(Abujibriel.com)—Islam datang kepada seluruh manusia dengan suatu konsepsi baru mengenai hubungan dan jalinan. Islam datang untuk mengembalikan manusia kepada tujuannya. Untuk menjadikan bahwa kekuasaan inilah satu-satunya kekuasaan yang menjadi sumber dari pengambilan dari pertimbangan dan nilainya. Islam datang untuk menetapkan bahwa hanya ada jalinan yang mengikatkan manusia pada Tuhannya. Kalau ikatan ini telah tumbuh dan berkembang, maka ikatan lain dan hubungan jiwa yang lain menjadi tiada. Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai Muhammad, engkau tidak akan menemukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Sekalipun orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga besar mereka. Orang-orang yang tidak mau berteman dengan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang hatinya telah Allah ikat dengan iman. Allah kuatkan mereka dengan ruh dari sisi-Nya…” (QS. al-Mujadalah, 58:22)
Partai yang menjadi milik Allah itu hanya satu saja, tidak ada duanya. Partai-partai yang lain adalah kepunyaan syaitan dan kejahatan. Allah Ta’ala berfirman:
“Orang-orang beriman berperang untuk membela Islam, sedangkan orang-orang kafir berperang di jalan setan. Wahai kaum mukmin, perangilah para peng¬ikut setan. Sungguh sejak dahulu, siasat setan itu sangat lemah.” (QS. an-Nisa’, 4:76)
Hanya ada satu sistem saja, yaitu sistem Islami. Sistem yang lain dari itu ialah sistem jahiliyah. Allah Ta’ala berfirman:
“Perintah dan larangan ini adalah syari’at-Ku yang benar. Wahai manusia, ikutilah syari’at-Ku ini. Janganlah kalian mengikuti tatanan-tatanan hidup yang lain, karena tatanan-tatanan hidup yang lain itu pasti akan menjauhkan kalian dari syari’at-Nya. Demikianlah Tuhan mengajarkan syari’at-Nya kepada kalian supaya kalian taat kepada Allah dan bertauhid.” (QS. al-An’am, 6:153)
Kebenaran itu hanya satu, yang lain daripada itu adalah kesesatan. Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai kaum musyrik, Allah adalah Tuhan kalian yang sebenarnya. Sungguh selain Islam, hanyalah agama yang sesat. Karena itu, mengapa kalian dapat dikendali¬kan oleh hawa nafsu kalian?” (QS. Yunus, 10:32)
Dar itu hanya satu yaitu darul Islam, dimana terdapat negara yang muslim dilindungi oleh syari’at Allah dan tempat dimana hukum-hukum Allah dikerjakan. Disana kaum muslimin saling tolong-menolong. Selain daripada itu adalah darul harb. Hubungan antara kaum muslimin dengannya mungkin berupa hubungan perang dan mungkin juga perjanjian perdamaian. Tetapi bagaimanapun negara itu bukan darul Islam. Antara penduduknya dan penduduk darul Islam tidak terdapat hubungan loyalitas.
Dengan penjelasan yang amat terang inilah Islam datang. Ia datang untuk meninggikan manusia dan membebaskannya dari ikatan buni dan tanah, dari ikatan daging dan darah yang sesungguhnya masih termasuk ke dalam ikatan bumi dan tanah.
Tanah air seorang muslim adalah hanya dimana ditegakkan syari’at Allah, sehingga hubungan yang terdapat antara dirinya dan penduduk daerah itu adalah berdasarkan ikatan dalam Tuhan. Kewarganegaraan seorang muslim hanyalah aqidah kepercayaannya yang menjadikannya anggota dari umat yang muslim di Darul Islam. Keluarga seorang muslim bukanlah bapaknya, ibunya, saudaranya, isterinya, sanak-saudaranya—selama belum timbul tali ikatan perrtama pada Allah Yang Maha Pencipta. Setelah itu dari sanalah baru timbul hubungan keluarga. Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai manusia, taatlah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, kemudian mencipta¬kan pasangannya dari diri yang satu itu. Dari seorang laki-laki dan seorang perempuan pertama itulah Allah me¬ngembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Taatlah kepada Allah, Tuhan yang menjadi tumpuan kalian ketika kalian meminta rahmat-Nya. Jagalah ikatan kerabat kalian. Allah selalu mengawasi perbuatan kalian.” (QS. an-Nisa’, 4:1)
Namun ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh menemani kedua orang-tua dalam bentuk sebaik-baiknya, walaupun aqidah kepercayaan berlainan, selama keduanya tidak berdiri dalam barisan yang menentang front orang-orang yang beriman. Kalau keduanya menentang, maka tak ada artinya lagi hubungan keluarga.
Sebaliknya, jika hubungan aqidah telah terikat, maka semua orang yang beriman itu bersaudara walaupun mereka tidak memiliki hubungan darah atau hubungan karena perkawinan. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, seperti firman-Nya:
“Orang-orang yang beriman, dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwa mereka guna membela Islam, dan menolong serta membela Nabi dan kaum Muhajirin, mereka itu satu dengan lainnya bersahabat. Orang-orang yang beriman tetapi tidak mau berhijrah, maka kalian sedikit pun bukanlah sahabat bagi mereka sampai mereka mau berhijrah. Wahai kaum mukmin, jika mereka minta pertolongan kepada kalian dalam membela agama, kalian wajib memberikan pertolongan kepada mereka. Akan tetapi kalian tidak boleh menolong kaum mukmin untuk menghadapi kaum yang mempunyai perjanjian damai dengan kalian. Dan Allah Maha Mengetahui semua yang kalian lakukan.” (QS. al-Anfal, 8:72)
Allah juga telah memberikan contoh-contoh kepada kaum muslimin dengan sejumlah parade para nabi yang mulia yang telah mendahului dalam iring-iringan parade keimanan yang berlangsung di berbagai masanya. Nabi Ibrahim telah memisahkan diri dari bapaknya dan keluarganya sewaktu ia mengetahui bahwa mereka bersikeras untuk terus hidup dalam kesesatan.
“Aku akan menjauhi engkau dan kaummu serta tuhan-tuhan selain Allah yang kalian sembah. Aku akan memohon kepada Tuhanku, semoga aku tidak dijadikan orang yang tertolak do’anya kepada Tuhanku.” (QS. Maryam, 19:48)
Para pemuda penduduk goa telah memisahkan diri dari keluarga, dari bangsa mereka, dan dari kampung halaman mereka agar mereka dapat memusatkan perhatian kepada Allah dengan agama mereka. Mereka melarikan diri kepada Tuhan dengan kepercayaan mereka yang pada kenyataannya mereka amat memerlukan tempat ditengah kampung halaman, keluarga, dan sanak-keluarganya.
“Kami teguhkan hati mereka ketika berkata di hadapan penguasa yang zhalim. Mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan penguasa langit dan bumi. Kami tidak akan menyembah tuhan-tuhan selain Allah. Karena kalau kami mengata¬kan bahwa ada Tuhan selain Allah, berarti kami berkata dusta.”
“Kaum kami telah mengadakan tuhan-tuhan selain Allah. Alangkah baiknya kalau mereka dapat mem¬berikan bukti-bukti yang kuat adanya tuhan-tuhan selain Allah. Oleh karena itu, siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengadakan tuhan-tuhan selain Allah atas nama agama?”
“Wahai pemuda Kahfi, ingatlah ketika kalian me¬ninggalkan kaum kalian dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah, lalu kalian berlindung ke gua Kahfi. Tuhan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian dan memudahkan kalian menghadapi rintangan keimanan.” (QS. al-Kahfi, 18:13-16)
Nabi Nuh dan nabi Luth terpaksa berpisah dengan isteri mereka masing-masing ketika aqidah kepercayaan telah berbeda.
