(Abujibriel.com)—Yaa ayyuhal ikhwah wal akhwatfillah, insyaa Allah 9 dan 10 Muharram 1435 atau bertepatan pada ahad besok (2/11) dan senin (3/11) ini, umat Islam akan sampai pada amalan puasa sunnah hari Tasu’a dan hari Asyura’. Semoga kita diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam melaksanakannya.
Fadhilah atau keutamaan puasa sunnah ini mungkin sudah semakin banyak yang mengetahui, yaitu seperti terdapat dalam hadits dari Abu Qotadah al-Anshoriy yang berkata:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah. Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura. Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
Subhanallah, ganjaran yang demikian besar telah Allah siapkan bagi hamba-hamba-Nya yang dalam pengamalannya tersebut memenuhi syarat keikhlasan dan ittiba’ kepada Rasulullah. Semoga kita peroleh janji Allah tersebut.
Namun ada sebagian umat Islam yang justru menjadikan hari Asyura’ ini sebagai hari raya yang dikhususkan bagi anak yatim—mereka mengistilahkannya sebagai lebaran yatim. Dengan penganggapan itu, mereka adakan penyambutan hari tersebut yag dibuat sedemikian rupa. Ada yang sibuk mempersiapkan masakan, amplop berisi uang, atau hadiah-hadiah yang bertujuan untuk dibagikan kepada anak yatim di sekitar mereka. Mereka bersandar pada sebuah hadits berikut:
من مسح يده على رأس يتيم يوم عاشوراء رفع الله تعالى بكل شعرة درجة
“Siapa yg mengusapkan tangannya kepada kepala anak yatim di hari Asyuro’ (10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yg diusap satu derajat.“
Inilah yang menjadi pegangan kuat bagi terlaksananya sebuah amalan ini.
Lalu bagaimanakah derajat hadits tersebut?
Hadits yang diambil dari kitab Tanbihul Ghafilin ini dinyatakan maudhu’ atau palsu karena dalam jalur sanadnya terdapat nama Habib bin Abi Habib, seorang perawi yang tertuduh pernah berdusta dan memalsukan hadits. Oleh karenanya status perawi ini adalah matruk (ditinggalkan). Adz Dzahabi mengatakan bahwa Habib bin Abi Habib tertuduh berdusta (Talkhis Kitab al-Maudhu’at, 207) sedangkan Abu Hatim berkomentar tentang hadits tersebut adalah bathil dan tidak ada asalnya (Al-Maudhu’at, 2/203).
Sedangkan Ibnu Taimiyah menerangkan kaidah suatu amalan:
شَرْعُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِلْعَمَلِ بِوَصْفِ الْعُمُومِ وَالْإِطْلَاقِ لَا يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ مَشْرُوعًا بِوَصْفِ الْخُصُوصِ وَالتَّقْيِيدِ
“Jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu amalan dengan maksud umum dan mutlak, maka itu tidak menunjukkan mesti dikhususkan dengan cara dan aturan tertentu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 20: 196).
كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام ؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة
“Semua bentuk ibadah yang sifatnya mutlak dan terdapat dalam syari’at berdasarkan dalil umum, maka membatasi setiap ibadah yang sifatnya mutlak ini dengan waktu, tempat, atau batasan tertentu lainnya, dimana akan muncul sangkaan bahwa batasan ini merupakan bagian ajaran syari’at, sementara dalil umum tidak menunjukkan hal ini maka batasan ini termasuk bentuk bid’ah.” (Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 52)
Pelaksanaan lebaran yatim ini juga bersimpangan dengan penetapan Allah akan hari-hari raya yang dimiliki umat Islam. Terdapat sebuah hadits:
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ “
“Dari Anas, ia berkata: “Rasulullah datang ke Madinah dan mereka (orang-orang) menjadikan dua hari yang mana mereka suka bermain bersenang-senang, lalu Rasulullah bertanya: “Apa maksud dua hari ini?” Mereka menjawab: “Kami biasa bermain bersenang-senang pada dua hari ini di zaman jahiliyah, maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan buat kamu dengan dua hari raya yang lebih baik dari dua hari itu (dua hari raya di zaman jahiliyah) yaitu: hari raya Adha dan hari raya Fitri.” (HR. Abu Dawud)
Oleh karenanya sangatlah tidak berdasar dan tidak beralasan 10 Muharram ditetapkan sebagai hari raya pula. Ini adalah perkara bid’ah yang berat, yang sudah tersebar luas dan mengakar kuat di masyarakat. Tugas para ‘alim ulama’ dan setiap individu muslim yang sudah memahamilah yang berkewajiban menyampaikan yang hak dan meluruskan yang bathil demi kemurnian Islam yang satu.
Demikian semoga bermanfaat wallahul musta’an…