Abu Darda, tidak ingin dunia melalaikan ibadahnya

sahabat

(Abujibriel.com)—Dikisahkan, Uwaimir ibn Malik dari suku Khazraj yang mendapat julukan Abu Darda telah bangun pagi sekali. Ia lalu menjumpai patungnya yang disimpan di tempat yang paling bagus di rumahnya. Diucapkannya salam hormat sebelum mengoles patung itu dengan wangi-wangian yang diambil dari tokonya yang besar. Kemudian diberinya baju baru dari sutera, hadiah seorang kawannya yang kembali dari Yaman. Bila hari mulai tinggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya menuju ke tokonya.

Belum jauh berjalan, didapati kota Yatsrib mendadak riuh dipadati oleh sahabat-sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang baru kembali dari Perang Badar. Di depan iring-iringan itu ada sekelompok tawanan yang terdiri dari orang-orang Quraisy.

Abu Darda mengawasi mereka dengan cermat, lalu menghampiri seorang pemuda Khazraj yang ada diantara mereka. Ia menanyakan nasib Abdullah ibn Rawahah. Pemuda itu menjawab, “Abdullah ibnRawahah telah membuat kejutan di medan perang. Dia kembali dengan selamat dan membawa ghonimah.” Berita itu menentramkan hatinya.

Si pemuda itu juga tidak heran tentang pertanyaan Abu Darda mengenai Abdullah ibn Rawahah, sebab antara Abu Darda dan Abdullah ibn Rawahah terjalin persaudaraan yang sangat erat. Kedua orang itu bersahabat baik sejak masa jahiliyah. Ketika Islam datang, Abdullah ibn Rawahah langsung masuk Islam, sedangkan Abu Darda menolak. Namun hal itu tidak memutuskan hubungan baik mereka. Abdullah ibn Rawahah bahkan sering mengunjungi Abu Darda untuk membujuknya agar memeluk Islam. Dia senantiasa menyesalkan hari-hari yang disia-siakan oleh Abu Darda dalam kekufurannya.

Akhirnya Abu Darda tiba di tokonya. Ia segera mengatur segala sesuatunya kemudian duduk di kursinya yang tinggi. Jual-beli pun dimulai. Dengan cepat ia tenggelam dalam kesibukan. Dari mulutnya keluar perintah untuk budak-budaknya. Abu Darda tidak tahu yang terjadi di rumahnya. Saat itu Abdullah ibn Rawahah datang berkunjung kesana membawa niat tertentu.

Pintu rumah Abu Darda terbuka dan Abdullah ibn Rawahah melihat ummu Darda di dalam. Ia memberi salam,” Assalaamu’alaiki, ya amatillah.” Wanita itu menjawab, “Wa’alaikassalaam, wahai saudara kami.”

“Dimana gerangan Abu Darda?” tanya Abdullah ibn Rawahah.

Ia sudah lama pergi ke toko, tentu sebentar lagi ia pulang.”

“Bolehkah aku menunggunya?” tanya Abdullah lagi.

“Silakan, dengan senang hati.” Wanita itu memberi jalan kepada Abdullah ibn Rawahah, kemudian wanita itu pergi ke dalam untuk melanjutkan pekerjaannya.

Tinggallah Abdullah ibn Rawahah sendirian. Ia lalu masuk ke tempat Abu Darda menyimpan patungnya. Dengan palu yang dibawanya dari rumah, dihantamnya patung tersebut sambil bergumam, “Semua yang menyekutukan Allah itu sesat.” Ia terus memukuli patung tersebut sampai hancur tidak berbentuk lagi dan setelah itu ditinggalkannya begitu saja.

Tak berapa lama ummu Darda masuk ke tempat itu. Ia menjerit histeri karena melihat patung pemujaan suaminya hancur tak karuan dan berserakan di lantai. Sambil memukul kepala dan pipinya dia meratap, “Engkau menghancurkanku. Ibnu Rawahah, engkau menghancurkanku…”

Saat Abu Darda pulang, dilihatnya ummu Darda duduk sambil menangis di depan pintu kamar penyimpanan patung. Wajahnya tampak ketakutan, sehingga Abu Darda bertanya, “Kenapa engkau?”