“Allah menjadikan kisah istri Nuh dan istri Luth sebagai pelajaran bagi orang-orang kafir. Kedua perempuan itu berada di bawah kekuasaan dua hamba Kami yang shalih. Namun kedua perempuan itu berbeda agama dengan suaminya. Karena itu tidak berguna sedikit pun pertolongan kedua nabi itu kepada istrinya untuk menyelamatkan mereka dari adzab Allah. Para malaikat berkata kepada kedua istri nabi itu: “Masuklah kamu berdua ke dalam neraka ber¬sama penghuni neraka yang lain.” (QS. at-Tahrim, 66:10)
Demikian juga perpisahan antara bapak dengan anaknya seperti yang terjadi pada diri nabi Nuh dan Kan’an puteranya. Maka ketika gelombang telah menelan puteranya yang tetap enggan bergabung dengan kaum nabi Nuh yang sholeh, nabi Nuh berkata:
“Nuh memohon kepada Tuhannya. Dia berdo’a: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah bagian dari keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu pasti benar dan Engkau adalah hakim yang paling adil.”
“Allah berfirman: “Wahai Nuh, sesungguhnya anak¬mu itu bukanlah bagian dari keluargamu, karena sungguh dia telah melakukan perbuatan yang tidak baik. Oleh karena itu, janganlah kamu meminta kepada-Ku apa yang kamu sama sekali tidak mengetahui kebenarannya. Sesungguhnya Aku menasehatimu agar kamu tidak tergolong orang yang jahil.” (QS. Hud, 11:45-46)
Demikianlah iringan parade yang mulia itu berjalan terus dalam konsepsinya terhadap hakekat hubungan dan jalinan. Sampai pada akhirnya datanglah umat pertengahan yang menemukan perbendaharaan yang penuh dengan contoh, perumpamaan, dan pengalaman. Umat ini berjalan terus sesuai dengan metode Rabbani bagi umat yang beriman. Satu suku terpecah-belah, satu rumah terpecah belah—seandainya aqidah dan kepercayaan telah berlainan dan jalinan primordial telah putus. Sifat orang beriman dalam kepada siapa ia berkasih-sayang dan kepada siapa ia berlepas-diri, Allah firmankan berikut:
“Wahai Muhammad, engkau tidak akan menemukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Sekalipun orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga besar mereka. Orang-orang yang tidak mau berteman dengan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang hatinya telah Allah ikat dengan iman. Allah kuatkan mereka dengan ruh dari sisi-Nya. Mereka akan dimasukkan ke dalam surga. Surga itu di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itu adalah kekasih Allah. Wahai Muhammad, ketahuilah bahwa kekasih Allah itu pasti menang.” (QS. al-Mujadilah, 58:22)
Inilah Islam! Ini sajalah yang dinamakan Islam. Islam bukanlah kata-kata yang diucapkan dengan lidah. Islam bukanlah kelahiran di bumi dimana terpampang slogan Islam dan tanda-tanda Islam. Islam bukanlah warisan yang diperoleh seseorang karena kedua orang-tuanya yang beragama Islam.
Islam telah melepaskan manusia dari ikatan tanah agar ia dapat meninggi ke langit. Islam telah membebaskan manusia dari ikatan darah agar ia dapat menjulang ke alam yang tinggi. Tanah air seorang muslim yang dirindukannya dan dipertahankannya, bukanlah sepotong bumi. Kewarganegaraan seorang Islam yang menjadi tanda pengenalnya bukanlah kewarganegaraan dari segi hukum. Bendera seorang muslim yang menjadi kebanggaannya yang ia meninggal sebagai syahid di bawah kibarannya—bukanlah bendera kebanggaan sebuah kaum. Kemenangan yang didambakannya dan yang disyukurinya bukanlah kemenangan militer, akan tetapi kemenangan di bawah bendera aqidah. Perjuangan yang dilakukannya adalah perjuangan untuk menegakkan agama Allah dan syari’at-Nya.
Konsepsi yang tinggi tentang Dar, kewarganegaraan dan hubungan kekeluargaan inilah yang sepantasnya menguasai hati semua muslim yang bergerak di bidang dakwah menyeru kepada Allah. Hal inilah yang seharusnya menjadi jelas dan terang dan tidak tercampuri oleh konsepsi jahiliyah. (disarikan dari kitab Ma’alim fithoriq (Petunjuk Jalan) Sayyid Qutbh, terbitan Media Dakwah)