Bantahan syubhat yang membolehkan agama demokrasi (bag.2)

Yaa ayyuhal ikhwani wa akhowatifillahi, pada bahasan pertama telah kami angkat bantahan atas syubhat yang sering dilontarkan sebagian kelompok perihal nabi Yusuf ‘alaihissalaam yang pernah menjabat sebagai menteri di sisi raja kafir yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan sebagai hujjah keikut-sertaan dalam pemerintahan kafir, bahkan boleh masuk menjadi anggota dalam parlemen dan majelis permusyawaratan/ perwakilan rakyat dan yang sejenisnya.

Maka pada bahasan kedua ini, kami angkat syubhat yang juga senantiasa dijadikan dalil oleh sebagian kelompok beserta bantahannya, yaitu ketika ahlul ahwa berhujjah dengan kisah Najasyi dalam rangka melegalkan thaghut-thaghut mereka yang membuat hukum dan perundang-undangan, baik mereka itu sebagai penguasa, para wakil rakyat di parlemen atau yang lainnya. Mereka mengatakan: Sesungguhnya Najasyi tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan setelah dia masuk Islam hingga meninggal dunia, namun demikian Nabi menamakannya sebagai hamba yang shalih, beliau menshalatkan (ghaib) untuknya dan memerintahkan para sahabat untuk menshalatkannya.

Maka kita katakan dengan taufiq Allah Ta’ala:

Pertama

Orang yang berdalih dengan syubhat rendahan ini, sebelum apa-apa dia harus menetapkan bagi kami dengan nash yang shahih lagi sharih qath’iyy dilalahnya bahwa Najasyi itu tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan setelah keislamannya. Sungguh saya sudah mengamati ucapan mereka (para penebar syubhat) dari awal sampai akhir, ternyata saya tidak mendapatkan di kantong mereka itu kecuali sekedar istinbath dan klaim-klaim yang kosong lagi kering dari bukti yang benar dan dalil shahih yang menguatkannya, sedangkan Allah telah mengatakan: “Katakanlah: Tunjukilah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar,” (QS. al-Baqarah[2]: 111). Bila ternyata mereka tidak mampu membawa bukti kuat atas klaim itu, maka mereka itu bukanlah tergolong orang-orang yang jujur, akan tetapi mereka itu tergolong orang-orang yang dusta.

Kedua

Sesungguhnya termasuk sesuatu yang sudah diterima antara kami dengan musuh-musuh kami adalah bahwa Najasyi itu telah meninggal dunia sebelum sempurnanya tasyrii’, jadi beliau secara pasti meninggal sebelum turunnya firman Allah:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maaidah[5]: 3)

Sebab ayat ini diturunkan pada haji wadaa’, sedangkan Najasyi meninggal dunia jauh sebelum penaklukan kota Mekkah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dan yang lainnya.[1]

Bagi dia berhukum dengan apa yang diturunkan Allah saat itu adalah menghukumi, mengikuti dan mengamalkan ajaran agama yang telah sampa kepadanya, karena nadzarah (peringatan) dalam masalah seperti ini harus berbentuk bulughul Qur’an (sampainya wahyu Al-Qur’an kepadanya), Allah berfirman:

“Dan AlQuran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (QS. al-An’am[6]: 19)

Sarana-sarana perhubungan dan informasi saat itu keadaannya tidak seperti zaman sekarang, dimana saat itu sebagian hukum syari’at tidak bisa sampai kepada seseorang, kecuali setelah bertahun-tahun dan bisa jadi dia tidak mengetahuinya kecuali bila memaksakan diri datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalaam. Agama ini saat itu masih baru, Al-Qur’an masih terus turun, dan tasyrii’ masih belum sempurna. Ini dibuktikan dengan kuat oleh apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan yang lainnya dari Abdullah Ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata, “Kami dahulu mengucapkan salam kepada Nabi di dalam sholat maka beliau terus menjawabnya dan tatkala kami pulang dari negeri Najasyi, kami mengucapkan salam kepada beliau, namun beliau tidak menjawab salam kami, dan justru setelah itu beliau berkata: “Sesungguhnya di dalam shalat itu terdapat kesibukan.” Jika (ternyata) para sahabat yang dahulu pernah berada di Ethiopia –negeri Najasyi- sedang mereka itu mengerti bahasa arab dan memantau berita tentang Nabi, belum sampai kepada mereka berita dinaskhnya berbicara dan salam di dalam shalat padahal shalat itu urusannya adalah nampak, sebab Nabi melaksanakan shalat bersama para sahabatnya sebanyak lima kali sehari semalam… maka apa gerangan dengan ibadah-ibadah yang lin, tasyrii’-tasyrii’, dan huduud yang tidak beruang-ulang seperti diulang-ulangnya shalat??.

Maka apakah ada seorang dari kalangan yang berpaham syirik demokrasi pada masa sekarang dia mampu mengklaim bahwa Al-Qur’an, Islam, atau agama ini belum sampai kepada dia sehingga dia bisa mengqiyaskan kebatilannya dengan keadaan Najasyi sebelum sempurnanya tasyrii’???.

Ketiga

Bila hal ini telah ditetapkan lagi pasti, maka wajib diketahui bahwa sesungguhnya Najasyi telah menghukumi dengan apa yang Allah turunkan (sesuai dengan) apa yang (telah sampai kepada dia, dan siapa yang mengklaim selain ini, maka tidak boleh dipercayai dan diterima perkatannya, kecuali dengan bukti yang terang, “Katakanlah: Tunjukilah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar,” (QS. al-Baqarah[2]: 111)

Semua yang disebutkan oleh orang-orang yang mengisahkan tentang Najasyi menunjukkan bahwa dia menghukumi dengan apa yang sampai kepadanya dari apa yang Allah turunkan saat itu…

  1. Diantara yang menjadi kewajiban dia saat itu berupa mengikuti apa yang diturunkan Allah adalah: (Merealisasikan tauhid, iman kepada kenabian Muhammad dan iman bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah)… dan dia sudah melakukannya. Lihatlah hal itu dalam dalil-dalil yang digunakan orang-orang (untuk kepentingannya)… surat Najasyi yang dikirimkan kepada Nabi… Surat itu disebutkan oleh Umar Sulaiman Al Asyqar dalam buku kecilnya (kutaib) yang berjudul Hukmul musyarakah fil wizaarah wal majaalis anniyabiyyah.[2]
  2. Begitu juga bai’at Najasyi terhadap Nabi dan untuk hijrah, dalam suratnya itu Najasyi menyebutkan: (Sesungguhnya dia telah membai’at Rasulullah, dan anaknya yang bernama Ja’far dan teman-temannya telah membai’at pula serta masuk Islam di tangannya lillahi rabbil’aalamiin, dan di dalam suratnya itu dia menegaskan bahwa ia mengirim anaknya Arihaa Ibnu Ashhum Ibnu Abjur kepada Nabi, dan ucapannya: “Bila engkau berkehendak saya datang kepadamu, tentu saya melakukannya wahai Rasulullah, karena sesungguhnya saya bersaksi bahwa apa yang engkau katakan adalah benar).” Maka mungkin saja dia meninggal dunia setelah itu langsung, atau mungkin saja Nabi tidak menginginkan hal tersebut saat itu… semua ini tidak begitu jelas dan tidak ditegaskan dalam kisah itu, sehingga tidak halal memastikan sesuatupun darinya dan tidak halal berdalil dengannya, apalagi kalau dijadikan senjata untuk melawan tauhid dan ashluddien.
  3. Begitu juga pertolongannya terhadap Nabi, agamanya, dan para pengikutnya. Najasyi telah menolong kaum muhajirin yang datang kepadanya, dia memberikan jaminan keamanan dan perlindungan, dia tidak mengecewakan mereka dan tidak menyerahkan mereka kepada orang-orang Quraisy, dia juga tidak membiarkan orang-orang Nashrani Habasyah mengganggu mereka, padahal para muhajirin itu telah menampakkan keyakinan mereka yang benar tentang Isa. Bahkan terdapat dalam risalah lain yang dia kirimkan kepada Nabi (yang dituturkan oleh Umar Al Asyqar dalam kutaibnya itu hal 73) bahwa dia mengirimkan anaknya yang disertai enam puluh laki-laki dari penduduk Habasyah kepada Nabi. Semua ini dilakukan sebagai bentuk dukungan, ittibaa’, serta bantuan.   

Meskipun ini sangat jelas, namun Umar Al Asyqar telah ngawur dalam kutaibnya itu (hal: 73) dengan seenaknya dia memastikan bahwa Najasyi tidak berhukum dengan syari’at Allah. Sebagaimana yang engkau ketahui, ini adalah dusta dan mengada-ada atas nama Najasyi yang muwahhid, akan tetapi yang benar adalah bahwa dia menghukumi dengan apa yang Allah turunkan yang telah sampai kepadanya saat itu. Siapa saja yang mengatakan selain ini, maka janganlah dipercayai, kecuali dengan dalil yang shahih lagi qath’ii dilalahnya, dan kalau tidak, maka dia itu adalah tergolong orang-orang yang dusta, “Katakanlah: Tunjukilah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (QS. al-Baqarah[2]: 111). Sedangkan Umar Al Asyqar ini tidak mendatangkan dalil yang shahih lagi sharih atas klaimnya itu, akan tetapi dia mengais-ngais dan meraba-raba dari kitab-kitab tarikh (sejarah) hal-hal yang dia duga sebagai dalil (layaknya orang yang mencari kayu bakar di malam hari), sedangkan sejarah itu keadaannya telah diketahui…

Al Qahthaniy Al Andalusiy berkata dalam syairnya:

Janganlah engkau menerima dari sejarah ini

Segala yang dikumpulkan dan ditulis oleh para perawinya

Riwayatkan hadits yang terpilih dari ahlinya

Apalagi orang yang pandai dan berpengalaman

Maka dikatakan kepada Umar Al Asyqar dan para pengikutnya: Tetapkan arasy terlebih dahulu, baru kemudian diskusikan.

Keempat

Sesungguhnya gambaran dalam kisah Najasyi adalah bagi seorang penguasa yang asalnya kafir dan baru masuk Islam di atas jabatannya, terus dia menampakkan kejujuran Islamnya dengan cara istislaam secara sempurna kepada perintah Nabi dengan cara mengutus anaknya yang disertai rombongan kaumnya, dia mengutus mereka kepada Nabi untuk meminta izin hijrah kepadanya, dan menampakkan nushrahnya, dan nushrah akan agama dan para pemeluknya, bahkan menampakkan baraa’ah dari segala yang menyalahi agama barunya ini berupa keyakinan dia, keyakinan kaumnya dan nenek moyangnya. Dia berusaha mencari kebenaran dan mempelajari agama ini, serta berusaha semaksimal mungkin untuk bertemu Allah di atas keadaan ini, dan ini terjadi sebelum sempurnanya tasyrii’ dan sebelum sampai kepadanya secara sempurna. Ini adalah gambaran sebenarnya yang ada dalam hadits-hadits, atsar-atsar yang shahih lagi tsabit tentangnya. Kami menantang orang yang berseberangan dengan kami agar mereka menetapkan selain hal ini… akan tetapi dengan dalil yang sharih lagi shahih, dan adapun sejarah-sejarah maka ini tidak bisa memuaskan dan mengenyangkan dari rasa lapar dengan sendirinya tanpa adanya sanad.

Adapun gambaran yang hendak didalili dan hendak diqiyaskan, maka ini adalah gambaran yang buruk lagi berbeda jauh sekali, karena ini adalah gambaran sekawanan gerombolan orang-orang yang mengaku beragama Islam tanpa berlepas diri dari hal-hal yang membatalkan keislamannya, dan justru mereka itu dalam waktu yang bersamaan berintisab kepada Islam dan kepada hal-hal yang membatalkannya, serta mereka merasa bangga dengannya. Mereka berlepas diri dari paham demokrasi seperti halnya Najasyi berlepas diri dari nashrani, ya mereka tidak berlepas diri darinya, bahkan mereka tidak henti-hentinya memuji demokrasi itu, mengusungnya, membolehkannya bagi orang-orang, mengajak orang-orang untuk ikut bergabung dalam paham demokrasi yang busuk ini, mereka menjadikan dirinya sebagai arbaab dan aalihah (tuhan-tuhan) yang menetapkan hukum dan perundang-undangan bagi manusia berupa ajaran yang tidak Allah izinkan, bahkan mereka mengikut-sertakan orang-orang yang sepaham bersama mereka diatas paham kafir itu dari kalangan para wakil rakyat, para menteri dan rakyat lainnya dalam tasyrii’ kafir yang terlaksana sesuai dengan materi undang-undang dasar, mereka bersikeras di atas kemusyrikan ini, bergelimang dengannya, bahkan mereka mencela orang yang memeranginya, atau menentangnya, atau mencelanya dan berusaha untuk menghancurkannya… dan mereka lakukan ini setelah syari’at sempurna dan setelah sampainya Al-Qur’an bahkan As-Sunnah dan atsar-atsar kepada mereka.

Dengan Nama Allah, wahai orang yang obyektif, siapa saja engkau ini, apakah sah gambaran yang buruk lagi busuk dan gelap ini yang disertai dengan perbedaan-perbedaannya yang sangat jauh diqiyaskan kepada orang yang baru masuk Islam yang mencari kebenaran dan berusaha membelanya sebelum syari’at ini sempurna dan sebelum sampai kepadanya secara utuh. Sungguh sangat jauh sekali perbedaan antara dua gambaran ini… Demi Allah keduanya tidak bisa kumpul dan tidak akan bersatu. Hingga bulu-bulu gagak itu beruban…

Ya bisa saja keduanya bersatu dan bersamaan, akan tetapi bukan dalam timbangan al-haq, namun dalam timbangan orang-orang yang curang dari kalangan orang yang telah dibutakan bashirah-nya oleh Allah, sehingga mereka berpaham demokrasi yang berseberangan dengan tauhid dan Islam.

Demikian bantahan atas syubhat kedua kali ini, insyaa Allah masih akan ada pembahasan atas beberapa syubhat selainnya. Wabillahittaufiq wal hidayah… (abdullahahmad)

(Diangkat dari buku Demokrasi Sejalan dengan Islam? Karya Abu Muhammad al-Maqdisiy, arrahmah media)



[1]     Al Bidayah Wan Nihayah 3/277

[2]     Halaman 71 dalam kutaibnya itu, sedang risalah Najasyi ada dalam zadul Ma’aad 3/60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *