(Abujibriel.com)—Ya ayyuhal ikhwani wa akhowatifillahi, alhamdulillah kita sudah berada dipertengahan Ramadhan. Mudah-mudahan setiap peribadahan yang kita laksanakan dalam rangka mentaati-Nya akan memperoleh keberkahan dan rahmat dari-Nya azza wa jalla.
Sebagaimana yang telah diketahui, Ramadhan adalah bulan penuh keberuntungan karena amalan sholih dijanjikan dengan lipat-ganda pahala dari-Nya. Dimana pintu-pintu syurga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syetan-syetan dibelenggu. Dalam bulan Ramadhan pula setiap muslim mengetahui bahwa kitab suci-Nya yaitu Al-Qur’an—diturunkan, sebagaimana firman-Nya,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ…
“Bulan Ramadhan, bulan yang padanya diturunkan (permulaan) al–Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah, 2:185)
Dalam suatu hadits dikatakan bahwa bulan Ramadhan merupakan waktu yang telah dipilih Allah Ta’ala dalam menurunkan beberapa kitab suci-Nya, termasuk pula Al-Qur’an. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah meriwayatkan dari Wa’ilah bin al-Asqa’ bahwa Rasulullah saw bersabda,
أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيِمَ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ, وَ أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ, وَ الْإِنْجِيْلُ لِثَلاَثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ, وَ أَنْزَلَ اللهُ الْقُرْاَنَ لِأَرْبَعٍ وَ عِشْرْيْنَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ.
artinya, “Lembaran-lembaran Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan setelah berlalu enam malam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada setelah berlalu 13 malam bulan Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal 24 bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad)
Oleh karenanya Ramadhan merupakan bulan yang penuh kemuliaan serta keberkahan yang telah dipilih Allah Ta’ala yang memiliki kekuasaan dalam menentukan waktu-waktu terpilih tersebut. Hal ini seperti apa yang Allah Ta’ala beritakan,
artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan” (QS. al-Qadr, 97:1)
dan juga firman-Nya,
artinya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. ad-Dukhon, 44:3)
Lailatul qadr atau malam kemuliaan adalah masa diturunkannya Al-Qur’an. Malam yang diliputi keberkahan tersebut merupakan momentum awal periode kenabian Rasulullah saw. Keagungannya melebihi perhitungan seribu bulan atau sekitar 83 tahunan. Ia juga merupakan awalan dari turunnya cahaya dan petunjuk bagi zaman kejahiliyaan manusia yang sarat akan kesyirikan dan paganism.
Ulama berbeda pendapat mengenai kapan tanggal persisnya turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadhan ini. Ada yang mengatakan diturunkannya pada malam 7 Ramadhan, ada yang mengatakan malam 17 Ramadhan, ada yang mengatakan malam 21 Ramadhan, ada juga pendapat yang mengatakan tanggal 24 Ramadhan.
Dalam sirah nabawi karangan Shofiyur-Rohman al-Mubarokfuri, Rahiqul-Makhtum, beliau menuliskan, “Setelah melakukan penelitian yang cukup dalam, mungkin dapat disimpulkan bahwa hari itu (Nuzulul Qur’an) ialah hari senin tanggal 21 bulan Ramadhan malam yang bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 660 Masehi, dan ketika itu umur Rasulullah saw tepat 40 Tahun 6 bulan 12 hari pada hitungan bulan, tepat 39 tahun 3 bulan 12 hari pada hitungan matahari. Hari senin pada bulan Ramadhan tahun itu ialah antara 7, 14, 21, 24, 28, dan dari beberapa riwayat yang shahih bahwa malam lailatul qadar itu tidak terjadi kecuali di malam-malam ganjil dari sepuluh akhir bulan Ramadhan. Jika kita bandingkan firman Allah surat Al-Qodr ayat pertama dengan hadits Abu Qotadah yang menjelaskan bahwa wahyu diturunkan hari senin di atas, dan dengan hitungan tanggalan ilmiyah tentang hari senin pada bulan Ramadhan tahun tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wahyu pertama turun kepada Rasulullah saw itu tanggal 21 Ramadhan malam”.
Sementara dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah Imam Ibnu Katsir, Al-Waqidi meriwayatkan dari Abu Ja’far Al-Baqir bahwa wahyu pertama kali turun pada Rasulullah saw pada hari senin 17 Ramadhan dan ada dikatakan juga pada 24 Ramadhan. Mungkin dalil inilah yang dijadikan dasar dan dipilih kaum muslimin di beberapa tempat dalam memperingati hari Nuzulul Qur’an yaitu pada tanggal 17 Ramadhan.
Ikrimah meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan, yaitu pada malam kemuliaan ke langit dunia ini secara sekaligus.” Kalimat tentang diturunkannya Al-Qur’an secara sekaligus tidaklah bertentangan dengan yang telah diinformasikan bahwa Al-Qur’an turun dengan berangsur-angsur, sebab yang dimaksud dengan secara sekaligus adalah turunnya ia dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia atau baitul izzah, sedangkan yang dimaksud secara bertahap adalah turunnya dari langit dunia kepada Rasulullah saw sejak diangkatnya beliau saw menjadi seorang Rasul hingga wafatnya.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata melalui periwayatan Imam an-Nasa’i. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata,“……dan Al-Qur’an diletakkan di baitil izzah dari langit dunia, kemudian Jibril turun dengan membawanya kepada Muhammad saw.”
ini sesuai firman-Nya,
“Dan Al–Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. al-Isra,17:106)
Dan ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Qur’an karena ia (Al-Qur’an) turun secara berangsuran setelah sebelumnya diturunkan secara sekaligus ke langit dunia, sementara kitab-kitab selainnya seperti Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan Allah Ta’ala tanpa berkala. Perihal ini juga yang pernah menjadi pertanyaan kaum kafir sebagai salah-satu dalih penolakan mereka terhadap Al-Qur’an yang diseru Rasulullah saw,
artinya, “Berkatalah orang-orang yang kafir,“Mengapa Al–Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. al-Furqan, 25:32-33)
Kembali kepada peristiwa turunnya Al-Qur’an yang menjadi mu’jizat terbesar bagi umat manusia hingga akhir zaman, lalu bagaimanakah sikap kita sebagai umat muslim yang seharusnya dalam memperingati peristiwa ini?
Mungkin sebagian dari kita pernah menghadiri sebuah majelis pengajian yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Nuzulul Qur’an ini, dimana didalamnya dibacakan ayat-ayat suci, yang dilanjutkan dengan qasidahan, dan ditutup dengan jamuan makan. Kita lalu menganggap ini sebagai bentuk pengagungan terhadap kalamullah Al-Qur’an. Keadaan ini mungkin bukan baru kali ini kita ketahui, namun telah berlangsung lama, mungkin sejak kita masih bersekolah dasar dan bahkan sejak moyang-moyang terdahulu. Lalu bagaimanakah amalan Rasulullah dan para salafush sholih dalam menghadapi peristiwa besar ini?
‘Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ .
artinya,“Dahulu malaikat Jibril senantiasa menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap malam Ramadhan, dan selanjutnya ia membaca Al–Qur’an bersamanya.” (HR. Bukhari)
Salah-satu yang dicontohkan dari uswah kita adalah dengan tilawah Al-Qur’an yang penuh dengan penghayatan terhadap makna-maknanya, beliau juga membacanya dengan penuh semangat sehingga pada satu raka’at shalatnya beliau saw mampu membaca surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan an-Nisa’. Huzaifah radhiallahu ‘anhu berkata,
“Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam bilik yang terbuat dari pelepah kurma. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan membaca takbir, selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa,
الله أكبر ذُو الجَبَرُوت وَالْمَلَكُوتِ ، وَذُو الكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai membaca surat al-Baqarah, akupun mengira bahwa beliau akan berhenti pada ayat ke-100, ternyata beliau terus membaca. Akupun kembali mengira beliau akan berhenti pada ayat ke-200, ternyata beliau terus membaca hingga akhir al–Baqarah, dan terus menyambungnya dengan surat Ali ‘Imran hingga akhir. Kemudian beliau menyambungnya lagi dengan surat an–Nisa’ hingga akhir surat. Setiap kali beliau melewati ayat yang mengandung hal-hal yang menakutkan, beliau berhenti sejenak untuk berdoa memohon perlindungan. …. Sejak usai dari shalat Isya’ pada awal malam hingga akhir malam, di saat Bilal memberi tahu beliau bahwa waktu shalat subuh telah tiba beliau hanya shalat empat rakaat.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
Subhanallah…
Demikian juga yang dilakukan Imam Asy-Syafi’i semasa hidupnya dalam mengisi bulan Ramadhan, dimana beliau mampu mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak enampuluh kali. Qatadah as-Sadusi mengkhatamkan Al-Qur’an selama tujuh hari sekali dan pada bulan Ramadhan ia mengkhatamkannya setiap tiga malam sekali, sementara Al-Aswab an-Nakha’i mengkhatamkan Al-Qur’an setiap dua malam sekali. Dan akan banyak kita temukan kisah-kisah orang-orang sholih pendahulu kita dengan amalan qiro’atul Qur’annya yang demikian luar-biasa.
Lalu bagaimanakah keadaan kita saat dipertemukan dengan bulan Ramadhan tahun ini? Masihkah sama halnya dengan Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya—dimana kita hanya puas karena merasa telah menunaikan kewajiban puasa makan, puasa minum, dan puasa dari bersenang-senang dengan istri di siang hari selama sebulan penuh? Akankah kita kembali ‘merasa’ turut menjadi orang-orang yang dikatakan menang saat Idul Fitri kembali menyambangi kita? Sementara sebulan yang penuh keberkahan lebih banyak kita isi dengan amalan tidur di siang hari atau memburu keuntungan dunia dengan perniagaan yang begitu menyita waktu, tenaga, dan pikiran kita…
‘Ala kulli hal, mari kita jadikan bulan Ramadhan ini sebagai kesempatan untuk mengukur diri tentang telah sejauh manakah kita dalam mengisi kesempatan emas yang disediakan Allah Ta’ala bagi kita melipat-gandakan pahala beserta keutamaan lain yang serba menguntungkan di dunia dan di akhirat kelak. Dan marilah kita isi syahrul mubarak ini dengan membuktikan kecintaan dan keimanan kita kepada Al-Qur’an dalam bentuk tadarus, memahami maknanya, serta mengamalkan kandungannya. Tak sepatutnya lisan, pendengaran, dan kalbu kita yang merupakan kenikmatan dari Allah Ta’ala ini dipenuhi hal lain yang tidak ada kemanfaatannya fi sabilillahi, seperti menggunjing, namimah, apatah lagi mendengarkan musik yang diharamkan sementara Allah Ta’ala telah berfirman,
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاء وَمَن يُضْلِلْ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
artinya,“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (QS. az-Zumar, :23)
dan firman-Nya,
إنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {2} الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ {3} أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ.
artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb lah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka, itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang mulia.” (QS. al-Anfaal, 8:2-4)
Derajat ketinggian yang Allah Ta’ala janjikan tersebut masih bisa kita raih, melalui ikhtiar dan fastabiqul khairat sebab cepat atau lambat kita adalah makhluk yang akan hancur dan binasa.
Wallahul musta’an…