Ia menjawab, “Saudaramu, Abdullah ibn Rawahah tadi datang kemari lalu menghancurkan patung pemujaanmu…”

Abu Darda menjadi berang menyaksikan patungnya remuk. Sekejap ia ingin membalas kelakuan sahabatnya. Setelah berpikir-pikir, amarahnya menjadi reda. Katanya, “Kalau patung ini memiliki kebaikan, tentu mampu melindungi dirinya dari segala gangguan…”

Ia lalu pergi mencari Abdullah ibn Rawahah dan minta diantar menghadap Rasulullah untuk menyatakan keislamannya. Ialah orang terakhir dari kaumnya yang masuk Islam.

Abu Darda langsung beriman secara mantap kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya sejak awal keislamannya, seakan meresap sampai ke pori tubuhnya. Ia menyesali ketertinggalannya dalam kebaikan. Oleh karena itu dengan giat ia mempelajari agamanya agar dapat menyusul lain-lainnya. Ditekuninya ibadah dan ilmu seperti orang kehausan. Akhirnya ia menjadi orang yang paling mengerti tentang dinullah dan hafal kitabullah. Bahkan ketika perniagaannya mengganggu kenikmatan ibadahnya dan menyita waktunya untuk menghadiri majelis-majelis ilmu, ditinggalkannya begitu saja tanpa ragu dan meyesal.

Ketika beberapa kawannya bertanya, ia menjawab, ”Sebelum kenal dengan Rasulullah, aku adalah pedagang, Begitu memeluk Islam, aku ingin memadukan kegiatan dagangku dengan ibadah, tetapi gagal. Lebih baik kutinggalkan saja perdaganganku dan kupusatkan diriku pada ibadah.”

Demi jiwa Abu Darda yang ada di tangan-Nya,” lanjutnya, “Sekarang ini aku tak suka memiliki satu toko pun di sebelah pintu masjid dan mendapat laba 300 dinar seharinya walaupun aku tidak pernah tertinggal sholat fardhu berjama’ah. Aku tidak berkata bahwa Allah mengharamkan jual-beli, namun aku ingin menjadi golongan yang tidak dilalaikan oleh perniagaannya dalam berzikir kepada Allah.”

Abu Darda tidak sekedar meninggalkan perniagaannya saja, melainkan juga meninggalkan dunia. Dia menjauhkan diri dari keindahan dan kemewahan dunia, dan merasa cukup dengan sepiring makanan kasar untuk menguatkan sendi-sendinya dan pakaian sederhana sekedar untuk menutup aurat.

Alkisah pada suatu malam yang dingin menggigit, Abu Darda kedatangan serombongan tamu. Untuk mereka, dia menyiapkan makanan hangat tetapi tidak menyediakan selimut. Padahal malam begitu dingin. Ketika waktu tidur, para tamu itu berunding perihal selimut.

“Aku akan menemuinya untuk membicarakan soal selimut ini,” kata yang satu.

“Jangan!” kata yang lain. Akhirnya salah-satu dari tamu tersebut menghampiri pintu Abu Darda. Dilihatnya si tuan rumah membujur dengan istrinya mengenakan pakaian tipis yang sama-sekali tak mampu menahan hawa dingin.

Tak tahan, orang itu bertanya, “Ya Abu Darda, kulihat engkau tidur seperti kami. Mana barang-barang hasil perniagaan anda?”

Abu Darda menjawab, “Kita punya rumah ‘disana’ sehingga barang-barang telah kukirimkan ‘kesana’ semua. Kalau saja masih ada yang tersisa di rumah ini, tentulah akan kuberikan kepada kalian. Jalan yang harus ditempuh untuk sampai ke ‘rumah’ itu penuh rintangan dan kesulitan, dengan demikian orang yang bawaannya ringan lebih enak daripada yang bawaannya berat. Itu sebabnya kami ingin meringankan diri dari beban pada saat menempuh jalan tersebut. Sudah paham?”

“Ya, aku paham,” jawab orang itu. “Terima kasih.”

Pada masa kekhalifahan Al-Faruq Umar bin Khattab, Abu Darda diserahi jabatan di Syam tetapi ia menolak. Ketika Umar memaksa, akhirnya ia mengajukan syarat untuk boleh mengajari mereka Kitabullah dan sunnah Rasulullah, serta sholat bersama mereka. Setelah Umar menyetujui syarat tersebut, Abu Darda berangkat ke Syam dan langsung ke Damaskus.

Sesampainya disana ia kaget melihat orang-orang sudah menyukai kemewahan, hidup bersenang-senang, dan bergelimang kenikmatan. Dipanggilnya mereka ke masjid lalu ia berkata, “Wahai penduduk Damaskus, apa yang menghalangi kalian dari bersahabat denganku dan mendengarkan nasehatku? Padahal aku tidak meminta upah sepeserpun dari kalian. Nasehatku adalah untuk kalian, sedangkan biaya yang lain bukan dari kalian. Mengapa ketika kulihat ulama-ulama kalian wafat, lalu yang bodoh-bodoh tak mau menuntut ilmu? Mengapa kulihat kalian sudah mengerjakan perbuatan yang tidak diperintahkan Allah dan meninggalkan yang diperintahkan-Nya? Mengapa kulihat kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan, membangun sesuatu yang tidak kalian tempati, dan mengharapkan sesuatu yang tidak dapat mungkin kalian capai? Kaum-kaum sebelum kalian juga pernah mengumpulkan dunia dan tenggelam dalam angan-angan kosong. Maka tidak berapa lama persatuan mereka berantakan, angan-angannya sekedar impian, dan rumah-rumah mereka menjadi kuburan. Wahai penduduk Damaskus, itulah kaum ‘Ad yang telah memenuhi dunia ini dengan harta dan anak. Siapa yang ingin membeli waarisan mereka sekarang dengan dua dirham saja?” Orang-orang pun menangis sampai terdengar isaknya dari luar masjid.

Sejak hari itu Abu Darda menjadi pemimpin majelis penduduk Damaskus. Ia berkeliling ke pasar-pasar menjawab berbagai pertanyaan, mengajari yang belum berilmu, dan mengingatkan yang lupa. Ia tak pernah melewatkan kesempatan yang ada.

Suatu hari Abu Darda melihat sekelompok orang mengeroyok seseorang sambil mengejeknya, maka ia segera menghampiri seraya bertanya, “Ada apa ini?”

Orang-orang menjawab, “Orang ini telah melakukan dosa besar.”

Abu Darda lalu berkata, “Seandainya ada orang yang terjatuh ke dalam sumur, apakah kalian akan menolong mengeluarkannya?”

“Ya.”

“Kalau demikian, jangan memaki dan memukulinya. Beri dia nasehat dan pengarahan. Kalian harus bersyukur kepada Allah karena Allah tidak menghinakan kalian seperti dia.” tegur Abu Darda.

Mereka bertanya, “Apakah anda tidak membencinya?”

Abu Darda menjawab, “Yang kubenci adalah perbuatannya. Kalau perbuatan itu ia tinggalkan, maka ia adalah saudaraku.” Mendengar perkataan itu, orang yang dikeroyok tadi menangis dan bertobat tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Lain saat ada seorang pemuda mendatangi Abu Darda seraya memohon, “Berilah aku nasehat, wahai sahabat Rasulullah.”

Abu Darda lalu memberi nasehatnya, “Wahai anakku, ingatlah Allah dalam kebahagiaanmu, niscaya dia akan mengingatmu dalam penderitaanmu. Jadilah orang berilmu, atau pelajar, atau pendengar, dan jangan jadi orang yang keempat. Jadikan masjid sebagai rumahmu. Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Masjid adalah rumahnya orang-orang yang bertakwa. Untuk orang-orang yang menjadikan masjid sebagai rumahnya, Allah menjamin keluasan, rahmat, dan jalan menuju ridha-Nya.”

Ketika ada sekelompok pemuda punya kegemaran duduk-duduk di tepi jalan sambil mengobrol dan mengamati orang yang lalu-lalang, Abu Darda mendatangi mereka sambil memberi pengarahan, “Wahai anak-anakku, tempat kediaman orang muslim adalah rumahnya. Tempat itu bisa menjaga dirimu dan matamu. Jangan suka duduk-duduk di pasar karena tempat itu menggoda dan membuat lupa.”

Suatu kali amirul mu’minin Umar ibn Khattab menengok keadaan Abu Darda di Syam. Dia datang pada malam hari. Ketika menhttps://abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg pintu, ternyata tidak dikunci. Maka masuklah Umar ibn Khattab ke dalam rumah yang gelap-gulita.

Mendengar kedatangan Umar, Abu Darda segera bangun menyambut dan mempersilahkan duduk. Kedua sahabat itu berbincang tentang berbagai hal dan saling bertukar pikiran dalam gelap.

Suatu saat Umar ibn Khattab meraba tempat duduk Abu Darda, ternyata terbuat dari karung. Lalu Umar meraba ranjangnya yang ternyata berupa lempengan batu. Terpegang pula alas tidur dan selimutnya yang berupa kain tipis yang tak mungkin menahan dinginnya hawa Syam.

Spontan Umar bertanya, “Allah merahmati anda. Bukankah aku telah mencukupi anda? Bukankah telah kukirimkan gaji kepada anda?” Abu Darda menjawab, “Ingatkah anda tentang hadist yang dibacakan Rasulullah kepada kita?

“Apa itu?”

“Bukankah beliau berkata bahwa bekal seseorang di dunia laksana bekal seorang musafir?”

“Benar, ya Abu darda.”

“Lalu apa yang kita lakukan setelah beliau tiada, ya Umar?” Umar ibn Khattab menangis mendengarnya, demikian pula juga Abu Darda. Tak ada lagi yang bicara sampai fajar…

Abu Darda tetap tinggal di Damaskus untuk memberi teladan dan nasehat kepada orang-orang serta mengajarkan Kitabullah dan hikmah sampai wafatnya. Sewaktu ia sakit keras yang membawa kepada kematiannya, sahabat-sahabatnya menjenguk dan bertanya, “Apa yang anda keluhkan?”

“Dosa-dosaku,” jawab Abu Darda.

Apa yang anda inginkan?” tanya mereka lagi.

“Ampunan dari penciptaku.” Abu Darda kemudian berpesan kepada orang yang mendampinginya, “Talkinkan aku dengan la ilaha illa Allah, Muhammadun rasulullah.” Kata-kata itu terus ia ucapkan sampai ruhnya lepas dari badan.

 

Beberapa waktu setelah kematian Abu Darda, Auf ibn Malik al-Asyjai bermimpi melihat sebuah kemah yang besar lagi tinggi, berwarna hijau dan berkubah. Ia bertanya, “Milik siapa kemah ini?”

“ini untuk Abdurrahman ibn Auf,” suatu suara menjawab. Tiba-tiba Abdurrahman ibn Auf muncul dari dalam kemah lalu berkata, “Ya Ibnu Malik, inilah yang diberikan Allah kepada kami karena Al-Qur’an. Bila engkau memandang ke atas bukit itu, maka akan engkau lihat sesuatu yang belum pernah engkau lihat, belum pernah engkau dengar, dan belum pernah terlintas dalam benakmu.”

“Untuk siapakah itu, wahai Abu Muhammad?”

“Untuk Abu Darda, karena dia menolak dunia dengan dada dan kedua-tangannya.”

 

Subhanallah, demikianlah kelebihan akhlak dan sikap hidup para salafussholih, lalu bagaimanakah dengan keadaan kita kaum muslimin hari ini? Lihat sekeliling kita yang qadarallah tengah berada di bulan Ramadhan seperti ini. Ketika hampir kebanyakan keluarga muslim semakin berbondong-bondong menyesaki pasar-pasar di pagi hari dan mal-mal di petang hingga malam hari, sementara sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam minim bahkan kosong diamalkan. Ketika perhatian dan konsentrasi kebanyakan kaum muslimin hanya berlomba-lomba dalam menghiasi rumah dan dirinya untuk hari ‘Id yang sebentar lagi dijelang, sementara hati dan lisannya semakin menjauh dari berdzikir kepada-Nya. Juga para pelaku perniagaan yang semakin tergiur oleh keuntungan yang berkali lipat dan para konsumen yang bertambah ‘kalut’ karena banyaknya kebutuhan ‘pamer’ (bukan primer) yang diinginkannya yang tak jarang ‘memaksanya’ jadi berhutang kanan-kiri karenanya.

Semoga kita dapat mengambil ibroh dari sifat zuhud Abu Darda radhliyallahu ‘anhu, ghirohnya dalam mempelajari Al-Qur’an dan as-Sunnah, serta keaktifannya menyampaikan kebenaran kepada yang haq.

Wallahul musta’an …

 

(Diangkat dari kitab Sosok Para Sahabat Nabi, DR. Abdurrahman Raf’at al-Basya, Qisthi Press)

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *