, terus ber-’azam untuk merealisasikannya tanpa terikat dengan pendapat kelompok tertentu, jumlah tertentu, pendapat mayoritas, atau pendapat minoritas. Bila telah ber’azam maka tawakkallah kepada Allah, dan laksanakan ‘azam itu sesuai dengan yang telah dipilih benar.
Termasuk hal yang sudah dipahami secara naluri yang tidak membutuhkan dalil: Adalah sesungguhnya orang-orang yang Rasulullah diperintahkan untuk bermusyawarah dengan mereka –dan orang sesudah beliau mencontohkannya- adalah laki-laki yang shalih yang berpegang di atas batasan-batasan Allah, bertaqwa kepada Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat (dan) berjihad di jalan Allah yang disabdakan oleh beliau: “Hendaklah mengiringi saya diantara kalian orang-orang yang matang pemikirannya lagi berpengetahuan,” bukan orang-orang mulhiduun, bukan orang-orang yang memerangi agama Allah, bukan orang-orang ahli maksiat yang tidak malu melakukan yang munkar, bukan orang-orang yang memerangi agama Allah, bukan orang-orang ahli maksiat yang tidak malu melakukan yang munkar, bukan orang-orang yang mengklaim bahwa mereka memiliki wewenang membuat hukum-hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan agama Allah dan menghancurkan syari’at Islam. Mereka dan orang-orang itu -yaitu orang kafir dan orang fasiq- tempat sebenarnya yang layak bagi mereka adalah di bawah tebasan pedang dan cemeti, bukan (menjadi) tempat menyandarkan pandangan dan pendapat.
Dan ayat lain –ayat dalam surat Asy-Syuraa- adalah seperti ayat ini, jelas, terang lagi tegas:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. asy-Syuraa[42]: 38)
Demikian bahasan syubhat perihal labelisasi demokrasi dengan nama syuraa demi melegalkannya beserta bantahannya kali ini, mudah-mudahan bermanfa’at. Wallahu a’lam bisshowwab… (abdullahahmad)
(Diangkat dari buku Demokrasi Sejalan dengan Islam? Karya Abu Muhammad al-Maqdisiy, arrahmah media)
[1] Seperti banyaknya jama’ah-jama’ah yang membentuk partai –yang katanya partai Islam- demi dapat masuk ke dalam parlemen dan majelis yang syirik. Jama’ah-jama’ah yang seperti itu sudah tidak menjadi musuh Amerika dan sekutunya lagi dan tidak menjadi musuh bagi thaghut-thaghut di negaranya, karena sudah larut dalam sistem thaghut yang diinginkan oleh para thaghut dan Hubal masa sekarang (Amerika). Pent.
[2] Meskipun kebebasan berkata atau dakwah sebagaimana yang diinginkan oleh demokrasi, maka itu adalah kebebasan yang batil lagi kafir, karena saat para pengusung paham demokrasi menyerukan ‘kebebasan berkata’ dalam paham mereka ini, mereka tidak memaksudkan kebebasan para thaghut, orang-orang kafir, orang-orang mulhid, dan orang-orang musyrik untuk menampakkan kekafiran dan kerusakannya, juga kebebasan keyakinan, kebebasan murtad, dan kebebasan mencela segala hal yang disucikan. Dan kekafiran macam ini bisa jadi diterapkan dalam demokrasi barat. Adapun demokrasi Arab (dan Negara-negara berkembang lainnya yang berpenduduk mayoritas muslim, pent) maka di dalamnya adalah kebebasan segala kekufuran, ilhaad, zandaqah, adapun Islam maka di Negara-negara itu dirantai, dipenjara, dan terusir.
Harapan tertinggi para penyeru (du’aat) itu adalah merealisasikan dan menyampaikan manusia kepada demokrasi barat yang kafir, sedangkan kekafiran adalah satu agama dan ini bertingkat-tingkat ke bawah. Perhatikanlah..
[3] HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Ubadah Ibnu Ash Shaamit radhiyallahu ‘anhu, hadits nomor 2704
[4] Rujuklah Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An Najdiyyah 1/145
[5] Inilah yang dilakukan oleh ulama kaum musyrikin yang banyak diantara mereka itu bergelar Doktor atau Syaikh, atau Ustadz,atau mereka itu dosen di Universitas-universitas Islam. Pent.
[6] Inilah yang dilakukan oleh ulama kaum musyrikin yang banyak diantara mereka itu bergelar Doktor atau Syaikh, atau Ustadz, atau mereka itu dosen di Universitas-universitas Islam. Pent
[7] Ini dalam demokrasi barat yang kafir adapun dalam demokrasi arab yang kafir (dan Negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, pent) maka yang dijadikan acuan paling pertama dan paling akhir adalah raja, emir, atau presiden, karena tanpa pengesahannya, maka peraturan rakyat atau para wakilnya dan majelis perwakilan itu tidak ada nilainya. Semua itu ada di tangan penguasa tertinggi, dia berhak membubarkan, mengesahkan, dan mempermainkannya sesuka hati.
[8] Ingatlah… ini bagi para pemimpin muslim yang menetapkan hukum dengan syari’at Allah yang memusuhi musuh-musuh Allah, bukan bagi makhluk-makhluk terhina dari kalangan penguasa-penguasa yang kafir lagi murtad sahabat karib dan teman Yahudi dan Nashrani…
[9] Adapun penguasa yang meninggalkan syari’at Allah dan justru menjadikan undang-undang buatan manusia sebagai acuan dan landasan, maka tidak diragukan lagi kekafiran dan kemurtadan mereka, kecuali bagi orang-orang yang bashirahnya sudah tertutup yang tidak bisa melihat, kecuali di tengah gelapnya syubhat layaknya kelelawar yang hanya bisa melihat di malam hari dan tidak bisa melihat di siang bolong, mereka itulah para pengikut syubhat irjaa. Syaikh Muhammad Al Amin Asysyinqithiy rahimahullah berkata:
أَنَّ الَّذِيْنَ يَتْبِعُوْنَ الْقَوَانِيْنَ الْوَضْعِيَّةَ الَّتِيْ شَرَعَهَا الشَّيْطَانُ عَلَى أَلْسِنَةِ أَوْلِيَائِهِ مُخَالِفَةً لِمَا شَرَعَهَا اللهُ جَلَّ وَعَلَى أَلِسِنَةِ رُسُلِهِ ـ صَلَوَاتُ اللهِ وَ سَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ ـ أَنَّهُ لاَ يَشُكُّ فِيْ كُفْرِهِمْ وَشَرْكِهِمْ إِلاَّ مَنْ طَمَسَ اللهُ بَصِيْرَتَهُ وَ أَعْمَاهُ عَنْ نُوْرِ الْوَحْيِ مِثْلَهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawaaniin wadh’iyyah (undang-undang buatan) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan-lisan wali-walinya yang bertentangan dengan apa yang telah disyari’atkan Allah U lewat lisan-lisan para Rasul-Nya –semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka-, sesungguhnya tidak ada yang meragukan akan kekafiran dan kemusyrikan mereka, kecuali orang yang bashirahnya telah dihapus oleh Allah dan dia itu dibutakan dari cahaya wahyu-Nya seperti mereka.”
Dan beliau mengatakan juga: Bahwa setiap orang yang mengikuti peraturan, hukum, atau undang-undang yang bertentangan dengan apa yang disyari’atkan Allah atas lisan Rasul-Nya r, maka ia musyrik (menyekutukan) Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai tuhan.” Pent.
[10] Enyahlah diulang dua kali untuk menguatkan, ini diriwayatkan oleh Muslim 2291, dan Al Bukhari dengan lafazh yang hampir sama nomor 6212
[11] Ini artinya Islam syirik. Muncul penyebutan: Muslim demokrat, muslim sosialis, muslim nasionalis, yang semua itu berarti muslim musyrik dan tentu ini tidak ada, yang ada adalah musyrik, karena tauhid dan syirik tidak bisa bersatu pada diri seseorang pada satu waktu, sehingga bila Islam disertai syirik akbar maka yang muncul adalah musyrik, Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad berkata dalam Syarah Ashli Dienil Islam: Sesungguhnya orang yang melakukan syirik, maka berarti dia telah meninggalkan tauhid, karena keduanya adalah dua hal yang kontradiktif yang tidak bisa bersatu,” Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad-Durar As-Saniyyah 1/113: Bila amalan kamu semuanya karena Allah maka kamu adalah muwahhid, dan bila ada salah satunya dipalingkan kepada makhluk, maka kamu adalah musyrik,.” Pent.